(Sumber:
Delusions of the Devil by Abu’l Faraj Ibn Jauzi, transl. D.S. Margoliouth, Ed.
N.K. Singh, Kitab Bhavan, India).
Ibnu
Abbas berkata: “Orang-orang Khawarij memisahkan diri dari Ali, berkumpul di
satu daerah untuk keluar dari ketaatan (memberontak). Mereka ketika itu
berjumlah enam ribu orang. Semenjak Khawarij berkumpul, tidaklah ada seorang
yang mengunjungi Ali melainkan dia berkata –mengingatkan beliau–: “Wahai Amirul
Mukminin, mereka kaum Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.” Beliau
menjawab: “Biarkan mereka, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka
memerangiku, dan sungguh mereka akan melakukannya.”
Hingga
di suatu hari yang terik, saat masuk waktu dhuhur aku menjumpai Ali. Aku
berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat dhuhur,
sepertinya aku akan mendatangi mereka (Khawarij) berdialog.” Ali bin Abi Thalib
berkata: “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!” “Wahai Amirul
Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak
buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali pun mengizinkanku.
“Jubah
terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki
ini hingga masuk di barisan mereka, di tengah siang. Sungguh aku dapati diriku
masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang
sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas
sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pucat
pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah. Kuucapkan salam
pada mereka. Serempak mereka menyambutku: “Marhaban, wahai Ibnu ‘Abbas. Apa
gerangan yang membawamu kemari?”
Aku
berkata: “Sungguh aku datang pada kalian dari sisi sahabat Muhajirin dan
sahabat Anshar, juga dari sisi menantu Rasulullah (maksudnya Imam Ali) yang
kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling
mengerti makna Al-Qur’an daripada kalian.”
Begitu
mendengar ucapan Ibnu Abbas yang penuh makna dan merupakan prinsip hidup –yang
tentunya tidak mereka sukai karena menyelisihi prinsip sesat mereka–,
berkatalah sebagian Khawarij memberi peringatan: “Jangan sekali-kali kalian
berdebat dengan seorang Quraisy (yakni Ibnu ‘Abbas). Sesungguhnya Allah
berfirman, “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar” (QS. Az-Zukhruf:
58).
Betapa
bodohnya mereka gunakan ayat ini untuk mencela Ibnu Abbas, padahal beliau lebih
mengerti Al-Qur’an, sebagaimana Rasulullah berdoa untuknya: “Ya Allah, faqihkan
ia dalam agama dan ajarkanlah ia tafsir.”
Ibnul
Jauzi kembali melanjutkan riwayat kisah ini, Berkata dua atau tiga orang dari
mereka: “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”.
Aku
(Ibn Abbas) berkata: “Wahai kaum, datangkan untukku alasan, mengapa kalian
membenci menantu Rasulullah beserta sahabat Muhajirin dan Anshar, padahal
kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan. Tidak ada pula seorang pun dari sahabat
yang bersama kalian, dan ia (Ali adalah orang) yang paling mengerti dengan
tafsir Al-Qur’an!” Mereka berkata: “Kami punya tiga alasan.” Aku (Ibn Abbas)
berkata: “Sebutkan (tiga alasan kalian).”
Mereka
berkata, “Pertama: Sungguh dia telah jadikan manusia sebagai hakim (pemutus
perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman: “…Keputusan itu hanyalah
kepunyaan Allah…” (QS. Yusuf: 40). Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan
firman Allah. Aku (Ibn Abbas) berkata: “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu
apa lagi?” Mereka berkata: “Adapun yang kedua, sesungguhnya dia telah berperang
tapi kenapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (Aisyah dan
barisannya) itu mukmin tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh
mereka. Tidak halal pula tawanan-tawanannya.”
Ibnu
Abbas berkata: “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?” Mereka berkata, “Ketiga:
Dia telah hapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya (dalam perjanjian). Kalau
dia bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah
amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).” Ibnu ‘Abbas berkata: “Adakah pada
kalian alasan selain ini?” Mereka berkata: “Cukup sudah bagi kami tiga perkara
ini!”
Selanjutnya,
mari kita simak bagaimana Ibnu Abbas mendudukkan syubhat-syubhat tersebut.
Ibnu
‘Abbas berkata: “Ucapan kalian bahwa Ali telah menggunakan manusia dalam
memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin),
sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan syubhat kalian. Jika
ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”
Mereka berkata: “Ya, tentu kami akan kembali.”
Ibnu
‘Abbas berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah menyerahkan di antara
hukum-Nya kepada hukum (keputusan) manusia, seperti dalam menentukan harga
kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram). Allah
berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu
sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai
hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan
memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan
itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan
apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah
akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa” (QS.
Al-Maidah: 95).
Demikian
pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah juga
menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara
keduanya. Allah berfirman:
“Dan
jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika
kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal”
(QS. An-Nisa: 35).
Maka
demi Allah, jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia untuk
mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka
lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci
dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?” Mereka
katakan: “Bahkan inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari
pertumpahan darah) yang lebih pantas.”
Ibnu
‘Abbas berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah pertama?” Mereka
berkata: “Ya.” Ibnu Abbas melanjutkan: “Adapun ucapan kalian bahwa Ali telah
berperang tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak
menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian
telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah). Demi Allah! Kalau kalian katakan
bahwa Aisyah bukan ibu kita (yakni kafir), kalian sungguh telah keluar dari
Islam (karena mengingkari firman Allah). Demikian pula kalau kalian menjadikan
Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan
lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalianpun keluar dari
Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah
berfirman: “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka
sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka” (Al-Ahzab: 6).
Ibnu
Abbas berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?” Mereka menjawab:
“Ya.” Ibnu Abbas berkata lagi: “Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali telah
menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya (pada saat perjanjian
perdamaian), maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang
seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah. Ketahuilah, bahwasanya beliau di
hari Hudaibiyah (6 H) melakukan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang
musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi?
Ketika itu Rasulullah bersabda kepada Ali: “Wahai Ali, tulislah perjanjian
untuk mereka.” Ali menulis: “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…”
Segera orang-orang musyrik berkata: “Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau
Rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau sebagai rasul Allah tentu kami tidak
akan memerangimu.”
Rasulullah
bersabda: “Ya Allah, sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah.
Wahai Ali tulislah: Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah…’.”
(Rasulullah memerintahkan Ali untuk menghapus sebutan Rasulullah dalam
perjanjian). Ibnu Abbas berkata: “Demi Allah, sungguh Rasulullah lebih mulia
dari Ali. Meskipun demikian, beliau menghapuskan sebutan Rasulullah dalam
perjanjian Hudaibiyah…” (Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata
Rasulullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau?
Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul
Mukminin?)
Ibnu
Abbas berkata: “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya
tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam
sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan).”
Demikian
tiga syubhat Khawarij yang mereka jadikan sebagai alasan memberontak dan
memerangi Ali. Semua syubhat tersebut terbantah dalam dialog mereka dengan Ibnu
Abbas. Maka selamatlah mereka yang mau mendengar sahabat dan menjadikan mereka
sebagai rujukan dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah. Sedangkan mereka yang
tidak mau kembali pada sahabat Rasulullah tetap dalam kebinasaan. Hingga
terjadilah pertempuran Nahrawan. Fitnah pun berlanjut dan terjadilah pembunuhan
Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah di Mesjid Kufah ketika ia tengah sujud
di mihrab sholatnya di malam Lailatul Qadr.