Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2014-2015)
Dalam sejarah Islam, Islam
Syi’ah maju pesat dan pernah mengukir kegemilangan peradaban dan sains karena
doktrinnya relevan dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan. Dalam hal ini, sains,
kekuasaan dan moralitas dalam ajaran Syi’ah merupakan satu kesatuan. Dalam
sejarah peradaban Islam, banyak ilmuwan, astronom, fisikawan, ahli kedokteran,
ternyata penganut Syi’ah Islam, semisal al Biruni, Ibnu Sina, dan lain
sebagainya. Bahkan, filsafat Islam berkembang dan bertahan berkat muslim
Syi’ah. Sementara itu, di abad modern kita ini, Einstein dalam makalah
terakhirnya bertajuk Die Erklärung (Deklarasi) yang ditulis pada tahun 1954 di
Amerika Serikat dalam bahasa Jerman menelaah teori relativitas lewat ayat-ayat
Alquran dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib (as) dalam kitab Nahjul Balaghah. Ia
mengatakan, hadis-hadis dalam Nahjul Balaghah tersebut memiliki muatan yang
tidak ada di mazhab Islam yang lain. Hanya mazhab Syi’ah yang memiliki hadis
dari para Imam mereka yang memuat teori kompleks seperti Relativitas.
Belakangan memang dikabarkan bahwa Albert Einstein adalah seorang penganut
Islam Syi’ah. Sejumlah pihak pun mengutip sebuah surat rahasia Albert Einstein,
ilmuan Jerman penemu teori relativitas itu, yang menunjukkan bahwa dirinya
adalah penganut mazhab Islam tersebut.
Dalam reportase tersebut
dinyatakan bahwa Einstein pada tahun 1954 dalam suratnya kepada Ayatullah
Al-Uzma Sayid Hossein Boroujerdi, marji besar Syi’ah kala itu, menyatakan,
“Setelah 40 kali menjalin kontak surat-menyurat dengan Anda (Ayatullah
Boroujerdi), kini saya menerima agama Islam dan mazhab Syiah 12 Imam”. Einstein
dalam suratnya itu menjelaskan bahwa Islam lebih utama ketimbang seluruh
agama-agama lain dan menyebutnya sebagai agama yang paling sempurna dan
rasional. Ditegaskannya, “Jika seluruh dunia berusaha membuat saya kecewa
terhadap keyakinan suci ini, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walau
hanya dengan membersitkan setitik keraguan kepada saya”.
Salah satu hadis yang
menjadi sandaran Albert Einstein itu adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Allamah Majlisi tentang mikraj jasmani Rasulullah saw. Disebutkan, “Ketika
terangkat dari tanah, pakaian atau kaki Nabi menyentuh sebuah bejana berisi air
yang menyebabkan air tumpah. Setelah Nabi kembali dari mikraj jasmani, setelah
melalui berbagai zaman, beliau melihat air masih dalam keadaan tumpah di atas
tanah.” Einstein melihat hadis ini sebagai khazanah keilmuan yang mahal
harganya, karena menjelaskan kemampuan keilmuan para Imam Syi’ah dalam
relativitas waktu. Menurut Einstein, formula matematika kebangkitan jasmani
berbanding terbalik dengan formula terkenal “relativitas materi dan energi”: E
= M.C² >> M = E : C² yang artinya, sekalipun badan kita berubah menjadi
energi, ia dapat kembali berujud semula, hidup kembali.
Dalam suratnya kepada
Ayatullah al Uzhma Boroujerdi, sebagai penghormatan ia selalu menggunakan kata
panggilan “Boroujerdi Senior”, dan untuk menggembirakan ruh Prof. Hesabi
(fisikawan dan murid satu-satunya Einstein asal Iran), ia menggunakan kata
“Hesabi yang mulia”. Naskah asli risalah ini masih tersimpan dalam safety box
rahasia London (di bagian tempat penyimpanan Professor Ibrahim Mahdavi), dengan
alasan keamanan. Risalah ini dibeli oleh Professor Ibrahim Mahdavi (tinggal di
London) dengan bantuan salah satu anggota perusahaan pembuat mobil Benz seharga
3 juta dolar dari seorang penjual barang antik Yahudi. Tulisan tangan Einstein
di semua halaman buku kecil itu telah dicek lewat komputer dan dibuktikan oleh
para pakar manuskrip.
Sebagaimana kita tahu
bersama, dunia sains modern di awal abad ke-20 M pernah dibuat takjub oleh
penemuan seorang ilmuwan Jerman bernama Albert Einstein. Fisikawan ini pada
1905 memublikasikan teori relativitas khusus (special relativity theory). Satu
dasawarsa kemudian, Einstein yang didaulat majalah Time sebagai tokoh abad XX
itu mencetuskan teori relativitas umum (general relativity theory). Teori
relativitas itu dirumuskannya sebagai E=MC2. Rumus teori relativitas yang
begitu populer menyatakan bahwa kecepatan cahaya adalah konstan. Selain itu,
teori relativitas khusus yang dilontarkan Einstein berkaitan dengan materi dan
cahaya yang bergerak dengan kecepatan sangat tinggi.
Sedangkan, teori
relativitas umum menyatakan, setiap benda bermassa menyebabkan ruang-waktu di
sekitarnya melengkung (efek geodetic wrap). Melalui kedua teori relativitas
itu, Einstein menjelaskan bahwa gelombang elektromagnetis tidak sesuai dengan
teori gerakan Newton. Gelombang elektromagnetis dibuktikan bergerak pada
kecepatan yang konstan, tanpa dipengaruhi gerakan sang pengamat. Singkatnya,
inti pemikiran kedua teori tersebut menyatakan, dua pengamat yang bergerak
relatif akan mendapatkan waktu dan interval ruang yang berbeda untuk kejadian
yang sama. Meski begitu, isi hukum fisika akan terlihat sama oleh keduanya.
Dengan ditemukannya teori relativitas, manusia bisa menjelaskan sifat-sifat
materi dan struktur alam semesta.
“Pertama kali saya
mendapatkan ide untuk membangun teori relativitas, yaitu sekitar tahun 1905.
Saya tidak dapat mengatakan secara eksak dari mana ide semacam ini muncul.
Namun, saya yakin, ide ini berasal dari masalah optik pada benda-benda yang
bergerak,” ungkap Einstein saat menyampaikan kuliah umum di depan mahasiswa
Kyoto Imperial University pada 4 Desember 1922. Pertanyaannya adalah: Benarkah
Einstein pencetus teori relativitas pertama? Di Barat sendiri, ada yang
meragukan teori relativitas itu pertama kali ditemukan Einstein. Sebab, ada
yang berpendapat bahwa teori relativitas pertama kali diungkapkan oleh Galileo
Galilei dalam karyanya bertajuk Dialogue Concerning the World’s Two Chief
Systems pada 1632.
Dalam hal ini perlu
diketahui bahwa Teori relativitas merupakan revolusi dari ilmu matematika dan
fisika. Sejatinya, 1.100 tahun sebelum Einstein mencetuskan teori relativitas,
ilmuwan Muslim di abad ke-9 M telah meletakkan dasar-dasar teori relativitas,
yaitu saintis dan filosof legendaris bernama Al Kindi yang mencetuskan teori
itu. Dan tentu saja, tak mengejutkan jika ilmuwan besar sekaliber Al Kindi
telah mencetuskan teori itu pada abad ke-9 M. Apalagi, ilmuwan kelahiran Kufah
tahun 801 M itu pasti sangat menguasai kitab suci Al Quran. Sebab, tak
diragukan lagi bahwa ayat-ayat Al Quran mengandung pengetahuan yang absolut dan
selalu menjadi kunci tabir misteri yang meliputi alam semesta raya ini.
Ayat-ayat Al Quran yang
begitu menakjubkan inilah yang mendorong para saintis Muslim di era keemasan
mampu meletakkan dasar-dasar sains modern. Sayangnya, karya-karya serta
pemikiran para saintis Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah
ditutup-tutupi. Dalam Al Falsafa al Ula, misalnya, ilmuwan bernama lengkap
Yusuf Ibnu Ishaq Al Kindi itu telah mengungkapkan dasar-dasar teori
relativitas. Sayangnya, sangat sedikit umat Islam yang mengetahuinya. Sehingga,
hasil pemikiran yang brilian dari era Islam itu seperti tenggelam ditelan
zaman.
Menurut Al-Kindi, fisik
bumi dan seluruh fenomena fisik adalah relatif. Relativitas, kata dia, adalah
esensi dari hukum eksistensi. “Waktu, ruang, gerakan, dan benda, semuanya
relatif dan tak absolut,” cetus Al Kindi. Namun, ilmuwan Barat, seperti
Galileo, Descartes, dan Newton, menganggap semua fenomena itu sebagai sesuatu
yang absolut. Hanya Einstein yang sepaham dengan Al Kindi. “Waktu hanya eksis
dengan gerakan; benda dengan gerakan; gerakan dengan benda,” papar Al Kindi.
Selanjutnya, Al-Kindi berkata, “… jika ada gerakan, di sana perlu benda; jika
ada sebuah benda, di sana perlu gerakan.” Pernyataan Al Kindi itu menegaskan
bahwa seluruh fenomena fisik adalah relatif satu sama lain. Mereka tak
independen dan tak juga absolut.
Gagasan yang dilontarkan
Al Kindi itu sama dengan apa yang diungkapkan Einstein dalam teori relativitas
umum. “Sebelum teori relativitas dicetuskan, fisika klasik selalu menganggap
bahwa waktu adalah absolut,” papar Einstein dalam La Relativite. Menurut
Einstein, pendapat yang dilontarkan oleh Galileo, Descartes, dan Newton itu tak
sesuai dengan definisi waktu yang sebenarnya. Dan menurut Al-Kindi, benda,
waktu, gerakan, dan ruang tak hanya relatif terhadap satu sama lain, namun juga
ke objek lainnya dan pengamat yang memantau mereka. Pendapat Al-Kindi itu sama
dengan apa yang diungkapkan Einstein. Dalam Al Falsafa al Ula, Al Kindi
mencontohkan, seseorang melihat sebuah objek yang ukurannya lebih kecil atau
lebih besar menurut pergerakan vertikal antara bumi dan langit. Jika orang itu
naik ke atas langit, dia melihat pohon-pohon lebih kecil. Jika dia bergerak ke
bumi, dia melihat pohon-pohon itu jadi lebih besar. “Kita tak dapat mengatakan
bahwa sesuatu itu kecil atau besar secara absolut. Tetapi, kita dapat
mengatakan bahwa itu lebih kecil atau lebih besar dalam hubungan kepada objek
yang lain,” tutur Al Kindi. Kesimpulan yang sama diungkapkan Einsten sekitar 11
abad setelah Al-Kindi wafat.
Menurut Einstein, tak ada
hukum yang absolut dalam pengertian hukum tak terikat pada pengamat. Sebuah
hukum, papar dia, harus dibuktikan melalui pengukuran. Al Kindi menyatakan,
seluruh fenomena fisik, seperti manusia menjadi dirinya, adalah relatif dan
terbatas. Meski setiap manusia tak terbatas dalam jumlah dan keberlangsungan,
mereka terbatas; waktu, gerakan, benda, dan ruang yang juga terbatas. Einstein
lagi-lagi mengamini pernyataan Al-Kindi yang dilontarkannya pada abad ke-9 M.
“Eksistensi dunia ini terbatas meskipun eksistensi tak terbatas,” papar
Einstein.
Dengan teori itu, Al Kindi
tak hanya mencoba menjelaskan seluruh fenomena fisik. Namun, juga dia
membuktikan eksistensi Tuhan. Karena, itu adalah konsekuensi logis dari
teorinya. Di akhir hayatnya, Einsten pun mengakui eksistensi Tuhan. Teori
relativitas yang diungkapkan kedua ilmuwan berbeda zaman itu pada dasarnya
sama. Namun, penjelasan Einstein telah dibuktikan dengan sangat teliti. Bahkan,
teori relativitasnya telah digunakan untuk pengembangan energi, bom atom, dan
senjata nuklir pemusnah massal. Sedangkan, Al Kindi mengungkapkan teorinya
untuk membuktikan eksistensi Tuhan dan keesaan-Nya. Sayangnya, pemikiran cemerlang
sang saintis Muslim tentang teori relativitas itu itu tak banyak diketahui.
Sungguh sangat ironis, memang
Alam semesta raya ini
selalu diselimuti misteri. Kitab suci Al Qur’an yang diturunkan kepada umat
manusia merupakan kuncinya. Allah SWT telah menjanjikan bahwa Al Quran
merupakan petunjuk hidup bagi orang-orang yang bertakwa. Untuk membuka selimut
misteri alam semesta itu, Sang Khalik memerintahkan manusia agar berpikir.
Bukankah banyak seruan dalam al Qur’an agar yang membacanya berpikir, mengambil
ibrah dan hikmah, menjadi seorang peneliti dan pembelajar?
Dan berikut ini adalah
beberapa ayat Al Quran yang membuktikan teori relativitas itu: “Sesungguhnya,
sehari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung.”
(QS Alhajj: 47). “Dia mengatur urusan langit ke bumi, kemudian (urusan) itu
naik kepadanya-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun
menurut perhitunganmu.” (QS Assajdah: 5). “Yang datang dari Allah, yang
mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap)
kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS 70: 3-4).
“Dan, kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya.
Padahal, ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah
yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya, Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Annaml: 88). “Allah bertanya, ‘Berapa
tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggal (di
bumi) sehari atau setengah hari. Maka, tanyakanlah kepada orang-orang yang
menghitung.’ Allah berfirman, ‘Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar
saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui’.” (QS 23: 122-114).
Karena kebenaran Al Quran
itu, konon di akhir hayatnya, Albert Einsten secara diam-diam juga telah
memeluk agama Islam dan menjatuhkan pilihan intelektual dan khazanahnya pada
Syi’ah Islam (Syi’ah Imamiah Itsna Asyariyah). Dalam sebuah tulisan, Albert
Einstein mengakui kebenaran Al Quran. “Alquran bukanlah buku seperti aljabar
atau geometri. Namun, Al Quran adalah kumpulan aturan yang menuntun umat
manusia ke jalan yang benar. Jalan yang tak dapat ditolak para filosof besar”.
Sementara itu, jauh
sebelum Albert Einstein, Al Kindi atau Al-Kindus adalah ilmuwan jenius yang hidup
di era kejayaan Islam Baghdad, merupakan pioneer dalam bidang teori dan
filsafat relativitas waktu ini. Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai
berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib
kerajaan. Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah yang
kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa,
seperti Yunani. Ketika Khalifah Al Ma’mun tutup usia dan digantikan putranya,
Al-Mu’tasim, posisi Al Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang
besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi putranya. Al Kindi mampu
menghidupkan paham Mu’tazilah yang rasional. Berkat peran Al Kindi pula, paham
yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan.
Menurut Al Nadhim, selama
berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitul Hikmah, Al Kindi telah
melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya itu telah dituangkan
dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang
dihasilkannya menunjukan bahwa Al Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan
yang luas dan dalam. Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti
filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi,
dialektika, psikologi, politik, dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak
adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing
mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.
Dikabarkan pula bahwa Albert Einstein pun membaca karya-karya Geometri Al
Kindi, sang filsuf dan ilmuwan mu’tazili awal tersebut. (Bersambung)
(Bagian Kedua tulisan ini
pernah dipublikasi harian Radar Banten dengan judul Islam, Sains, Al-Kindi, dan Albert Einstein pada 26 Desember
2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar