Jika saya diminta memilih
diantara dua pilihan saja, yaitu antara Mu’tazilah atau Jabariah, maka tentu
saya akan lebih memilih Mu’tazilah. Dalam sejarah Islam, kaum Mu’tazilah
merupakan ‘kaum rasionalis’, sedangkan kaum Jabariah adalah ‘kaum fatalis’.
Tetapi apa dan bagaimana Mu’tazilah itu? Tulisan ini hanya akan ‘memaparkan’
secara singkat saja untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dalam telaah yang
ditulisnya, Ahmad Amin menyatakan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum
adanya peristiwa Wasil ibn Atha dan Hasan Al-Basri dan sebelum timbulnya
pendapat tentang posisi di antara dua posisi (manzilat bayna manzilatayn) yang
dinyatakan Washil bin Atha tentang muslim yang melakukan dosa besar.
Ahmad Amin menyebut mereka
(kaum Mu’tazilah) ini adalah orang-orang yang menjauhkan diri dari
golongan-golongan yang saling bertikai. Golongan yang menjauhkan diri ini
memang dijumpai di dalam buku-buku sejarah.
Al-Thabari, contohnya, menyebut
bahwa sewaktu Qais ibn Sa’ad di Mesir sebagai Gubernur dari Khalifah Ali bin
Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan turut padanya dan
satu golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila Kharbita). Dalam
suratnya kepada Khalifah, Qais menamai mereka “Mu’tazilin”. Dalam hal ini, jika
Al-Thabari menyebut mereka “Mu’tazilin”, Abu Al-Fida menyebut mereka
“Al-Mu’tazilah”.
Sementara itu, menurut
Al-Qadi Abdul Jabbar, di dalam teologi terdapat kata i’tazala yang mengandung
arti mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata
Mu’tazilah mengandung arti pujian. Sedangkan menurut, Ibn Al-Murtadha, nama
Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, tetapi oleh orang-orang
Mu’tazilah itu sendiri.
Secara historis,
Mu’tazilah muncul sebagai aliran pertama yang bersistem cukup lengkap dalam
sejarah teologi Islam, dimana dalam perjalanannya ia terbagi menjadi dua cabang
besar dengan perhatian yang berbeda. Cabang Basrah dengan tokoh utama Abu
Huzail bin Al-Allaf lebih banyak menaruh banyak perhatian pada pemikiran dan
pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Sedangkan cabang Bagdad dengan tokoh
utama Bisyr bin Al-Mu’tamir lebih memperhatikan penyebaran dan penerapan
prinsip-prinsip itu dengan memanfaatkan hubungan yang dekat dengan kekuasaan
Khalifah Abassiah.
Cabang Bagdad ini –
dibandingkan dengan cabang Basrah – lebih banyak terpengaruh oleh filsafat
Yunani Kuno. Para pendukungnya banyak memperluas persoalan yang sudah dibahas
secara sederhana, dalam hal ini Mu’tazilah dipandang sebagai aliran pertama
dalam Islam yang menggunakan argumen filosofis dalam menginterpretasikan
masalah-masalah ke-Tuhanan.
Sementara itu secara
politis, Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiah sangat besar jasanya dalam
mendorong perkembangan aliran Mu’tazilah. Bait Al-Hikmah yang didirikannya,
sebagai contohnya, terutama untuk penterjemahan karya-karya filsafat Yunani
Kuno dan sangat besar artinya bagi perkembangan aliran ini dalam bidang teori.
Secara praktis, Al-Ma’mun
memakai prinsip-prinsip aliran Mu’tazilah dan menggunakan kekuasaannya untuk
memaksa orang banyak memakai prinsip-prinsip itu.
Demikianlah, sebagaimana
dicatat sejarah Islam, pada masa-masa akhir pemerinntahannya ia melaksanakan
mihnah, yakni pengujian atas para hakim, apakah mereka percaya bahwa Al-Quran
itu diciptakan, sebagaimana ajaran Mu’tazilah. Yang tidak percaya bahwa
Al-Quran diciptakan, alias jika percaya akan keqadimannya, maka sang hakim akan
dipecat. Tak lain karena orang-orang Mu’tazilah berpendapat bahwa tidak ada
yang kadim selain Allah. Menurut mereka, kepercayaan kepada adanya yang kadim
selain Allah adalah syirik. Orang yang menempati kedudukan hakim mestilah bebas
dari syirik dan kalau ternyata ada hakim yang tidak bebas dari syirik, mestilah
ia diturunkan dari kedudukan itu.
Mihnah yang berasal dari
kepercayaan agama pada waktu itu muncul ke permukaan politik dan pada akhirnya
dikenakan tidak hanya atas para hakim, namun juga atas para saksi di pengadilan
dan kemudian atas para pemimpin masyarakat.
Kebijaksanan politik
Al-Ma’mun ini dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Al-Mu’tasim (218-227 H/833-842
M) dan bahkan lebih keras lagi oleh Al-Wasiq ( 227-232 H/842-847 M). Peran
Ahmad bin Abi Daud, salah seorang tokoh besar Mu’tazilah aliran Bagdad, dalam
pelaksanaan mihnah ini sangat besar. Ia adalah kawan dekat Al-Ma’mun dan
kemudian memegang jabatan Qadi Al-Qudah alias Hakim Agung, menggantikan Yahya
bin Aksam pada tahun 217, yang mana Yahya bin Aksam ini pernah kalah debat
dengan Imam Muhammad Al-Jawad as yang debatnya kala itu atas inisiatif Khalifah
Al-Ma’mun.
Jabatan Qadi Al-Qudah yang
dipegang Ahmad bin Abi Daud ini tetap dipegangnya pada masa Al-Mu’tasim dan
Al-Wasiq. Hanya saja, bersamaan dengan meninggalnya Al-Wasiq, bersamaan itu
pula menandai kejatuhan Mu’tazilah. Sejak itu – untuk beberapa lama –
Mu’tazilah tidak muncul ke permukaan sejarah.
Mu’tazilah bangkit lagi di
kemudian hari dengan berkuasanya Bani Buwaih pada abad keempat Hijriah di
wilayah Persia. Pada masa ini muncul banyak pemikir Mu’tazilah dari aliran
Basrah yang, walaupun nama mereka tidak sebesar para pendahulu mereka di masa
kejayaannya yang pertama, meninggalkan banyak karya yang bisa dibaca sampai
sekarang.
Selama ini kita mengenal
Mu’tazilah dari karya-karya lawan-lawan mereka, terutama kaum As’ariyah yang
pasti akan menyudutkan Mu’tazilah. Sedikit sekali karya pemikir Mu’tazilah yang
tersisa karena kebanyakan karya mereka hilang dibasmi oleh lawan-lawan mereka.
Barangkali, hanya Syi’ah Islam-lah yang ‘dapat menghargai’ kajian-kajian dan
khazanah-khazanah rasional kaum Mu’tazilah ini, yang paling tidak, turut serta
dalam mendidik masyarakat untuk tidak berkubang dalam fatalisme.