Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2015)
Tulisan ini, bagaimana pun, lebih merupakan "curahan" dari kegelisahan meditaif penulisnya, sehingga tanpa bermaksud menghadirkan suatu akurasi, tak lain karena memang hanya spekulasi diaris semata, tak lebih sebuah tulisan yang mencoba bertanya kepada diri sendiri.
Dan tentu saja, tulisan diaris
singkat ini saya tulis setelah saya membaca beberapa tulisan seputar sains,
utamanya fisika teoritis, dari sejumlah ilmuwan dan penulis, semisal Carl
Sagan, Lawrence M. Krauss dan lain-lain. Dan saya sangat tertarik pada isu
tentang “kemungkinan” yang masih bersifat teka-teki dan belum terjawab ihwal
“penciptaan” semesta dan kemungkinan kehancurannya –yang lazim dikenal secara
populer dan komikal sebagai the end of the world alias akhir dunia itu.
Soal dan materi bahasan
tentang “akhir dunia”, entah yang sifatnya teologis, filosofis, atau pun yang
coba dijawab secara sains, memang dapat dikatakan masih “misteri”, meski
orang-orang beragama (dari rumpun monotheis) tak mempertanyakan (atau
mempersoalkan) masalah ini. Bahkan, telah banyak film yang mengangkat soal ini,
entah yang sifatnya “skeptic” atau yang dekat ke soal-soal teologis, dan karena
yang paling sering menggarapnya adalah Hollywood, tak ragu lagi film-film yang
mencoba mengangkat masalah ini acapkali mendapatkan inspirasi dan materinya
dari “teologi Kristiani”.
Tak terkecuali saya, yang
saya yakin banyak orang juga demikian, kadangkala merenungkan masalah ini
–semisal mencoba membandingkan antara khazanah sekuler yang saya baca dengan
khazanah keagamaan (Islam) yang saya baca dan yang diajarkan para ustadz. Meski
demikian, esai singkat ini, katakanlah, tak ubahnya sebuah diari yang hanya
sekedar mencoba mencurahkan apa yang ada di dalam benak menjadi sebuah catatan
kecil.
Ribuan tahun sebelum
masehi, bangsa Sumeria-Babilonia dan Mesir memiliki ilmu astronominya sendiri
untuk mamahami alam semesta atau jagat-raya –sedangkan bangsa Yunani
mengandalkan logika, dan salah-seorang dari filsuf Yunani yang pernah
berkunjung ke Mesir, yaitu Pythagoras, mengikuti jejak-jejak bangsa Timur
tersebut, yaitu menggunakan geometri dan matematika ketika berusaha menjelaskan
alam semesta atau jagat-raya.
Capaian yang dapat
dikatakan sebagai babakan revolusioner dalam sejarah sains adalah ketika
Galileo Galilei menemukan alias menciptakan teleskop, meskipun kita tahu tidak
secanggih teleskop di jaman ini. Namun setidak-tidaknya alat tersebut tentu
saja sangat penting dalam kerja sains di abad-abad selanjutnya –yang tak lain sebagai
instrument observasi langsung alias pengamatan empiris.
Di abad-abad selanjutnya,
wabil-khusus di abad-20, Albert Einstein menyatakan teori tentang kekekalan
energi, energi kuantum, dan partikel sub-atom, yang tak diragukan lagi, menjadi
dasar bagi perkembangan astronomi, yang tak lagi berkutat pada penelitian
semesta di sekitaran gugusan tata-surya (matahari dan planet-planet yang
mengitarinya) semata, tapi mencoba mengetahui ke arah yang lebih jauh.
Kita tahu, sejak penemuan
Efek Doppler dalam gelombang cahaya dari berbagai benda angkasa, sejak itulah
diketahui bahwa alam semesta alias jagat-raya berkembang (meluas) dan bahwa
nebula di dalamnya bergerak saling menjauhi dengan kecepatan yang menakjubkan
–dan makin jauh jarak mereka, makin tinggi pula kecepatannya.
Penemuan-penemuan itu pun
menimbulkan atau memunculkan sejumlah pertanyaan atawa kuriositas baru di
kalangan ilmuwan umumnya dan fisikawan khususnya. Misalnya, apakah alam semesta
atau jagat-raya tak memiliki batas? Dan jika alam semesta atau jagat-raya terus
meluas alias berkembang, apakah akan meluas begitu saja tanpa henti atau tanpa
akhir? Dan bila saja ada awal kapan alam semesta mulai berkembang?
Terkait dengan
pertanyaan-pertanyaan tersebut, George Gamov dan kawan-kawan berpandangan bahwa
alam semesta atau jagat-raya mulai berkembang atau meluas kira-kira dua milyar
tahun lalu, yaitu ketika masih dalam keadaan aslinya, dan meskipun jagat-raya
itu sendiri sudah teramat sangat luas yang tak bisa diukur oleh kita.
Dalam hal ini, ada pernyataan
yang cukup enigmatik dan menggoda, yang dilontarkan seorang matematikawan
bernama Herman Minkowski (sebagaimana dikutip Lawrence M Krauss dalam Fisika
Star Trek-nya): “Suatu saat ruang-waktu akan semakin pudar menjadi bayangan
belaka, dan hanya ada semacam ikatan antara keduanya yang bisa memelihara
realitas yang independen”.
Pernyataan Herman
Minkowski, sang matematikawan itu, dilontarkan di tahun 1908 –di mana di tahun
itu pula Albert Einstein menemukan Relativitas Ruang-Waktu, suatu temuan yang
murni mengandalkan imajinasi, bukan observasi. Dan saya pun pernah bertanya
(meski hanya di dalam hati): mungkinkah alam semesta atau jagat-raya di suatu
saat, entah kapan itu, akan kelelahan dan menghancurkan dirinya sendiri? Ataukah
yang hancur itu hanya bumi semata?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar