Hari itu seorang musafir
bergerak ke arah kota Kufah, Irak. Ia telah melewati perjalanan yang jauh untuk
mencapai suatu tempat di sekitar Kufah dan kini ia merasa kelelahan. Dia
berpikir alangkah baik dan menyenangkan bila ia mempunyai teman seperjalanan.
Satu jam kemudian, tampak sesosok orang dari kejauhan. Sang musafir merasa
gembira dan berkata sendirian, ”Aku akan bersabar sampai orang itu datang
menghampiriku. Mungkin saja dia bisa menjadi teman seperjalananku.”
Sosok dari kejauhan itu akhirnya mendekat. Ternyata dia adalah seorang lelaki yang berwajah menarik dan bercahaya. Terlihat senyum terukir di bibir lelaki itu. Ketika keduanya berdekatan, mereka saling bertanya kabar. Ternyata, lelaki itu juga akan pergi ke Kufah. Sang musafir yang kesepian tadi merasa gembira karena kini dia telah memiliki teman seperjalanan. Lelaki yang baru tiba itu ternyata tidak lain adalah Imam Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, Imam Ali menyembunyikan identitasnya.
Keduanya akhirnya bersama-sama melanjutkan perjalanan. Mereka lalui perjalanan itu sambil berbincang-bincang. Tak lama kemudian, Imam Ali mengetahui bahwa teman seperjalanannya itu adalah seorang non-muslim. Dan Imam Ali memperlakukannya dengan sangat baik layaknya seorang sahabat bagi si musafir, sampai-sampai lelaki non-muslim itu merasakan kecintaan terhadap Imam Ali yang kala itu adalah seorang khalifah.
Sosok dari kejauhan itu akhirnya mendekat. Ternyata dia adalah seorang lelaki yang berwajah menarik dan bercahaya. Terlihat senyum terukir di bibir lelaki itu. Ketika keduanya berdekatan, mereka saling bertanya kabar. Ternyata, lelaki itu juga akan pergi ke Kufah. Sang musafir yang kesepian tadi merasa gembira karena kini dia telah memiliki teman seperjalanan. Lelaki yang baru tiba itu ternyata tidak lain adalah Imam Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, Imam Ali menyembunyikan identitasnya.
Keduanya akhirnya bersama-sama melanjutkan perjalanan. Mereka lalui perjalanan itu sambil berbincang-bincang. Tak lama kemudian, Imam Ali mengetahui bahwa teman seperjalanannya itu adalah seorang non-muslim. Dan Imam Ali memperlakukannya dengan sangat baik layaknya seorang sahabat bagi si musafir, sampai-sampai lelaki non-muslim itu merasakan kecintaan terhadap Imam Ali yang kala itu adalah seorang khalifah.
Si musafir itu lalu
berhenti sejenak dan berkata kepada Imam Ali, “Sungguh menakjubkan, kebetulan
satu jam yang lalu aku memohon teman seperjalanan untuk menemaniku agar
beratnya perjalanan ini tidak terasa olehku, Lihatlah betapa Tuhan telah
mengabulkan permintaanku. Sampai kini, aku tidak pernah menemui orang sebaik
dan sepandai engkau dalam berbicara.”
Imam Ali hanya tersenyum ketika mendengar kata-kata lelaki itu dan mereka kembali meneruskan perjalanan mereka. Hingga sampailah mereka berdua itu pada sebuah persimpangan jalan. Satu jalan ke kota Kufah yang menjadi tempat tujuan Imam Ali bin Abi Thalib dan jalan lainnya merupakan arah yang dituju oleh si lelaki non-muslim (si musafir). Imam Ali tidak mengambil jalan ke arah Kota Kufah dan terus berjalan mengikuti teman seperjalanannya.
Lelaki itu sibuk berbicara sehingga tidak menyadari hal tersebut. Beberapa saat kemudian, ketika dia mulai menyadarinya, ia kemudian bertanya, “Sahabatku, engkau telah salah memilih jalan, sewaktu di persimpangan tadi engkau seharusnya memilih jalan ke Kufah.” Imam Ali menjawab, “Aku tahu. Tetapi aku ingin mengiringimu sampai engkau menyelesaikan pembicaraanmu.” Lelaki itu merasa takjub mendengar ucapan Imam Ali tersebut, lalu berkata, “Budi pekertimu sungguh baik sekali. Aku ingin mengetahui lebih banyak tentang dirimu. Sebutkanlah namamu dan apakah pekerjaanmu?”
Imam Ali menjawab, “Sahabatku, aku adalah Ali bin Abi Thalib.” Lelaki non muslim itu yang sudah sering mendengar nama Ali dan mengetahui dia adalah pemimpin umat Islam, amat terkejut. Kebimbangan menyelimuti dirinya. Dia berkata sendirian, “Ya Tuhanku, sejak tadi hingga kini, ternyata aku sedang bersama khalifah umat Islam dan aku tidak mengetahuinya sama sekali. Lalu, dia berkata kepada Imam Ali bin Abi Thalib, ”Kerendahhatian dan kebaikan perilaku Anda memang layak mendapat pujian. Apakah mereka yang dididik dengan ajaran Islam juga memiliki budi pekerti seperti Anda?”
Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menyampaikan sebuah pesan dari Nabi Muhammad saw kepada beliau, sebuah ajaran akhlak dari Rasulullah saw yang berbunyi, “Berlaku baiklah kepada sesama manusia sehingga mereka menyukai kalian selagi kalian hidup dan menangisi kalian ketika kalian meninggalkan dunia ini.”
Imam Ali hanya tersenyum ketika mendengar kata-kata lelaki itu dan mereka kembali meneruskan perjalanan mereka. Hingga sampailah mereka berdua itu pada sebuah persimpangan jalan. Satu jalan ke kota Kufah yang menjadi tempat tujuan Imam Ali bin Abi Thalib dan jalan lainnya merupakan arah yang dituju oleh si lelaki non-muslim (si musafir). Imam Ali tidak mengambil jalan ke arah Kota Kufah dan terus berjalan mengikuti teman seperjalanannya.
Lelaki itu sibuk berbicara sehingga tidak menyadari hal tersebut. Beberapa saat kemudian, ketika dia mulai menyadarinya, ia kemudian bertanya, “Sahabatku, engkau telah salah memilih jalan, sewaktu di persimpangan tadi engkau seharusnya memilih jalan ke Kufah.” Imam Ali menjawab, “Aku tahu. Tetapi aku ingin mengiringimu sampai engkau menyelesaikan pembicaraanmu.” Lelaki itu merasa takjub mendengar ucapan Imam Ali tersebut, lalu berkata, “Budi pekertimu sungguh baik sekali. Aku ingin mengetahui lebih banyak tentang dirimu. Sebutkanlah namamu dan apakah pekerjaanmu?”
Imam Ali menjawab, “Sahabatku, aku adalah Ali bin Abi Thalib.” Lelaki non muslim itu yang sudah sering mendengar nama Ali dan mengetahui dia adalah pemimpin umat Islam, amat terkejut. Kebimbangan menyelimuti dirinya. Dia berkata sendirian, “Ya Tuhanku, sejak tadi hingga kini, ternyata aku sedang bersama khalifah umat Islam dan aku tidak mengetahuinya sama sekali. Lalu, dia berkata kepada Imam Ali bin Abi Thalib, ”Kerendahhatian dan kebaikan perilaku Anda memang layak mendapat pujian. Apakah mereka yang dididik dengan ajaran Islam juga memiliki budi pekerti seperti Anda?”
Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menyampaikan sebuah pesan dari Nabi Muhammad saw kepada beliau, sebuah ajaran akhlak dari Rasulullah saw yang berbunyi, “Berlaku baiklah kepada sesama manusia sehingga mereka menyukai kalian selagi kalian hidup dan menangisi kalian ketika kalian meninggalkan dunia ini.”
KENAPA
ARAK HARAM DAN BUAH ANGGURNYA TIDAK HARAM?
Acapkali,
para pemimpin (para rabbi) Yahudi ingin mengetahui seberapa kuat dasar agama di
luar agama Yahudi, dan karena itu mereka seringkali juga senang menguji
‘kecerdasan’ ummat lain serta kekuatan argumentasi orang-orang religius di luar
komunitas mereka, semisal yang sering mereka lakukan terhadap kaum muslim di
jaman Rasulullah dan para imam ahlul-bait dan terhadap umat Kristiani di jaman
Isa Al-Masih putra Maryam yang disucikan.
Suatu
hari Imam Ali bin Abi Thalib diundang seorang pemipin Yahudi untuk mengahadiri
acara jamuan di rumahnya. Kepada Imam Ali, pemimpin Yahudi itu menyuguhkan buah
anggur. Imam Ali pun memakannya. Lalu pemimpin Yahudi itu memberi segelas khamr
(arak) kepada Imam Ali (mungkin untuk mencobai Imam Ali, sebab dalam Yahudi pun
khamr diharamkan). "Maaf, khamr diharamkan bagi kami kaum muslimin",
kata Imam Ali. "Sungguh aneh sekali kalian ini wahai muslim", kata
pemimpin Yahudi itu, "kalian menghalalkan anggur tapi mengharamkan khamr,
padahal khamr berasal dari anggur".
"Apakah engkau memiliki istri?", tanya Imam
Ali. "Punya!" Jawab pemimpin Yahudi itu. "Datangkanlah ia
kemari". Pemimpin Yahudi itu pun memanggil istrinya. "Apakah kamu
memiliki seorang putri?", tanya Imam Ali lagi. "Punya!", jawab
pemimpin Yahudi itu. "Datangkan dia ke sini!" Pemimpin Yahudi itu pun
memanggil putrinya. Dan setelah istri dan putri pemimpin Yahudi itu hadir, Imam
Ali pun berkata kepadanya: "Bukankah Allah menghalalkan kepadamu istrimu
dan mengharamkan putrimu untukmu, padahal putrimu berasal dari istrimu?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar