Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2002)
Rumah mungil beratap seng
itu terasa gerah sekali ketika kami akhirnya berbincang, meski saat itu hujan
baru saja reda. Bahkan, di hari ketika aku mendatangi lingkungan kumuh itu,
gelap langit mendung masih terus meneteskan butiran-butiran air, dan angin dari
sudut-sudut gang becek sesekali mengirimkan bau tak sedap.
Di hari itu, meski jam di
tanganku menunjukkan pukul lima kurang beberapa menit, cuaca bulan Desember
telah merubah senja menjadi malam yang datang lebih awal. Orang-orang pun
menyalakan bohlam-bohlam dan neon-neon lampu listrik mereka.
Kedatanganku ke lingkungan
yang telah akrab dengan aroma anyir dan asam itu karena memang ditugaskan oleh
sebuah lembaga survey di Jakarta untuk melakukan wawancara lapangan. Di senja
yang terus menitik dan menjelma malam lebih awal itu, aku melakukan wawancara
dengan seorang bapak, yang menurut pengakuannya sendiri, telah berusia empat
puluh tahun lebih, dan bekerja sebagai kuli bangunan. Ketika wawancara dimulai,
aku bersandar pada pintu agar dapat merasakan hembusan angin dari luar dan tak
terlalu merasa gerah, meski harus menghirup aroma-aroma tak sedap yang dikirim
angin yang melintas.
Di sebuah sudut tikungan
yang tak terlalu jauh dari tempat kami berbincang, beberapa orang tampak asik
bergoyang dangdut di depan sebuah warung kopi. “Mereka adalah orang-orang
kampung sini, teman-teman saya juga sesama kuli bangunan dan para pekerja
dadakan,” kata si bapak yang kuwawancara sambil sedikit tertawa tanda keramahan
ketika aku menengok ke arah orang-orang yang tengah asik berjoget dangdut yang
suaranya sampai juga ke tempat kami.
Itulah kali pertama aku
benar-benar merasa kagum, akrab, juga heran dengan orang-orang yang hidup di
sebuah tempat yang terbiasa dengan bau anyir dan aroma-aroma tak sedap seusai
hujan. Si bapak yang kuwawancarai itu memiliki seorang anak gadis belia berusia
belasan tahun, yang kebetulan duduk di samping bapaknya ketika kami berbincang
seputar kehidupan sehari-hari mereka. Sebutlah gadis belia itu bernama Santi,
seorang gadis belia yang masih bersekolah di sebuah sekolah dasar yang tak jauh
dari lingkungan kumuh itu, yang seperti dikatakan bapaknya, kadang-kadang
membantu ibunya yang bekerja sebagai tukang cuci.
Saat mendengar si bapak
tentang anak gadis satu-satunya itu, aku jadi teringat tokoh Sonia Marmeladov
dalam novel Crime and Punishment-nya Fyodor Dostoyevksy itu. Meski tentu saja
perihal keseharian Santi dan Sonia tidak sama. Namun, setidak-tidaknya, dunia
Santi dan Sonia-nya Dostoyevsky itu menggambarkan situasi yang sama.
Meski pekerjaan
mewawancara orang-orang di sejumlah tempat telah beberapa kali kulakukan
sebelum-sebelumnya, rasa-rasanya di tempat itulah aku merasa yang paling cukup
melelahkan. Mungkin karena harus berjuang dengan cuaca yang telah bercampur
dengan bangkai-bangkai sampah dan gang-gang becek yang bila tak kutahan-tahan,
niscaya aku telah beberapa kali muntah. Rasa pening pun menyerang kepalaku saat
aku berjalan menyusuri gang-gang yang dirundung gerimis itu. Rasa jenuh dan
lelah itu pun harus ditambah dengan lalulintas Koja yang padat, sementara
kali-nya yang berwarna hitam itu tak kalah asamnya menyebarkan bau tak sedap
seperti lingkungan kumuh di mana aku melakukan wawancara itu.
Kutinggalkan rumah
sederhana beratap seng yang hanya memiliki tiga ruangan itu meski langit masih
saja meneteskan butiran-butiran air yang membuat kepalaku merasa berat, juga
dingin angin yang membuat tubuhku terus menggigil di saat aku terus melangkah
dengan sepasang sepatu yang terasa lembab dan basah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar