(Gambar: Drawing karya seniman realis Iran, Iman Maleki)
Tiga Puisi Sulaiman
Djaya
DI JAKARTA
Lampu-lampu sepanjang
trotoar
dan rindang pohonan
sudah terbiasa akrab
dengan dingin yang menusuk
benang-benang bajuku.
Apakah aku harus menulis
puisi
dengan rasa es krim atau cukup bercerita
tentang stocking seorang
perempuan
yang selama semalaman
belum juga
dapat pelanggan?
Sungguh aku sebenarnya
ingin juga seperti mereka
yang kencing sembarangan di semak-semak taman kota
memberi kehangatan
pada serangga-serangga malam
yang kedinginan dan
bermimpi
di rimbun lalang pinggir
comberan.
(2007)
PENYAIR
Bahwa waktu tak berjalan
di saat aku memendam pertanyaan
dan tak menemukan jawaban.
Debu, benda-benda, dan
bayang-bayang sang tahun
sudah sekian lama menertawakanku.
Ruang tempatku setia dan
gundah
sama halnya lembar-lembar
yang lapuk dan kusam
tempatku menceritakan
kebosanan
dan keriangan
adalah perlawanan yang
selalu mengajakku
untuk memasuki buku-buku berdebu
yang belum sempat kubaca
tiba-tiba telah meminta
lembar-lembar lain yang
tak kuasa kucegah.
Baru kusadari, matamu bukan lagi mataku
dan kau menitip usia yang
mudah kulupakan begitu saja.
Apakah kematian sempat
meberitahukanmu
kapan aku akan kembali
dilahirkan
ke sebuah jazirah yang
ingin kukenal,
yang mungkin akan semakin
membuatku heran,
terpedaya, girang, atau
sekadar berpura-pura dungu
seperti sebuah patung yang
menunggu
tiba-tiba kusadari bahwa
kau bukanlah diriku
selain bayang sang waktu.
Kau tinggalkan namaku
bersama tanggal-tanggal
yang setahuku tak bisa memberiku
penjelasan
beda tubuh dan jeda tidur.
Sekali waktu
aku bertanya-tanya apa
yang kulakukan
tanpa menyisakan ingatan.
Mataku telah menjadi
bayang-bayang
yang berkeliaran tak tentu
arah
bila aku mencari kata-kata
dari dunia-dunia
yang dilupakan dan tergesa
oleh tahun-tahun yang
merebutku
dari kenangan masa silam.
(2015)
MAZMUR ASMARA
Aku menulis puisi lagi
ketika hatiku seperti
kemarau di matamu.
Ketika arah petang meliuk
hijau
seteduh sajak ini.
Misalkan cinta seringan
cuaca,
tetap saja bukan soal
sebuah sajak.
Sebab aneh juga, serasa
baru kemarin,
semua yang kulihat tampak
tersenyum
secantik langit di
parasmu.
Kuingin kau membacanya
dengan kiasan matahari
mendatangi
rumput-rumput awal hari.
Dengan selagu matsnawi
yang kau madahkan dalam diri.
Sebab telah kutanggung seribu
sanjung
mazmur imanku nun
dirundung lumpuh.
Kuingin kau menyimaknya
dengan apa yang dikatakan
awan
kepada sang pengembara.
Dengan senandung padang
lalang
kepada mereka yang berumah
dedaunan
selarut rembangku di
Januari matamu.
(2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar