Bagi
siapa pun yang ingin berkenalan dengan filsafat, biasanya pertanyaan yang mungkin paling
pertama muncul dalam pikiran adalah: apakah filsafat? Dan justru memang
pertanyaan filsafat yang paling mendasar inilah yang diajukan oleh Bryan Magee kepada
filsuf Inggris, Sir Isaiah Berlin dari Oxford, penulis biografi Karl Marx itu.
Diskusi
dengan Sir Isaiah Berlin yang diberi judul 'Pengantar ke Dalam Filsafat' ini
berkisar pada berbagai permasalahan yang mendasar dalam filsafat. Landasan
titik tolak yang diambil oleh filsafat sebagaimana secara panjang lebar
dibentangkan oleh Isaiah Berlin, kurang lebih dapat kita simpulkan dengan
mengatakan bahwa di tengah perjuangan mencari pengetahuan tentang manusia,
mereka pada umumnya mengajukan dua jenis pertanyaan.
PERTAMA,
berbagai pertanyaan mengenai dunia semesta. Manusia sepanjang masa mencoba
menemukan serta menguasai lingkungannya, atau menaklukkan lingkungannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut alam semesta ini, menurut Isaiah Berlin,
hanya bisa terjawab pada akhirnya dengan meninjau pertanyaan-pertanyaan itu
sendiri, menyelidiki, mengamati, menguji, melakukan percobaan terhadap semesta
dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan itu bersifat faktual, atau sebagaimana
yang dikatakan oleh para filsuf: bersifat empiris. Atau jelasnya, pertanyaan
pertanyaan yang berpaut dengan pengalaman.
Pertanyaan
yang Kedua bersifat lebih abstrak dan formal. Misalnya pertanyaan-pertanyaan
dalam bidang matematika atau logika. Pertanyaan jenis ini berkaitan dengan
hubungan timbal-balik antara berbagai kesatuan dengan sistem formal, dan oleh
karena itu tidak dapat dijawab hanya dengan meninjau alam semesta. Dengan
mengatakan hal ini, menurut Isaiah Berlin lagi, tidaklah dimaksudkan bahwa
pertanyaan itu berada pada jarak yang jauh dari perhatian kita sehari-hari.
Satu
sistem formal yang sudah sangat biasa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari
adalah aritmatik. Sistem itu kita pergunakan setiap hari untuk menghitung
sesuatu, menentukan waktu, membilang uang dan sebagainya. Suatu sistem niskala
memang bisa sangat berguna dan penting dalam kehidupan praktis kita
sehari-hari. Dengan demikian, terdapat dua golongan besar pertanyaan: berbagai
pertanyaan empiris yang melibatkan ikhtiar meninjau berbagai fakta dan
pertanyaan-petanyaan formal yang melibatkan upaya menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain.
Hampir
seluruh pertanyaan, dan karena itu seluruh pengetahuan, termasuk ke dalam salah
satu dari golongan pertanyaan tadi. Namun tidaklah demikian halnya dengan
pertanyaan pertanyaan yang bersifat filosofis. Hampir seluruh pertanyaan yang
menunjukkan tanda-tanda pertanyaan filosofis tidak termasuk ke dalam dua
golongan pertanyaan tadi.
Pertanyaan
seperti apakah yang dimaksudkan dengan hak, keindahan, dan keadilan, tidak
dapat sekadar dijawab hanya dengan meneliti ikatan suatu sistem formal atau
meninjau fakta-fakta. Oleh sebab itu kita tidak mengetahui apa yang harus
diperbuat untuk menemukan jawabannya. Timbulnya pertanyaan yang menuntut
jawaban tanpa suatu pengertian yang jelas tentang bagaimana menemukan
jawabannya adalah awal dari langkah filsafat.
Anggapan
keliru yang terlanjur meluas di tengah masyarakat adalah perkiraan bahwa filsafat
dapat memberikan petunjuk-petunjuk moral tentang bagaimana semestinya kehidupan
ini harus dijalani, atau berharap bahwa filsafat dapat menyodorkan penjelasan
tantang manusia dan alam semesta, tentang rahasia kehidupan. Atau, dengan lain
perkataan, orang mencoba menghampiri filsafat untuk menemukan jawaban-jawaban
yang serba pasti.
Seorang
filsuf memang bisa bicara tentang moral, tapi dalam hal ini kedudukannya hanya
sebagai penasehat filosofis. Bukanlah tugasnya untuk berkhotbah, mengutuk atau
memuji, atau memberi berbagai petunjuk tentang bagaimana orang harus hidup.
Tugas seorang filsuf, menurut Isaiah Berlin, hanyalah menempatkan arah dari
satu tindakan dalam hubungan moralnya. Menentukan posisinya berdasarkan suatu
peta moral, menghubungkan sifat, motif, tujuannya pada kaitan seluk-beluk
nilai ke dalam mana tindakan itu tergolong. Menarik garis dari berbagai
akibatnya yang mungkin terjadi serta berbagai implikasinya yang berpautan atau
relevan, memberikan berbagai argumen yang pro atau menentangnya dengan seluruh
pengetahuan, pengertian, kecakapan logika dan kedalaman moral yang dimiliki
oleh sang filsuf.
Dengan
demikian, maka ia telah menjalankan tugasnya bukan sebagai seorang pengkhotbah
atau juru mudi kehidupan, melainkan sekadar sebagai seorang penasehat
filosofis. Seorang filsuf tidak dapat berbuat lebih jauh dari itu atau
melampaui batas tugasnya sebagai seorang penasehat filosofis.
Berpijak
pada pandangan tadi, Isaiah Berlin menyuarakan keberatannya pada sebagian besar
filsuf moral dan politik, mulai dari Plato dan Aristoteles sampai pada Immanuel
Kant, Stuart Mill, Moore, serta kebanyakan para pemikir kontemporer. Menurut Isaiah
Berlin, para filsuf itu justru berbuat sebaliknya. Mereka berusaha mengajarkan
bagaimana membedakan antara yang buruk dengan yang baik, menganjurkan penerapan
pola-pola yang benar ke dalam tingkah laku manusia.
Kendati
demikian, diakui pula oleh Berlin bahwa filsafat mengemban tugas ganda:
menyelidiki, khususnya mengecam pra-anggapan atas ketentuan-ketentuan nilai
yang ditetapkan atau dirumuskan oleh manusia dengan pikiran maupun tindakannya.
Sedangkan tugas lain adalah menampung atau melayani berbagai pertanyaan yang
tidak termasuk ke dalam golongan formal maupun ke dalam golongan empiris yang
telah disinggung di permulaan tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar