"Kebahagiaan muncul dari hidup yang bermakna, dari pembuatan keputusan
yang benar, dan dari mencintai seseorang" (Victor Frankl). “Hidup tanpa
musik dan nada-nada, pastilah sebuah kesalahan” (Friedrich Wilhelm Nietzsche).
Setiap orang, yah engkau
dan aku, memiliki kesunyian masing-masing, yang kita tak sanggup saling menerka
kesunyian kita masing-masing itu, karena ia merupakan sebuah rahasia personal
kita yang tak terselami oleh orang lain selain oleh kita sendiri yang mengalami
dan merasakannya, yang hanya dapat diterka jika dituliskan menjadi sajak dan
nada-nada. Harapan dan keinginan kita seperti fajar dan mekar kembang, ada
karena kecintaan kita pada hidup yang kita jalani.
Aku
percaya setiap orang memiliki hasrat untuk mencari atau pun berusaha untuk
menemukan apa saja yang dapat membuatnya merasa utuh dan berarti, entah apa pun
itu, sesuatu yang mungkin membuatnya merasa lengkap, katakanlah sebagai
contohnya menjadi seorang suami bila ia seorang lelaki atau pun menjadi seorang
istri bila ia perempuan, yang dapat menemukan sendiri arti kebahagiaannya, yang
mampu mengatasi kekeliruan atau pun ketaksepahaman yang acapkali berujung pada
pertengkaran.
Atau
katakanlah menjadi seorang jutawan yang dapat menggunakan waktu seenaknya untuk
membaca buku-buku yang disukainya atau melakukan apa saja yang diinginkannya.
Artinya, yang tengah ingin kubicarakan ini adalah hasrat setiap orang untuk
menjadi apa pun yang dapat membuatnya merasakan hidup yang sesungguhnya dan
menjadi seseorang, menjadi seseorang yang mampu mendapatkan kebahagiaannya
sendiri dengan segala apa yang dilakukan dan dijalaninya.
Tetapi
acapkali kebahagiaan adalah kesadaran dan keintiman kita pada segala yang
hadir, ketika kita mensyukuri dan mengakrabinya dengan ikhlas, bukan
mengabaikannya, dan lalu mengangankan sejumlah utopia atau harapan-harapan
palsu yang hanya akan membuat kita lari dari kenyataan hidup itu sendiri.
Tetapi
apakah aku sendiri telah mendapatkan dan menemukan apa yang kubicarakan itu? Hingga
aku merasa berhak untuk berceloteh tentangnya, yang memang barangkali mirip
khutbah solipsistik. Sejujurnya aku sendiri tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa
aku selalu mencoba dan berusaha untuk mendapatkan dan menemukannya, terlebih
sebagai seorang yang senantiasa dirundung gelisah dalam kesendirianku.
Aku,
seorang lelaki yang bernama Ahmad Hasan, seorang lelaki yang tengah dan terus
mencoba untuk menjadi penulis di saat tak memiliki kesibukan lain. Meskipun
demikian, ada satu hal yang setidak-tidaknya dapat meredakan kegelisahanku
untuk waktu-waktu sementara, seperti ketika aku memandangi pohon-pohon yang
kutanam terlihat segar dan rindang.
Itu
semua karena ketika aku berpikir dan merenunginya, ada kesadaran yang hadir
dalam diriku bahwa kesegaran dan keindahan pohon-pohon yang telah kutanam itu
haruslah kuumpamakan sebagai keriangan dan kegembiraan hidup itu sendiri dalam
kondisi apa pun, apa pun yang kini tengah kujalani dan kualami.
Mungkin
saja itu semua pun lebih merupakan upaya-upayaku untuk menciptakan penghiburan
dan harapan dalam kesepian dan kesunyianku sebagai penulis –yang acapkali
dilanda kebuntuan epistemologis dan mengalami ketersendatan sintagmatik yang kadangkala
membuatku harus mengurungkan niatku untuk menulis puisi atau cerita –meski awalnya
aku merasa telah memiliki ide, tamsil, dan gagasan yang akan memberiku sebuah
puisi indah yang kuinginkan, sebuah puisi romantis, sebagaimana alunan gesekan
cello yang dimainkan seorang cellist perempuan yang memainkan komposisi sensual
dan membuatku memiliki imajinasi untuk mengembara ke dalam dunia angan-angan,
yang berkenala sebagaimana nada-nada komposisi musik yang kudengarkan dan lalu
kurenungi.
Dan
jika itu semua benar adanya, aku takkan mengingkarinya, karena sebenarnya
mestilah kuakui, keseharianku di pedesaan ini merupakan pelarian diri, meskipun
di sisi lain haruslah kuakui juga, keseharianku di pedesaan ini telah berjasa
bagi kehidupan bathinku karena ketenangan dan kesunyiannya yang telah
memberikan banyak puisi dan tamsil keindahan. Begitu juga malam-malamnya yang
telah memberiku keheningan dan kedamaian di saat-saat aku menulis atau pun
membaca dalam kesepian dan kesendirian.
Sementara
itu, di saat aku menulis catatan harianku ini, hari tampak mendung dan terasa
lembab karena cuaca basah selepas hujan menjelang asar tadi, tapi justru hal
itulah yang membuatku merasa nyaman, merasakan ketenangan setelah di waktu
malam sebelumnya kegelisahan dan kegundahan menguasaiku selama berjam-jam –hingga
membuatku larut dalam diam dan lamunan, sementara rasa bosan dan kegundahan
yang samar hampir menenggelamkan pikiranku.
Haruslah
kuakui, bulan Juli kali ini terasa berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya. Dalam
perasaanku bulan Juli kali ini lebih mirip bulan Januari dan Februari, November
dan Desember, ketika malam dan senjanya yang sendu dan petangnya yang bagaikan
sang perawan yang dirundung rindu dan dendam, terasa hening dan senyap –kesenyapan
dan keheningan yang dapat saja memabukkan seseorang yang putus-asa.
Barangkali
perlu juga kau ketahui, itu pun jika kau ikhlas membaca catatan harianku ini,
sebelum hatiku terbangun dan terjaga di senja ini setelah terendam dalam
lamunan karena rasa bosan yang menghunjam kalbu, selama berjam-jam tadi malam aku
hanya terdiam di kursiku, seperti yang telah kukatakan dan harus kukatakan
lagi, agar ingat dan menandainya dengan sepenuh hati, sembari mendengarkan
alunan-alunan violin dan denting-denting piano dari beberapa komposisi yang
kusuka –dari Debussy hingga Chopin, dari Mozart hingga Beethoven, dari Haydn
hingga Paganini, dari Shostakovich hingga Vivaldi.
Hal
itu kulakukan setiap kali aku ingin mendapatkan tamsil dan suasana untuk puisi
yang akan kutulis di waktu-waktu malam atau pun di pagihari dan sorehari bila
aku terbangun dalam keadaan segar, dan pikiranku merasa tercerahkan karena
cuaca fajar dan kedamaian senja yang seperti perempuan yang mempesona.
Demikianlah
aku menjelmakan kesunyianku sendiri dalam komposisi kata-kata dan paragraf atau
dalam parafrase dan nada-nada musik yang kususun dari kata-kata, menyalinnya
dan meminjamnya untuk sementara, sebelum aku menemukan suasana-suasana yang
lainnya, sebelum aku menemukan alibi-alibi, kebohongan-kebohongan yang berbeda,
yang mungkin juga sama saja, melakukan pengulangan-pengulangan, sebab betapa
rentan dan rapuh seorang lelaki yang kadang merasa diri sabar dan tegar
menjalani kesepian dan kesendirian.
Yah,
aku tengah mengenakan topeng ketika aku terus menulis, terus-menerus mengenakan
topeng demi memenuhi apa yang tak bisa kudapatkan dalam kehidupan yang
sebenarnya, dalam keseharian yang biasa seperti yang dijalani dan dilakukan
kebanyakan orang yang terbebas dari pretensi dan tendensi estetis dan
kesombongan artistik. Dengan ini aku hanya ingin mengatakan bahwa hasrat pada
keindahan adalah upaya untuk mengobati diri sendiri. Sejumlah ikhtiar untuk
mengatasi atau pun mengalihkan kesepianku sendiri menjadi seni.
Hak
cipta (C)Sulaiman Djaya (2007). Ilustrasi:
Alisa Weilerstein.