Hak
cipta ©Sulaiman Djaya (2015)
Persis
setelah Misyaila mendapatkan kabar dari si burung Hudan yang datang kepadanya
atas keinginan Hagar dan Sophia itu, Misyaila pun memutuskan untuk terlebih
dahulu menuju ke Negeri Telaga Kahana, sebelum memenuhi permintaan Hagar dan
Sophia.
Keputusan
Misyaila itu tak lain dan tak bukan karena ia telah lama menahan kerinduan
untuk bersua dengan Siswi Karina dan Zipora, terutama Zipora yang meski tak
mengungkapkan kesedihannya, Misyaila tahu bahwa ada benih-benih duka dalam hati
Zipora setelah ia berpisah dengan ketiga anak kesayangannya: Ilias, Hagar, dan
Sophia. Untung saja, benih-benih luka itu sedikit terobati dengan kehadiran
Siswi Karina, sehingga ia tak menjadi lapuk karena kesepian yang harus ia
tanggung.
Dengan
kereta kuda ajaib super cepat kesayangannya itu, Misyaila pun melesat
menerbangkan kereta kudanya bersama-sama dengan terbangnya si burung Hudan,
meski mereka harus berpisah pada separuh jalan, karena si burung Hudan harus memberi
laporan kepada Hagar dan Sophia, setelah ia melaksanakan tugas yang diembankan
kepadanya.
Saat
mereka berangkat bersama-sama itu, pagi baru saja terbangun, sementara
benih-benih embun masih tampak melekat di milyaran daun-daun yang sunyi dan
tampak masih tertunduk dengan santun. Tentu saja cuaca masih terasa dingin bagi
si burung Hudan, namun tak begitu dingin bagi Misyaila yang mengenakan pakaian
bulu yang cukup tebal.
Dan
di hari itu ada yang berbeda bagi si burung Hudan, sebab kini ia telah memiliki
sedikit tambahan kesaktian, setelah Misyaila menyentuhkan tangan ajaibnya ke
tubuh si burung Hudan, sehingga ia tak lagi akan merasakan kelelahan meski
terbang dalam jarak yang sangat jauh, sejauh apa pun perjalanan yang ia tempuh
sebagai si burung yang bekerja sebagai penyampai pesan dan berita.
Jauh
sebelum siang menjadi genap, alias ketika hari berada di antara batas pagihari
dan sianghari, mereka pun telah sampai ke tempat tujuan mereka masing-masing:
Misyaila telah sampai di Negeri Telaga Kahana dan si burung Hudan telah sampai
di kota Naheret di negeri Farsa.
Di
negeri Telaga Kahana itu, Zipora cukup merasa terkejut dengan kehadiran
Misyaila. “Aku tak menyangka kau akan datang tanpa kuduga,” ujar Zipora. “Berterimakasih-lah
kepada anak-anakmu, Zipora!” balas Misyaila, “Sebab kedatanganku ini sangat
berkaitan dengan kabar yang disampaikan kedua putri kesayanganmu, Hagar dan
Sophia, di negeri Farsa.” “Berkaitan dengan apa itu?” Tanya Zipora. “Putra
kesayanganmu, Ilias, kini telah menjadi seorang jenderal, dan saat ini ia
tengah mendapatkan tugas dari negeri Farsa untuk membantu negeri Suryan dari gempuran
para penjajah yang berusaha menaklukkan negeri tersebut.”
Ada
rasa bangga sekaligus rasa khawatir dalam hati Zipora ketika mendengar tentang
kabar putra kesayangannya tersebut. Bagaimana pun bagi Zipora, Ilias adalah
harapan terakhir yang akan menjadi pemimpin di keluarganya sekaligus meneruskan
kepemimpinan almarhum suaminya di Negeri Telaga Kahana, sebagaimana juga yang
diharapkan oleh warga alias para penduduk Negeri Telaga Kahana yang memiliki
kekayaan Kristal yang diinginkan bangsa Amarik itu.
“Ilias
terlalu cepat dewasa,” kata Zipora. “Tak usah kau khawatirkan Ilias, Zipora!”
sergah Misyaila, “percayalah, setelah ia dididik cukup lama di Negeri Farsa, ia
akan mampu menjaga dan mengurus dirinya sendiri, dan kelak ia akan dapat
diandalkan untuk meneruskan tugas almarhum suami tercintamu!”. “Kekhawatiranku
cukup beralasan, Misyaila!” balas Zipora, “ia adalah satu-satunya putraku dan
satu-satunya yang menjadi harapanku agar ia benar-benar mau pulang ke negerinya
sendiri untuk meneruskan tugas almarhum suamiku!”. “Sudahlah, jangan kau bebani
dirimu dengan segala kekhawatiranmu, lebih baik kita berdoa saja bagi semua
anak-anakmu!”
Pada
saat itu pula, Misyaila menyempatkan untuk menyapa sahabatnya, Siswi Karina,
setelah sekian lama mereka tak bersama. “Bagaimana dengan keadaanmu, Siska?” Tanya
Misyaila. “Aku cukup bahagia di sini, dan mendapatkan banyak pelajaran berharga
dari Zipora.” Mendengar jawaban Siswi Karina itu, Zipora tampak sedikit tersipu,
dan hal itu pun diketahui oleh Misyaila. “Syukurlah jika demikian!” ujar
Misyaila, “dan aku harap kalian telah menjadi sahabat satu sama lain setelah
sekian lama hidup bersama.”
Di
tempat lain, di kota Naheret di negeri Farsa, si burung Hudan menceritakan
semua perihal tugas yang telah dilaksanakannya untuk memberi kabar kepada Misyaila
seperti yang diperintahkan Hagar dan Sophia. Ia ceritakan dan sampaikan kepada
Hagar dan Sophia bahwa Misyaila saat itu tengah berada di Negeri Telaga Kahana
untuk menjenguk dan mengunjungi ibunda Hagar dan Sophia.
Tak
ragu lagi, Hagar dan Sophia merasa sangat gembira dengan apa yang diceritakan
si burung Hudan. Betapa kangen dan rindunya mereka kepada ibunda mereka, rasa
rindu yang selama ini mereka tanggung dengan sabar demi menuntut ilmu di negeri
Farsa. Karena rasa gembira itulah, mereka pun menghadiahi kalung Kristal yang
memiliki daya magis dan kekuatan mantra ajaib kepada si burung Hudan. Hadiah kalung
Kristal tersebut tentu saja sangat bernilai istimewa, sebab kalung Kristal itu
merupakan salah-satu warisan Zipora bagi Sophia dan Hagar. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar