“Para
pembunuh Imam Husain as, demikian dinyatakan Syahid Ayatullah Murtadha
Muthahhari, itu ada tiga macam –yaitu:
Pertama,
yang membunuh jasadnya seperti pasukan Yazid dan Ibnu Ziyad.
Kedua,
yang membunuh kehormatan dan nama baiknya, yaitu kelompok yang menafikan
perjuangannya dan menyebut beliau pemberontak yang memang layak dibunuh dan
tidak usah diingat-ingat lagi. Juga kelompok yang meyakini beliau benar dan
gugur sebagai syuhada tapi tetap membela yang membunuhnya dan menuntut ummat
untuk melupakan saja peristiwa tersebut, bahkan memusuhi mereka yang mengadakan
majelis-majelis duka untuk mengenang tragedi Karbala.
Ketiga,
yang membunuh semangat perjuangannya, yaitu kelompok yang mengaku mencintai
Imam Husain as, mengadakan majelis duka tapi perilaku kesehariannya
bertentangan dengan apa yang dibela oleh Imam Husain as di Karbala, seperti
melalaikan shalat, zalim kepada orang lain, koruptif, meninggalkan amar ma’ruf
dan nahi mungkar”.
Dan
tulisan ini adalah sisi lain Tragedi Karbala, tragedi yang menimpa cucu
Rasulullah dan keluarganya yang memilukan itu. Ketika itu, setelah Muslim bin
Aqil, sang utusan Imam Husain as dibunuh dengan cara ditusuk dan disabet dengan
pedang-pedang pasukan Ubaydillah Ibn Ziyad atas perintah Yazid bin Muawwiyah,
dan lalu tubuhnya dilempar dari atas menara, dua anak-nya, yaitu Muhammad dan
Ibrahim juga ditahan dan dibawa ke sel bawah tanah.
Diriwayatkan
bahwa Muhammad waktu itu masih berumur sepuluh tahun dan Ibrahim delapan tahun.
Pada
tanggal 20 Zulhijah tahun 60 Hijriah, ketika sipir penjara datang membawa makan
untuk anak-anak itu, ia melihat mereka sedang salat. Sipir pun kemudian
menunggu. Ketika anak-anak itu selesai salat, ia menanyakan siapa mereka
sesungguhnya. Ketika sipir tahu bahwa mereka adalah anak-anak Muslim bin Aqil,
ia melepaskannya. Anak-anak pun keluar dari penjara.
Di
malam hari, yang pertama ada di pikiran mereka adalah menemui Imam Husain as
dan mengingatkannya untuk tidak pergi ke Kufah. Tapi ke manapun mereka pergi,
mereka melihat jalanan diblokade oleh pasukan Ibnu Ziyad. Tidak mungkin untuk
keluar dari Kufah. Kondisi pun semakin larut. Ke mana anak-anak ini akan pergi?
Mereka
sadar berada di sisi sungai Eufrat. Mereka meminum air sungai dan menaiki pohon
untuk bersembunyi pada hari itu. Sampai akhirnya seorang wanita datang ke
sungai untuk mencari air. Ia melihat dua anak kecil dan bertanya siapa mereka.
Ibrahim menjawab, “Kami adalah dua anak yatim, maukah engkau
meninggalkan kami dan jangan beri tahu kalau engkau melihat kami?” Wanita
itu meminta mereka untuk ikut bersama menemui majikannya yang mungkin bisa
membantu.
Majikan
wanita itu adalah perempuan yang baik. Setelah berbicara kepada anak-anak itu,
ia sadar siapa mereka. Ia pun memberi mereka makan dan berkata, “Kalian
bisa menghabiskan waktu di sini dan saya akan coba membantu kalian. Sayangnya,
suamiku Harits bekerja untuk Ibnu Ziyad. Kalian dapat beristirahat di ruang
penyimpan makanan tapi jangan membuat suara karena ia akan segera pulang dan
menemukan kalian.”
Anak-anak
itu kemudian berdoa dan pergi tidur.
Malam
harinya Muhammad bangun dan mulai menangis. Ibrahim bertanya mengapa ia
menangis, Muhammad menjawab, “Aku melihat ayah dalam mimpi. Ia memanggil
kita…” Ibrahim berkata, “Saudaraku, sabarlah. Aku juga melihat
ayah dalam mimpi dan memberi isyarat kepada kita.”
Kemudian
mereka mulai menangis. Harits yang sudah pulang mendengar suara. Ia membuka
pintu dan bertanya siapa kalian. Setelah mengetahui bahwa mereka adalah
anak-anak Muslim bin Aqil, ia mengikat anak-anak itu ke tiang. Istri Harits
berusaha menghentikannya tapi ia dipukul.
Harits
ingin mendapatkan hadiah yang Ibnu Ziyad tawarkan kepada siapa saja yang bisa
menangkap anak-anak itu. Anak-anak Muslim bin Aqil itu pun menghabiskan malam
mereka dalam ikatan.
Pagi
harinya, Harits menyeret mereka ke tepi sungai. Ia mengambil pedangnya. Ibrahim
bertanya, “Harits, apakah engkau akan membunuh kami?” Harits
menjawab, “Ya!” Ibrahim bertanya, “Kalau begitu,
izinkan kami untuk menyelesaikan salat subuh kami.”
Mereka
berdua pun melakukan shalat dan mengangkat tangan ke atas dan menangis, “Innâ
lillâhi wa innâ ilaihi râji’un! Ya Allah, kami datang kepadamu. Berikan kepada
ibu kami kekuatan ketika ia mendengar kematian kami dan adililah antara kami
dan pembunuh kami!”Pedang itu pun melayang. Mereka dilemparkan ke sungai.
Dua tubuh anak-anak Muslim bin Aqil itu pun hanyut di sungai Furat (Eufrat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar