Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2007)
Untuk mendefinisikan apa itu puisi, saya
mengalami kesulitan dan tak bisa mendefinisikannya, dan itu berbeda dengan
kritikus dan analis sastra dan pakar bahasa. Meskipun demikian, saya memiliki
pemahaman sendiri tentang apa itu puisi, walau tentu saja akan bersifat
subjektif dan sepihak. Dan, sekedar mengutip, saya ingin mengawali esai singkat
ini dengan apa yang ditulis Hiedegger tentang Puisi, Pemikiran, dan Dunia:
“To think is to confine yourself to a single
thought // that one day stands still like a star in the world’s sky” (Martin Heidegger: Poetry, Language and Thought).
Saya percaya puisi lahir dari keintiman
seseorang dengan dunia dan keseharian. Dan sampai saat ini, jika pendapat saya
tidak berubah, saya mempercayai puisi yang berhasil adalah puisi yang sanggup
menciptakan realitas dalam puisi, yang dengan itu pula pencitraan dan kiasan
menjalankan fungsinya, bahkan pada tingkat lebih jauh, pencitraan dan kiasan
tersebut sanggup menciptakan fantasi dan transendensi demi menggambarkan sebuah
dunia-realitas yang unik dan memang hanya milik puisi itu sendiri.
Karena itulah saya menuliskan saja apa yang
tiba-tiba muncul dalam hati saya ketika saya berjumpa atau pun mengalami moment
keintiman dengan apa yang saya dekati dengan pancaindra dan bathin saya.
Lagi-lagi, saya jadi teringat dengan apa yang dikatakan Heidegger ketika ia
berpendapat bahwa puisi bisa dipahami sebagai puncak pemikiran, akan tetapi
pemikiran yang dimaksudkan Heidegger itu tak semata hanya kemampuan dan
kapasitas salah-satu fakultas tubuh kita yang kita sebut rasio.
Pemikiran yang dimaksudkannya adalah
keterlibatan dan keintiman seluruh pancaindera kita termasuk hati.
Heidegger memang berbicara tentang
ketersituasian manusia dalam dunia, apa yang ia sendiri menyebutnya sebagai
Being in the World alias “berada dalam dunia”, yang juga mengingatkan saya pada
eksistensialisme-nya Soren Kierkegaard, mirip seperti ketika jatuh cinta yang
dalam bahasa Inggris ditulis dan diucapkan menjadi “Fall In Love” alias Jatuh
dalam Cinta atawa “berada dalam cinta”, yang bila kita kembali dalam pengertian
Heidegger, puisi bisa juga dimengerti sebagai cara berada manusia dalam dunia.
Dengan keintiman itulah, seni dan puisi
sanggup memungkinkan “Sang Ada” berbicara dengan terang dan jernih. Ambillah
kasus lukisan sepatu petani-nya Van Gogh, yang dengan lukisan itu kita tak
hanya memahami dan memandang sepatu sebagai semata-mata benda mati, tetapi
lebih dari itu, kita mengalami arti sepatu yang unik dan kontekstual, papar
Heidegger, di mana seni melibatkan perhatian bagi benda-benda dalam konteks dan
arti historis mereka.
Sepatu dalam lukisan Van Gogh yang dimaksudkan
adalah sejumlah cerita seorang petani, sepatu yang telah mengalami banyak
kehidupan atau sejumlah peristiwa keseharian, pengalaman keprihatinan atau pun
kemiskinan si pemiliknya, kehidupan dan keseharian si petani yang hendak
diceritakan dan digambarkan Van Gogh dengan lukisannya itu.
Juga di sini, kita bisa menyebutkan lukisan
Van Gogh lainnya, yaitu the Potato Eaters yang suram dan amat bersahaja itu.
Demikianlah, puisi yang saya pahami mestilah
mengandung sekaligus hendak menceritakan realitas keintiman tersebut. Jika pun
kita memandang penting retorika dan stilistika sebagai upaya pencapaian bahasa,
tentulah dimengerti dalam kerangka modus ujaran dan penyampaiannya.
Pelukis lain yang saya pandang berhasil
menampilkan keintiman yang saya maksudkan itu adalah juga Giovanni Segantini,
ketika saya mempelajari sebuah lukisan miliknya yang menggambarkan seorang ibu
yang tengah mendekap anaknya di sebuah pohon yang tak lagi memiliki daun.
Seakan-akan Segantini hendak bercerita tentang kepedihan dan keprihatinan yang
sama seperti yang ditampilkan oleh lukisan-lukisannya Van Gogh.
Saya kira, dalam konteks ini, penyair dapat
pula belajar dari pelukis ketika hendak menyampaikan dunia yang ingin
diceritakan atau pun digambarkan puisinya, seperti juga ia dapat belajar dari
komponis untuk tekhnik bahasa dan nada-nada demi memungkinkan puisi yang
ditulisnya terasa merayu dan indah.
Untuk saya sendiri, pelajaran pertama tentang
keintiman memanglah alam, lalu kemudian membaca karya-karya puisi para penyair
sufi yang menurut saya adalah para maestro simbolis, yang telah mengajarkan
kepada saya tentang bahasa sederhana yang padat sekaligus kental secara
musikal, memiuh dan kaya makna.
Selanjutnya, saya mengasah kepekaan bathin
saya dengan berusaha mempelajari dan memahami lukisan-lukisannya para pelukis
naturalis dan impresionis yang bagi saya pandai menggambarkan suasana dan
perasaan sejauh menyangkut dunia dan keseharian yang mereka jelmakan sebagai
sejumlah tubuh, subjek, dan tentu saja keseharian. Singkatnya, selain tentu
saja kitab suci, ada tiga khasanah yang berjasa dalam pembelajaran saya untuk
menulis: sufisme, musik, dan lukisan.
Dan, suatu ketika, saya jatuh cinta, hanya
saja hal itu tak lebih suatu pengalaman puitis, suatu pengalaman yang kemudian
mengajarkan saya belajar menulis puisi:
Aku tahu bagaimana rasanya
jatuh cinta. Dan bagaimana ia mengkhianatiku
dengan selembut keindahan
jatuh cinta. Dan bagaimana ia mengkhianatiku
dengan selembut keindahan
yang membingungkan.
Aku tahu seseorang harus belajar merasa kecewa
sebelum ia menulis lagu
Aku tahu seseorang harus belajar merasa kecewa
sebelum ia menulis lagu
dan sajak cinta.
Di saat-saat kubosan dan ingin tidur
aku cuma berharap masih bisa
Di saat-saat kubosan dan ingin tidur
aku cuma berharap masih bisa
mengenang bagaimana derai rambutmu
seakan malam yang dilanda gundah
pada kertas-kertas yang berserakan.
seakan malam yang dilanda gundah
pada kertas-kertas yang berserakan.
Angin yang terus mendesir pelan
membuatku kembali teringat burung-burung liar
yang berlesatan bersama setiap kata
membuatku kembali teringat burung-burung liar
yang berlesatan bersama setiap kata
yang kau ucapkan. Sejak saat itulah
aku memahami keindahan yang kukenal
seumpama sepasukan penjahat
aku memahami keindahan yang kukenal
seumpama sepasukan penjahat
yang riang bermain-main dengan kesedihan
seorang lelaki. Sejak saat itu,
aku ingin terus terbaring saja
seorang lelaki. Sejak saat itu,
aku ingin terus terbaring saja
dan bermimpi di lelap sajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar