Plato bertanya kepada
Sokrates: “Apa itu cinta? Bagaimana aku bisa menemukannya?” Sokrates menjawab:
“Ada ladang gandum yang luas di depan sana. Berjalanlah kamu dan tidak boleh
mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting
yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta.”
Plato pun berjalan, dan
tidak berapa lama kemudian, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apa
pun. Sokrates bertanya: “Mengapa kamu tidak membawa satu pun ranting?” Plato
menjawab: “Bukankah aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak
boleh mundur kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling
menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan
sana, jadi tak kuambil ranting tersebut.
Saat aku melanjutkan
berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan
kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatang pun pada
akhirnya”. Mendengar jawaban Plato, Sokrates pun berujar: “Itulah cinta. Cinta
adalah pemahaman yang terus-menerus harus dibangun dan diperjuangkan. Cinta
harus dibuktikan, bukan dinyatakan”.
HARAPAN
Pada tanggal 7 Desember 1998 di bagian utara Armenia, terjadi gempa dengan kekuatan 6,9 skala richter yang menghancurkan sebuah gedung sekolah diantara bangunan-bangunan lainnya. Di tengah keramaian dan suasana panik, seorang bapak berlari menuju ke sekolah tersebut, dimana anaknya bersekolah. Sambil berlari, ia terus teringat pada kata-kata yang sering ia ucapkan kepada anaknya itu, “Hai anakku, apapun yang terjadi, bapak akan selalu bersamamu!”
Pada tanggal 7 Desember 1998 di bagian utara Armenia, terjadi gempa dengan kekuatan 6,9 skala richter yang menghancurkan sebuah gedung sekolah diantara bangunan-bangunan lainnya. Di tengah keramaian dan suasana panik, seorang bapak berlari menuju ke sekolah tersebut, dimana anaknya bersekolah. Sambil berlari, ia terus teringat pada kata-kata yang sering ia ucapkan kepada anaknya itu, “Hai anakku, apapun yang terjadi, bapak akan selalu bersamamu!”
Sesampainya di tempat di
mana sekolah itu dulunya berdiri, yang ia dapati hanyalah sebuah bukit tumpukan
batu, kayu dan semen sisa dari gedung yang hancur total! Pertama-tama ia hanya
berdiri saja di sana sambil menahan tangis. Namun kemudian, ia pergi ke bagian
sekolah yang ia yakini adalah tempat ruang kelas anaknya. Dengan hanya
menggunakan tangannya sendiri ia mulai menggali dan mengangkat batu-batu yang
bertumpuk di sana. Ada seseorang yang sempat menegurnya, “Pak, itu tak ada
gunanya lagi. Mereka semua pasti sudah mati.”
Bapak itu menjawab, “Kamu
bisa berdiri saja di sana, atau kamu bisa membantu mengangkat batu-batu ini!”
Maka orang itu dan beberapa orang lain ikut menolong, namun setelah beberapa
jam mereka capek dan menyerah. Sebaliknya, si bapak tidak bisa berhenti
memikirkan anaknya, maka ia menggali terus.
Dua jam telah berlalu,
lalu lima jam, sepuluh jam, tigabelas jam, delapan belas jam. Saat itulah ia
mendengar suatu suara dari bawah papan yang rubuh. Dia mengangkat sebagian dari
papan itu, dan berteriak, “Armando!”, dan dari kegelapan di bawah itu terdengarlah
suara kecil, “Papa!”. Kemudian terdengarlah suara anak-anak yang lain yang
ternyata selamat, dan ikut berteriak saat itu.
Semua orang yang ada di
sekitar reruntuhan itu, kebanyakan para orang tua dari murid-murid, terkejut
sekaligus bersyukur saat menyaksikan dan mendengar teriakan mereka. Mereka
menemukan 14 anak yang masih hidup itu! Pada saat Armando sudah selamat, dia
membantu untuk menggali dan mengangkat batu-batu sampai teman-temannya sudah
diselamatkan semua. Semua orang mendengarnya ketika ia berkata kepada
teman-temannya itu, “Lihat, aku sudah bilang kan, bahwa Papaku pasti akan
datang untuk menyelamatkan kita!”
JODOH
Plato bertanya kepada Sokrates: “Bagaimanakah aku nanti akan menemukan jodohku?” Mendengar pertanyaan Plato tersebut, Sokrates malah meminta Plato untuk mencari sebuah pohon yang bagus untuk ditebang. Plato pun pergi ke sebuah hutan yang terdekat, sesuai permintaan Sokrates. Dia pun berjalan menyusuri hutan tersebut. Saat itu dia menemukan sebuah pohon yang sangat bagus menurutnya untuk ditebang sesuai saran Sokrates. Namun tiba-tiba dia mengurungkan niatnya.
Plato bertanya kepada Sokrates: “Bagaimanakah aku nanti akan menemukan jodohku?” Mendengar pertanyaan Plato tersebut, Sokrates malah meminta Plato untuk mencari sebuah pohon yang bagus untuk ditebang. Plato pun pergi ke sebuah hutan yang terdekat, sesuai permintaan Sokrates. Dia pun berjalan menyusuri hutan tersebut. Saat itu dia menemukan sebuah pohon yang sangat bagus menurutnya untuk ditebang sesuai saran Sokrates. Namun tiba-tiba dia mengurungkan niatnya.
Ia kembali menyusuri jalan
setapak di tengah hutan, berharap menemukan kembali pohon yang lebih baik dari
yang ia lihat sebelumnya. Namun setelah lama dia berjalan dan hampir keluar
dari hutan, dia belum menemukan lagi pohon yang menurutnya lebih baik dari yang
pertama. Tetapi ada sebuah pohon yang tidak jauh dari tempatnya berdiri saat
itu yang tidak lebih baik dari yang pertama, tetapi menurutnya masih lebih baik
untuk menebangnya saja daripada dia pulang tidak membawa apa-apa sesuai saran
Sokrates. Kala itu ia berpikir bahwa dia tetap membutuhkan sebuah pohon yang
harus ditebang untuk dibawanya pulang.
Setelah itu ia langsung
pulang menemui Sokrates dengan membawa sebuah pohon yang telah ditebangnya.
Melihat kedatangan Plato itu, Sokrates bertanya keheranan: “Apakah ini
menurutmu pohon yang baik?” Plato menjawab: “Sebetulnya pada awalnya ada yang
lebih baik tetapi saya lewatkan karena berharap menemukan yang lebih baik. Setelah
saya jauh berjalan, saya menemukan pohon ini yang tidak lebih baik dari yang
pertama.” Dengan tersenyum, Sokrates pun berkata: “Itulah jodoh. Bahwa jodoh
akan kaudapatkan berdasarkan keputusanmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar