Hak
cipta ©Sulaiman Djaya (2015)
Benggalih.
Itulah nama kampung di mana saya dilahirkan, menjalani masa kanak, masa remaja,
dan yang kini saya tinggali –sebuah nama yang terdengar berbau Hindustan dan
Sanskrit. Sebuah kampung yang terletak di antara dua sungai: Sungai Ciujung
yang mengalir dari pegunungan di Lebak, Banten Selatan dan Sungai Irigasi yang
mengalir dari Pamarayan, Serang, Banten Utara.
Di
masa-masa saya masih kanak-kanak hingga remaja, saya harus menempuh jalan yang
belum diaspal bila hendak menuju ke tempat di mana sekolah menengah pertama
saya berada. Bersama Sungai Irigasi, jalan yang saya tempuh itu, hanya
dipisahkan oleh rumput, ilalang, pohon-pohon kecil dan besar yang tumbuh subur
di tepi jalan yang sekaligus tentu saja tepi Sungai Irigasi tersebut.
Sebelum
saya memiliki sepeda sendiri, saya harus berjalan kaki menempuh perjalanan
sejauh lima kilometer itu, dan kadang-kadang menumpang mobil truck pengangkut
gabah dan pasir yang kebetulan lewat atau melintas ketika hendak berangkat
sekolah atau ketika pulang sekolah. Tentu saja, keadaan dan kondisinya tidak
sama ketika musim hujan.
Di
masa-masa itu, kami akrab dengan beberapa hal yang kini telah hilang. Contohnya
kunang-kunang, yang cahaya-cahaya mungil tubuh mereka, merupakan keindahan dan
keajaiban tersendiri di waktu malam yang hening dan sepi. Persis ketika saya
memandangi mereka yang tengah mengambang di atas jalan, di halaman, atau di
antara petak-petak sawah di belakang rumah.
Rupa-rupanya,
kehadiran dunia yang baru, pada akhirnya memang menyingkirkan dunia yang lama,
baik secara ekonomis dan sosiologis, atau pun secara antropologis dan ekologis.
Ketakhadiran
kunang-kunang itu sendiri untuk saat ini, yang dulu ada dan menjadi tamu-tamu
malam kami, tak lain karena tempat di mana saya dilahirkan dan saya tinggali
telah berubah secara ekologis dan ekonomis, sebagai contohnya. Persis ketika
sawah-sawah telah menjadi raungan mesin-mesin pabrik dan
infrastruktur-infrastruktur industri yang mengepulkan asap dan memproduksi limbah
dan racun setiap hari. Dan pada saat bersamaan, secara antropologis, juga telah
merubah sikap dan prilaku masyarakat, merubah pandangan dan gaya hidup mereka
saat ini, yang kontras berbeda di masa-masa ketika infrastruktur-infrastruktur
industri dan teknosains belum hadir.
Yang
ingin saya katakan adalah bahwa, kehadiran industri turut pula memberikan
perubahan yang ternyata tidak kecil dan memiliki dampak multidimensi: material
dan spiritual, meski jarak industri tersebut beberapa kilometer dari kampung
saya. Contohnya, kini banyak orang kampung saya yang terpacu menyekolahkan
anak-anak mereka, karena bila anak-anak mereka tidak memiliki ijazah dari
sekolah, maka mereka tak bisa melamar pekerjaan. Hal itu sangat berbeda ketika
dulu orang-orang tua di kampung saya menganggap remeh pendidikan formal.
Sekedar tambahan, di kampung saya yang pertama-kali mengenyam pendidikan
perguruan tinggi adalah paman saya (adik-nya almarhumah ibu saya).
Dengan
contoh-contoh yang saya katakan itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa
perubahan yang dihadirkan oleh keberadaan infrastruktur-infrastruktur industri
dan tekno sains, tak hanya memberi dampak perubahan ekonomis semata, namun
turut pula merubah aspek sosial-budaya masyarakat, selain tentu saja, kehadiran
infrastruktur-infrastruktur industri juga berdampak pada kerusakan ekosistem
alami alias berdampak secara ekologis, yang terbilang “berbahaya”.
Singkatnya,
acapkali kemajuan dalam beberapa hal harus “dibayar” dengan kerusakan hal-hal
lain. Bahkan, kerusakan-kerusakan yang merupakan dampak kehadiran
infrastruktur-infrastruktur industri itu tidak sepadan dengan kebaikan
“ekonomis” yang telah diberikannya. Misalnya, limbah beracun yang “membunuh”
sungai yang dulu asri dan merupakan jiwa kehidupan bagi tanah dan
makhluk-makhluk hidup yang dihidupi olehnya.
Sedangkan
secara kultural, atau katakanlah secara antropologis, kehadiran televisi dan
tekno sains lainnya, semisal internet, selain telah memberi manfaat positif dan
kecerdasan bagi anak-anak muda, juga telah melakukan impor “kultural” dan
pandangan hidup yang akhirnya merubah pandangan dan perilaku masyarakat,
terutama generasi muda, bahkan menyangkut hal-hal yang dulu dianggap tabu dan
“dosa besar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar