“Benarkah Al-Qur’an
mencontek Bibel (semisal mencontek Perjanjian Lama)? Sebab, dalam banyak tempat
dan konteks, Al-Qur’an justru mengoreksi dan membantah Bible dan menarasikan
apa yang tidak dinarasikan Bible, yang bahkan justru melengkapi Bible itu
sendiri. Pertanyaan ini diajukan terkait dengan mereka yang mengkomparasi
Al-Qur’an dan Bible dan lalu kemudian menuduh Al-Qur’an sebagai contekan Bible,
ketimbang bersikap adil untuk mengkritisi Bible itu sendiri sembari membaca
Al-Qur’an.”
Dahulu kala, para arkeolog
dan orientalist Barat, khususnya Prancis dan Jerman, karena prasangkanya
terhadap Al-Qur’an, berusaha mencari evidensi terkait dengan narasi-narasi
historis dalam Al-Qur’an yang tidak dinarasikan Bibel.
Tulisan singkat ini berkenaan
dengan seorang seniman Mesir bernama Haman di mana hanya Al-Qur’an yang
menginformasikannya kepada kita dan kemudian terbukti berkat penggalian
arkeologi para arkeolog, peneliti, dan sejumlah sejarahwan.
Nama “Haman” tidaklah
diketahui hingga dipecahkannya huruf hiroglif Mesir di abad ke-19. Kala itu,
ketika hiroglif terpecahkan, diketahui bahwa Haman adalah seorang pembantu
dekat Fir’aun, dan “pemimpin pekerja batu pahat”.
Hal teramat penting di
sini adalah bahwa Haman disebut dalam Al-Qur’an sebagai orang yang mengarahkan
pendirian bangunan atas perintah Fir’aun. Ini berarti bahwa keterangan yang
tidak bisa diketahui oleh siapa pun di masa itu telah diberikan oleh Al Qur’an,
satu hal yang paling patut dicermati.
Al-Qur’an mengisahkan
kehidupan Nabi Musa as dengan sangat jelas dan detil, yang bahkan sejumlah fase
yang tak dinarasikan Bibel malah dinarasikan Al-Qur’an.
Begitulah, tatkala
memaparkan perselisihan dengan Fir’aun dan urusannya dengan Bani Israil,
Al-Qur’an menyingkap berlimpah keterangan tentang Mesir kuno. Pentingnya banyak
babak (fase-fase) bersejarah yang tidak dinarasikan oleh Bibel ini hanya
baru-baru ini menjadi perhatian para pakar dunia.
Ketika seseorang
memperhatikan babak-babak bersejarah ini dengan pertimbangan yang adil, cermat,
dan matang, niscaya baginya seketika itu pula akan menjadi jelas bahwa
Al-Qur’an, dan sumber pengetahuan yang dikandungnya, bersesuaian langsung
dengan seluruh penemuan besar di bidang ilmu pengetahuan, sejarah dan
kepurbakalaan atawa arkeologi di masa kini.
Itulah kenapa, Al-Qur’an
acapkali mengandung sisi historis manusia yang banyak darinya telah dilupakan
sejarah panjang ummat manusia itu sendiri. Teks-teks Al-Qur’an memang acapkali
tidak memaparkan detil, tetapi menjadi semacam petunjuk untuk upaya penggalian
dan penelitian, semacam menginformasikan kode-kode historis.
Dapatlah disebutkan, satu
contoh pengetahuan ini dapat ditemukan dalam paparan Al-Qur’an tentang Haman:
seorang pelaku yang namanya disebut di dalam Al-Qur’an, bersamaan dengan
Fir’aun. Ia disebut di enam tempat yang berbeda dalam Al-Qur’an, di mana
Al-Qur’an memberitahu kita bahwa ia adalah salah satu dari sekutu terdekat
Fir’aun.
Anehnya, nama “Haman”
tidak pernah disebutkan dalam bagian-bagian Taurat (Torah) yang berkaitan
dengan kehidupan Nabi Musa as. Memang, penyebutan Haman dapat ditemukan di
bab-bab terakhir Perjanjian Lama sebagai pembantu Raja Babilonia yang melakukan
banyak kekejaman terhadap Bani Israil kira-kira 1.100 tahun setelah Nabi Musa
as, sebuah informasi yang justru menyesatkan dan mengingkari validitas historis
berkaitan dengan fase-fase Mesir itu sendiri.
Dalam hal ini, Al-Qur’an,
yang jauh lebih bersesuaian dengan penemuan-penemuan kepurbakalaan masa kini,
benar-benar memuat kata “Haman” yang merujuk pada masa hidup Nabi Musa as, yang
justru diabaikan Bibel.
Persis di sinilah,
tuduhan-tuduhan yang dilontarkan terhadap Islam sebagai contekan belaka tak
lebih sebagai prasangka, persis tatkala naskah hiroglif dipecahkan, sekitar 200
tahun silam, dan nama “Haman” ditemukan di naskah-naskah kuno itu.
Rasa-rasanya penting juga
diingat bahwa hingga abad ke-18, tulisan dan prasasti Mesir kuno tidak dapat
dipahami oleh para peneliti, arkeolog dan kalangan filolog budaya dan sejarah.
Bahasa Mesir kuno tersusun
atas lambang-lambang dan bukan kata-kata, yakni berupa sejumlah warisan dan
peninggalan hiroglifik yang tak ragu lagi lebih merepresentasikan dirinya
sebagai lambang dan simbol-simbol naratif.
Gambar-gambar hiroglif
ini, yang memaparkan kisah dan membukukan catatan peristiwa-peristiwa penting
sebagaimana kegunaan kata di zaman modern, biasanya diukir pada batu dan banyak
contoh masih terawetkan berabad-abad.
Bersamaan dengan
tersebarnya agama Nasrani dan pengaruh budaya lainnya di abad ke-2 dan ke-3, di
kawasan Alexandria dan Mesir secara umum, peradaban Mesir meninggalkan
kepercayaan kunonya beserta tulisan hiroglif yang berkaitan erat dengan tatanan
kepercayaan yang kini telah mati itu.
Contoh terakhir penggunaan
tulisan hiroglif yang diketahui adalah sebuah prasasti dari tahun 394 Masehi.
Bahasa gambar dan lambang yang telah terlupakan dan terabaikan, dan menyisakan
tak seorang pun yang dapat membaca dan memahaminya. Sudah tentu hal ini
menjadikan pengkajian sejarah dan kepurbakalaan nyaris mustahil. Keadaan ini
tidak berubah hingga sekitar 2 abad silam.
Temuan ini mengungkap
kebenaran sangat penting: Berbeda dengan pernyataan keliru yang menuduh
Al-Qur’an sebagai contekan Bibel, contekan Perjanjian Lama contohnya, Haman
adalah seseorang yang hidup di Mesir pada zaman Nabi Musa as. Ia dekat dengan
Fir’aun dan terlibat dalam pekerjaan membuat bangunan, persis sebagaimana
dipaparkan dalam Al-Qur’an.
Dan berkata Fir’aun: “Hai
pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah
hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi
supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar
yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta” (QS. Al-Qashas, 28:38)
Ayat dalam Al-Qur’an
tersebut yang mengisahkan peristiwa di mana Fir’aun meminta Haman, sang seniman
dan arsitek Mesir yang dinarasikan Al-Qur’an itu, mendirikan menara bersesuaian
sempurna dengan penemuan purbakala ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar