Telah umum diketahui
beberapa perbedaan yang mencolok antara petani Indonesia, Jepang, dan Eropa.
Petani di luar negeri bertolak belakang dengan petani di Indonesia, di mana
betapa enaknya menjadi petani di Jepang dan Eropa.
Atas nama kesejahteraan
petani, pemerintah Jepang dari dulu hingga kini menutup rapat-rapat pintu bagi
beras dari luar negeri. Tak sebutir beras asing pun boleh masuk ke pasar
Jepang.
Juga demi kesejahteraan petani
di benua Eropa, pemerintah di masing-masing negara memberi perlindungan
maksimal terhadap semua produk pertanian dari serbuan produk impor.
Masih tersimpan di benak
banyak orang, bagaimana gigihnya juru runding Uni Eropa di forum World Trade
Organization (WTO) menolak tuntutan puluhan negara berkembang, plus Amerika
Serikat dan negara-negara di Amerika Selatan, agar Eropa menghilangkan atau
setidaknya menurunkan subsidi ke sektor pertaniannya.
Untuk melindungi petani
mereka, Uni Eropa bahkan pasang badan untuk menerima tuduhan sebagai pihak yang
menggagalkan keinginan bangsa-bangsa di dunia membentuk rezim perdagangan baru.
Bisa anda bayangkan, betapa nyamannya hidup sebagai petani di Jepang dan Eropa.
Bagaimana di Indonesia?
Jawabnya gamblang saja: betapa tidak enaknya menjadi petani di negara ini.
Alih-alih dilindungi, yang didapatkan petani kita dari waktu ke waktu tak lebih
dari penganiayaan demi penganiayaan.
Keberpihakan kepada mereka
hanya sebatas kata-kata di ruang rapat serta pernyataan, iming-iming dan
janji-janji yang disuarakan dengan lantang untuk konsumsi publik. Puluhan tahun
sudah petani Indonesia diiming-imingi dengan ratusan janji bagi perbaikan
derajat hidup mereka.
Realisasinya? Mudah-mudahan
pemerintah saat ini berbeda dengan sebelumnya! Atau ingin sama saja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar