“Di masa-masa remaja, sebelum listrik hadir di rumah-rumah kami itulah,
kami menonton televisi hitam-putih yang menggunakan tenaga ACCU di malam Minggu
saja atau di hari Minggu-nya”
Ketika aku telah duduk di
kelas tiga sekolah menengah pertama, perubahan tiba-tiba datang dan hadir cukup
drastis, yang kelak akan merubah keadaan lingkungan desa kami. Kala itu, mobil
truck-truck besar datang beriringan membawa tiang-tiang beton dan kemudian para
pekerja menurunkan tiang-tiang beton tersebut di tepi jalan. Sementara itu,
para pekerja lainnya sibuk menebangi pohon-pohon besar sepanjang jalan dengan
menggunakan gergaji mesin.
Keesokan harinya, mereka
pun mulai menancapkan tiang-tiang beton tersebut, dan bersamaan dengan itu pula
aku tahu bahwa mereka sedang membangun jaringan listrik di desa-desa, dan
orang-orang desa diminta menyetorkan sejumlah uang (dengan jumlah di atas 300ribu-an)
bila rumah-rumah mereka ingin dialiri listrik.
Bapakku meminta ganti rugi
atas sejumlah pohon yang mereka tebang dengan menggunakan gergaji-gergaji mesin
itu, dan pihak Perusahaan Listrik Negara menyanggupinya meski tidak maksimal
sesuai yang diinginkan bapakku.
Uang ganti rugi dari PLN
untuk pohon-pohon yang ditebang itulah yang kemudian diserahkan kembali ke
pihak PLN sebagai pembayaran agar rumah kami juga dialiri listrik, di mana
biaya tambahannya dari uang kakakku yang telah bekerja di sebuah pabrik kertas
yang baru beroperasi.
Itulah masa-masa di tahun
90-an, ketika kehadiran dua infrastruktur telah merubah desa kami dalam banyak
hal, secara ekonomi dan budaya, yaitu industri dan jaringan listrik.
Tak lama kemudian,
mobil-mobil truck yang mengangkut batu dan aspal pun hadir dan datang beriringan,
menurunkan batu-batu dan tong-tong aspal di pinggir jalan, yang disusul
kemudian dengan perangkat-perangkat berat lainnya. Dan segera, mereka pun mulai
melakukan pembangunan jalan aspal. Kebetulan salah-seorang mandornya yang orang
Bandung dan sejumlah pekerja yang berada di bawah tanggungan dan pengawasannya mengontrak
di rumah kami.
Keluarga kami melihat
pembangunan jalan aspal dan kehadiran banyak pekerja tersebut sebagai peluang
untuk mendapatkan uang, dan akhirnya keluarga kami pun membuka warung makan di
rumah kami, sehingga para pekerja (yang juga mengontrak di rumah kami) itu bisa
membeli makan mereka sehari-hari dari warung makan kami. Dan hal itu pun
ternyata diikuti pula oleh para mandor dan para pekerja lain yang tidak
mengontrak di rumah kami.
Ternyata, setelah
pembangunan jalan aspal itu selesai, keluarga kami kemudian berjualan nasi
bungkus yang dijual kepada para karyawan yang bekerja di pabrik kertas tempat
kakakku bekerja. Dan kakakku-lah yang membawa nasi-nasi bungkus tersebut di
tempat kerjanya, yang rupanya dijual kepada teman-temannya sesame karyawan di
pabrik kertas tersebut, karena menurut mereka masakan keluarga kami lebih enak
dan tidak terlalu mahal dibanding mereka harus makan di warung-warung makan di
sekitar pabrik tempat mereka bekerja.
Kala itu aku baru masuk
jenjang pendidikan di sekolah menengah atasku, yang kutempuh di Madrasah Aliyah
di sebuah pondok pesantren modern sembari nyantrik di pondok pesantren
tersebut, di mana selama tiga tahun aku belajar tentang Islam dari ragam mata
pelajaran yang diberikan dan diajarkan oleh para kyai dan para ustadz.
Padahal, sebelum akhirnya
aku memenuhi permintaan bapak dan ibuku untuk menempuh pendidikan di pesantren setelah
lulus dari sekolah menengah pertamaku, nilai akhir kelulusanku dari sekolah
menengah pertamaku memenuhi syarat untuk melanjutkan pendidikan di SMU Negeri atau
SMA Negeri.
Saat itulah, tekhnologi
tivi berwarna pun mulai hadir menggantikan tivi hitam putih. Namun, sebelum
kehadiran tivi berwarna di desa kami, tentu terlebih dulu akrab dengan tivi
hitam putih yang menggunakan tenaga ACCU.
Di masa-masa remaja,
sebelum listrik hadir di rumah-rumah kami itulah, kami menonton televisi di
malam Minggu saja atau di hari Minggu-nya, seperti menonton acara Kameria Ria
dan film-film yang ditayangkan setiap malam Minggu yang ditayangkan stasiun
atawa kanal Televisi Republik Indonesia alias TVRI, dengan menggunakan tenaga
ACCU.
Tenaga ACCU itu pula yang
kami gunakan untuk mengumandangkan adzan dengan pengeras suara (speaker), dan
jika tenaga ACCU itu habis, kami akan mengisi ulang “energinya” di tempat pengisian
umum selama beberapa jam dengan tarif dan bayaran yang telah dintentukan oleh
si pemilik pengisian ulang tenaga ACCU tersebut.
Biasanya kami akan kecewa
dan merasa kesal ketika pada malam Minggu di stasiun TVRI itu (satu-satunya
stasiun televisi yang ada di era itu) menayangkan laporan khusus, yang biasanya
menayangkan Harmoko dan Moerdiono (yang bicaranya lambat dan terbata-bata) atau
menayangkan kegiatan dialog acara kelompencapir yang dipimpin Presiden Soeharto
langsung, dan karena itu kami mematikan televisinya untuk sekira satu atau dua
jam (karena biasanya acara itu memang lama), dan karena itu kami acapkali
terpaksa harus begadang demi untuk menonton acara Kamera Ria dan film Malam
Minggu.
Kala itu, hanya dua orang
saja yang memiliki tivi hitam putih di kampung kami, dan karenanya di setiap
Malam Minggu tersebut harus nonton ramai-ramai dan tak jarang berdesakan satu
sama lain di antara kami. Beberapa tahun kemudian, keluarga kami memiliki
televisi hitam putih 14 inchi sendiri, dan dapat dikatakan memiliki televisi
sendiri merupakan gengsi sosial tersendiri bagi si pemiliknya.
Tentu saja saat itu aku
belum tahu, atau katakanlah belum atau tidak sadar, bahwa TVRI sejatinya adalah
media yang menjadi corong pemerintahan Orde Baru Soeharto, sebab yang penting
bagi kami adalah kami bisa menonton acara-acara atau tayangan-tayangan yang
kami sukai.
Demi menghemat tenaga ACCU
itu, kami hanya menonton acara-acara alias tayangan-tayangan yang kami suka
saja, seperti acara-acara di Malam Minggu dan di Hari Minggu, sebagaimana yang
telah disebutkan.
Dari stasiun TVRI di
masa-masa itulah kami tahu kisah-kisah suku Indian Geronimo dan Apache,
film-film koboy seperti Django, atau penyanyi-penyanyi Indonesia yang populer
di masa-masa itu. Itulah jaman di mana yang ngetrend kala itu adalah film-film
koboy, petinju Elias Pical, Mohammad Ali, dan Mike Tyson, drama seri Oshin, dan
tentu saja film-film Indonesia di era itu (Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar