Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2012)
Tafakkur Februari
Bersama lembab,
barisan pohon di jalan
dan angin yang berkejaran
adalah perumpamaan
baris-baris munajat
yang dirundung sunyi dan
diam.
Senja membuka kerah
bajunya,
membentangkan ranum
tafakkur perindu
ihwal anugerah-Mu.
Barangkali hujan
yang telah jauh melangkah
tetap para tamuku
yang senantiasa intim
sekaligus terasa asing.
Betapa runcing
dingin yang sangsi
saat dua mataku ingin
pergi
ke tanah yang lain.
Seakan maut pun jatuh
dalamku terlelap
kala duduk atau dalam
kantuk.
Dalamku bermuwajahah
dengan bisu semesta-Mu.
Pintu Sajak
Setiapkali aku datang,
kutanggalkan sepatu di
depanmu,
lalu tanganku menjabatmu:
akrab sekaligus asing,
seakan aku memang seorang
tamu
di hadapan apa saja
yang tak terusik oleh
tajamnya
tatapan sang maut.
Di suatu waktu, kausambut
aku
dengan penuh kecup,
namun kau usir aku tanpa
ragu
di kali lain. Sejak itu
aku paham,
atas restu atau murkamu
nasib dan puisi dengan
ikhlas
senantiasa hilir-mudik.
Tetapi aku tak mengerti,
kenapa hujan dan gerimis
serasa berada jauh di
musim yang lari.
Bahkan waktu dengan
ubannya yang kemerahan
lebih mirip
kalimat-kalimat sajak
yang berserakan.
Setiapkali aku pergi,
kau selalu melepas bajuku
hingga aku tak ubahnya si
petualang telanjang
yang senantiasa rindu
pulang.
Kembali berjabat tangan
dan meminta maaf kepada
mereka
yang menangis sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar