Dari mana aku harus mulai?
Sungguh sulit sekali untukku menemukan simpul pertama dari ceceran dan serakan
ingatan yang telah tercerai-berai –yang sebagian besar telah terlupakan. Meski
demikian, rasanya aku akan merasa bersalah bila mencampakkan yang masih tersisa
sebagai kenangan. Aku ingin memulainya dari kupu-kupu di pagihari dan senja
yang sesekali kulihat di barisan pohon Rosella yang ditanam Ibuku, ketika hari
bersimbah cuaca dingin atau di kala iklim berubah cerah selepas hujan menjelang
siang.
Apakah kau akan membaca
kisah pribadi yang kutulis ini? Aku berharap demikian. Keikhlasanmu untuk
meluangkan waktu demi membaca kisahku ini akan menjadi penghargaan yang sangat
berarti bagiku.
Kala itu adalah masa-masa
di tahun 1980-an, ketika Ibuku memetik buah Rosella, sementara aku asik
memperhatikan kupu-kupu yang hinggap di salah-satu pohon Rosella itu, yang
warna sepasang sayapnya seperti susunan ragam tamsil karena cahaya matahari
senja. Ia sesekali terbang, lalu hinggap lagi, kadangkala berpindah atau pindah
kembali ke pohon Rosella yang sama, lalu terbang lagi, sebelum akhirnya pergi
ke tempat yang ingin ia ziarahi.
Keesokan harinya Ibuku
akan menjemur biji-biji Rosella itu dengan tikar yang ia sulam dari sejumlah
karung bekas, dan akan mengangkatnya selepas asar, sebelum kami akan menggoreng
dan menumbuknya bersama menjadi bubuk kopi yang akan kami bungkus dengan
plastik-plastik kecil yang ia beli dari warung. Kakak perempuanku yang akan
memasukkan bubuk kopi Rosella itu, sedangkan aku yang menjahit ujung plastik
itu dengan cara mendekatkannya ke semungil nyala lampu minyak.
Aku membeli buku-buku
tulis sekolahku dari menjual bubuk kopi Rosella yang ditanam Ibuku itu,
pohon-pohon Rosella yang acapkali disinggahi sejumlah kupu-kupu, selain
dihinggapi dan diziarahi para kumbang.
Kami terbiasa hidup bersahaja
dan memperoleh rizki kami dari Tuhan dengan perantaraan pohon-pohon ciptaan
Tuhan yang ditanam Ibundaku: Rosella, kacang panjang, tomat, labuh, dan
lain-lain yang kemudian dijual Ibuku setelah ia mengunduh dan memanennya. Aku hanya
bisa membantu Ibuku sepulang sekolah atau ketika hari libur sekolah, meski kadangkala
aku absen untuk membantunya dan lebih memilih untuk bermain dan menerbangkan
layang-layang, berburu jangkerik, atau berburu para belalang yang kesulitan
untuk terbang karena air yang melekat di sayap-sayap mereka dan yang tergenang
di hamparan sawah-sawah di kala hujan atau selepas hujan bersama teman-temanku.
Hidup kami memang seperti
kupu-kupu di senjakala yang mengimani kesabaran dan ketabahan sebagai keharusan
yang tak terelakkan. Tahukah kau kenapa aku mengumpamakannya dengan kupu-kupu? Aku
akan menjawabnya. Kupu-kupu, juga para kumbang, adalah makhluk-makhluk Tuhan
yang ikhlas bekerja dan dengan takdir mereka sebagai para pengurai dan
penyerbuk kembang dan bunga.
Kehadiran mereka merupakan
berkah bagi kami yang mengais rizki dari hidup bertani dan menanam sejumlah
tanaman yang buah-buahnya dapat dijual Ibuku. Keberadaan mereka adalah siklus
alam dan kelahiran bagi kami, para petani.
Mereka, para kupu-kupu
dengan sayap-sayap ragam warna di kedua sisi lengan mereka itu, akan datang
tanpa kami undang bila tanaman-tanaman yang kami tanam telah berbunga, entah
mereka datang di pagihari atau di senjahari. Memang aku baru menyadarinya di
saat aku tak lagi hidup seperti di masa-masa itu –sebuah pemahaman yang memang
terlambat. Tetapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak menyadarinya
sama-sekali? [Sulaiman Djaya]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar