Hak
cipta ©Sulaiman Djaya (2014)
Manusia
mencipta pesawat terbang ketika mereka belajar dan berguru dari alam, dari para
burung alias para unggas. Berusaha menemukan apa saja, faktor apa, dan
bagaimana supaya pesawat yang akan atau ingin mereka ciptakan bisa terbang
sebagaimana para burung atau para unggas terbang? Bahkan bisa lincah bergerak
dan bermanuver seperti halnya para burung dan para unggas bergerak, berpindah
posisi, dan bermanuver dengan bebas dan lincah di udara.
Mula-mula
manusia membuat sayap tiruan alias melakukan imitasi sederhana dari alam
–dengan “mesin” sederhana, seperti yang dilakukan Ibnu Firnas dan kemudian
Leonardo Da Vinci. Itulah mula industri penerbangan atau aviation industry
dalam skalanya yang masih sederhana –yang kini telah mampu menciptakan
pesawat-pesawat antariksa dan jet-jet tempur super-cepat.
Ketika
merenungi atau belajar dan berguru dari dan kepada alam itulah, manusia jadi
tahu ada matematika, geometri, hukum gerak, formasi dan lain sebagainya di alam
atau semesta. Dan ikhtiar merenungi dan upaya untuk mengetahui “hukum” dan
“rumus” alam itu sudah dilakukan para filsuf kuno dan manusia-manusia di jaman
ribuan tahun sebelum masehi, semisal oleh manusia-manusia yang kemudian
menciptakan peradaban-peradaban Mesir, Babilonia, Assiria, Median, dan Persia.
Temuan
dan hasil penelitian sejumlah arkeolog, geolog, ahli purbakala, dan para
sarjana lainnya bahkan telah menunjukkan bahwa manusia-manusia di jaman ribuan
tahun sebelum masehi itu sudah sangat cerdas (barangkali malah lebih cerdas
dari kita saat ini), utamanya dalam ilmu perbintangan, konstruksi, dan
arsitektur. Para ilmuwan dan sarjana itu, misalnya, terkagum-kagum tentang
bagaimana Persepolis di Persia, Borobudur di Indonesia, dan Piramida di Mesir
dibangun dengan skala raksasa atau skala megastructure.
Hanya
saja, dalam konteks tulisan ini, kita barangkali akan bertanya: Kenapa mesti
unggas? Dan pelajaran atau filsafat apa yang bisa kita dapatkan dengan
merenungi dan membaca hidup mereka? Di sini, kita memang harus membuang ego
antroposentrik kita yang terlampau memandang manusia sebagai pusat semesta,
atau apa yang kita sebut “virus Cartesian” itu, dan karena kita hidup dalam
sebuah dunia yang bukan hanya kita, manusia, yang sama-sama ada. Yah, salah-satu
pelajaran atau filsafat yang dapat kita petik adalah sifat simpati, kerjasama,
dan solidaritas mereka dalam hidup. Para unggas, pada dasarnya, adalah juga
makhluk politis seperti kita. Dan juga, yang mungkin akan mengejutkan,
pelajaran tentang formasi militer di udara.
Tak
seperti elang yang cenderung menyendiri, unggas hidup berkawan. Mandi bersama,
tidur bersama, dan mencari makan bersama. Bila dilihat secara sosiologis,
mereka lebih mencirikan diri sebagai masyarakat kolektif, meski mereka tidak
menyebut diri mereka seperti itu. Apapun istilah yang ingin dilekatkan oleh
para ilmuwan atau para pengamat, yah silahkan saja, “yang penting kami selalu
bersama”. Kira-kira begitulah sikap politik mereka.
Ini
adalah isyarat alam yang dahsyat. Kita tidak pernah menyadari keberadaannya
karena semua berlalu secara alami. Padahal unggas mengajarkan kita banyak hal
tentang arti tata-tertib, kekompakan, dan pertemanan: “politik solidaritas”. Di
musim dingin, mereka bermigrasi ke Selatan, dan di musim panas mereka kembali
ke kediaman asalnya di Utara. Lalu lihatlah formasi yang mereka bentuk di saat
terbang bermigrasi itu. Mereka membentuk formasi huruf V. Bukan tanpa alasan,
karena para fisikawan mencatat bahwa tingkat resistensi terhadap angin akan
lebih rendah, dalam formasi seperti itu, dibandingkan dengan terbang sendiri.
Ini jauh lebih bermanfaat bagi mereka guna memacu kecepatan.
Selanjutnya,
bila ada anggota yang sakit, atau sayapnya kelelahan, lalu terlempar dari
formasi, maka akan ada unggas yang lain yang datang mengapit untuk tetap
terbang dalam formasi huruf V kecil yang baru. Dukungan sosial ini begitu
penting, dalam menjaga kekompakan dan keberlangsungan hidup, agar yang lemah
bisa tetap terbang dan tidak terjatuh sendirian. Berangkat bersama, terbang bersama,
hingga sampai di tujuan juga bersama-sama. Seakan begitu filosofi mereka.
Terbang sendirian bukan hanya soal keamanan, tetapi juga soal efektivitas
kecepatan dan kepakan sayap. Inilah solidaritas yang secara politis dalam
rangka “menjaga kekuatan tanpa harus menyingkirkan yang lemah”.
Kemudian,
dan ini yang terpenting, setiap unggas saling bergantian mengambil alih
komando. Bila si A kelelahan, maka si B dengan spontan menggantikannya. Tidak
ada ketamakan untuk terus menjadi komandan. Juga tidak ada keinginan untuk
mengkudeta kekuasaan. Semua bertindak menjadi “Imam” yang baik dan makmum yang
juga baik. Beginilah harusnya kerja sebuah tim dalam membawa misi kesuksesan.
Di sini, saya teringat motto kebersamaan dan bagaimana komunitas akan menjadi kuat,
“Laa quwwata illa bil jama’ah, wa laa jama’ah illa bil imamah.”