Gerakan Substansial dan Hubungannya dengan Penjelasan
Tentang Waktu, Serta Prinsipalitas Eksistensi
Oleh M.T.
Misbah Yazdi (Imam Khomeini Education and Research Institute, Iran)
Kritik Terhadap Mazhab Yang Menolak Adanya Gerak
Substansial
Di bagian akhir tulisan
ini, kita akan melihat kritik yang dilontarkan oleh orang-orang yang menolak
adanya gerak substansial. Seperti yang telah kita sebutkan, inti dari argumen
mereka adalah bahwa jika esensi dari suatu substansi – tanpa memperdulikan
aksiden dan statusnya – memiliki gerak, maka esensi itu identik dengan gerak
itu sendiri.[13] Sebuah gerak yang
tidak mempunyai subjek yang jelas dari suatu objek yang bergerak adalah hal
yang tidak mungkin (adalah hal yang tidak mungkin untuk menyebutkan adanya
gerak tanpa suatu objek yang bergerak).[14]
Untuk menjawab argumen ini, harus dikatakan bahwa aksiden dan karakteristik
yang diatributkan pada suatu objek kadang-kadang adalah ‘aksiden luar’ (outward
accident) yang mempunyai eksistensi yang berbeda dengan subjeknya; misalnya,
menisbatkan ‘tertawa’dan ‘menangis’ terhadap seseorang di dalam dua kalimat:
‘orang itu bahagia’ dan ‘orang itu menangis’. Karakteristik dan aksiden ini
mestinya memiliki subjek yang independen, yakni subjek yang mempunyai
eksistensi yang berbeda denga aksiden tersebut.
Akan tetapi, kadang-kadang
juga aksiden dan karakteristik yang diatributkan kepada suatu subjek bukanlah
‘aksiden luar’ tetapi ‘aksiden analitis’. Aksiden analitis ini tidak memiliki
eksistensi yang independen terhadap subjeknya, hanya pikiran analitis kita yang
membedakan antara subjek dan aksiden yang dinisbatkan padanya. Aksiden jenis
ini termasuk gerak, tidak bergerak, diam, dan konstan.[15] Sebagai contoh, ketika kita mengatakan ‘objek itu statis’,
maka eksistensi ketakbergerakannya adalah objek itu sendiri. Atau ketika kita
mengatakan bahwa wujud yang dapat dipisahkan secara mutlak adalah stabil, itu
berarti stabilitasnya tidak berbeda dengan eksistensi wujud tersebut. Juga,
ketika kita mengatakan ‘esensi suatu objek memiliki gerak’, maka pada saat itu
tidak ada artinya kita membedakan antara gerak dan esensi tersebut.
Eksistensi hakiki suatu
esensi wujud korporeal sama dengan gerak dan aliran; dan berbeda dengan wujud
yang dapat dipisahkan, eksistensinya tidaklah stabil. Lebih dari itu, ketika
kita mengatakan ‘warna apel itu merah’, maka dalam hal ini merah tidak dapat
dibedakan dengan warna itu sendiri meskipun dalam kalimat ini ‘warna’ adalah
subjek dan ‘merah’ adalah atribut. Atau ketika kita mengatakan ‘warna apel itu
berubah (bergerak) dari kuning ke merah’, maka gerak ini didefenisikan sebagai
istilah perubahan dan metamorfosis di dalam ‘warna’ itu sendiri.
Oleh karena itu, seseorang
tidak selalu dapat menemukan perbedaan antara setiap subjek dengan
karakteristik yang diatributkan padanya. Justru, di dalam banyak kasus, seperti
ketika kita mengatakan ‘wujud korporeal memiliki gerak’, kita hanya dapat
menemukan perbedaan analitis antara subjek dan aksidennya.[16]
Prinsipalitas Wujud Di dalam Filsafat Mulla Sadra
Keberhasilan suatu argumen
membutuhkan pengertian yang jelas tentang subjek kajian atau masalah yang
sedang dibahas. Hal ini terkhusus di dalam masalah-masalah filosofis yang
mencakup konsep-konsep yang sulit dan abstrak. Pertanyaan tentang perbedaan
pokok antara eksistensi dan esensi sebagai masalah dasar dan independen pertama
kali diajukan oleh Mulla Sadra. [17]
Meskipun pertanyaan ini sudah mempunyai akar dan sudah pernah disinggung oleh
para pendahulu Sadra, namun masalah ini adalah salah satu masalah filosofis
yang sangat penting, yakni suatu pemahaman dan konsepsi yang memerlukan talenta
khusus di dalam metafisika.
Di dalam pemahaman terhadap
‘prinsipalitas wujud’, terdapat beberapa konsekuensi terhadap masalah-masalah
filosofis yang lain. Oleh karena itu, artikel singkat ini tidak dapat
menjelaskan secara keseluruhan isu-isu yang berhubungan dengan prinsipalitas
eksistensi tersebut. Kami telah menyinggung sebagian masalah prinsipalitas
wujud ini di dalam buku Philosophical Instruction yang disusun khusus bagi
pelajar pemula di bidang metafisika, juga masalah ini sudah dijelaskan di dalam
buku Ta’liqah ‘ala Nihayat al-Hikmah yang ditulis oleh almarhum Allamah
Thabathaba’i (semoga Allah merahmatinya).
Untuk itu, di dalam
artikel ini hanya akan dijelaskan beberapa poin penting saja, sebagai pengantar
bagi pemula dalam masalah prinsipalitas eksistensi ini.
[1] Ketika
para filosof mengatributkan eksistensi dan esensi (wujud dan mahiyah) terhadap
objek-objek luar, mereka tidak bermaksud membedakan dan memisahkan sifat-sifat
realisasi luar eksistensi dan esensi tersebut. Mereka justru ingin menjelaskan
bahwa analisis pikiran kitalah yang cenderung mendikotomikan dan membedakan
antara keduanya. Sebagai contoh, ketika kita mendengar adanya wujud suatu
unsur, misalnya uranium; meskipun kita telah memaksudkan satu objek, namun kita
selalu cenderung menyatakan maksud kita itu dalam suatu pernyataan yang
setidaknya terdiri dari dua konsep, yakni pernyataan ‘ada uranium’ atau ‘uranium
ada.’
Disini, konsep ‘uranium’
menunjukkan esensi khusus dan konsep ‘uranium ada’ merupakan realisasi luarnya.
Oleh karena itu, setiap realitas mempunyai dua sifat: sifat esensial dan sifat
eksistensial. Dalam contoh ini, kita cenderung melihat bahwa kedua sifat
itu berbeda, padahal dalam realisasi luarnya, kita tidak melihat adanya dua hal
yang berbeda antara ‘uranium’ dan ‘wujud’ (dari uranium itu sendiri).[19]
[2] Sejak
dari zaman dahulu, kita mengetahui adanya kaum skeptis yang menolak (keberadaan)
alam semesta sebagai eksistensi luar suatu objek serta menolak kemungkinan
pemahaman terhadap alam semesta itu. Yang paling ekstrim di antara mereka
adalah Gorgias yang mengatakan: ‘tak ada
sesuatupun yang ada; kalaupun sesuatu itu ada, kitapun tak akan dapat
mengenalinya.’[20] Pendapat seperti
ini, Pertama, menolak adanya
eksistensi luar suatu objek, atau setidaknya meragukan eksistensinya; dan yang Kedua, menolak pengetahuan atau
meragukan pengenalan terhadap esensi dan realitasnya.
Oleh karena itu, dualitas
diskusi ontologis dan epistemologis dapat menjurus kepada dualitas sifat-sifat
esensial dan eksistensial. Hal ini menunjukkan kepada kita adanya pembedaan
mental antara ‘esensi’ dan ‘eksistensi’.
[3] Menurut
Filsafat Eksistensialisme, wujud mendahului esensi pada manusia sementara pada
makhluk yang lain terjadi sebaliknya. Maksudnya, manusia mencapai esensi
tertentu melalui kehendak dan pilihannya sendiri. Tetapi, pendapat ini tidak
mempunyai arti dalam hubungannya dengan doktrin prinsipalitas eksistensi dalam
filsafat Mulla Sadra.[21] Walaupun
demikian, setidaknya menjadi jelas bahwa konsep ‘prinsipalitas’ harus
dijelaskan lebih detail dalam diskusi ini. Oleh karena itu, terasa penting
untuk menyebutkan akar permasalahan dalam mendiskusikan topik ini, serta
faktor-faktor apa saja yang yang melatarbelakangi munculnya doktrin
prinsipalitas eksistensi ini dalam Filsafat Mulla Sadra.
[4] Kita
mengetahui bahwa sejak dahulu semua ciptaan dikategorisasikan berdasarkan
perbedaannya yang mendasar dengan ciptaan lainnya. Semua makhluk yang memiliki
sifat-sifat dasar yang umum, akan dikelompokkan ke dalam satu group meskipun
makhluk-makhluk tersebut masih mempunyai perbedaan yang dianggap tidak penting.
Beberapa filosof yang sangat teliti dalam melihat batasan-batasan ‘sifat-sifat
dasar’ (dan sifat-sifat tambahan), telah mengelompokkan perbedaan-perbedaan itu
ke dalam dua bagian: esensial dan aksidental.
Mereka percaya bahwa
perbedaan dalam satu hal yang esensial disebabkan oleh banyaknya spesies dan
dalam hal lain banyaknya genus. Dengan dasar inilah kemudian Aristoteles dan
para pengikutnya mengelompokkan semua makhluk menjadi sepuluh genus tertinggi
(supreme genera). Contohnya, mereka menganggap bahwa kuda dan sapi adalah dua
spesies tetapi pepohonan dan binatang adalah dua genus, namun mereka
mengelompokkan kedua pembagian ini di bawah satu genus tertinggi yang disebut
substansi.[22]
Sebaliknya, keumuman di
antara banyaknya subjek di dalam sifat-sifat esensial menunjukkan unitas
substansi dan karakteristik suatu spesies untuk mengenal sifat-sifat esensial
yang umum terhadap subjek (yakni konstituen dari karakteristik yang behubungan
dengan spesies), yang berarti pengenalan yang lengkap terhadap kebenaran dan
esensinya. Sebagai contoh, populasi, pertumbuhan, dan reproduksi, membentuk
konstituen esensi satu ‘tanaman’. Semua konstituen ini, ditambah insting dan
gerakan yang disengaja, menjadi konstituen esensi ‘binatang’ dan selanjutnya
konstituen-konstituen ini ditambah dengan fakultas rasional akhirnya membentuk
konstituen esensi ‘manusia’.
Seperti yang dapat kita
lihat, sifat-sifat esensial ini – setidaknya secara potensial – adalah sifat
yang umum terhadap satu spesies. Dengan kata lain, sifat-sifat esensial suatu
spesies adalah kumpulan sifat-sifat generik umum pada subjeknya.
Konsekuensinya, esensi setiap wujud mengandung satu atau beberapa sifat-sifat
generik. Untuk menjawab pertanyaan “dengan cara bagaimana suatu esensi general
dapat menjadi individu tertentu?”, dapat dikatakan bahwa penisbatan aksiden individual
misalnya bentuk, warna, waktu dan tempat dapat membantu mengelompokkan satu
wujud. Posisi seperti ini sangat umum di dalam dunia filsafat. Oleh karena itu,
inti dari semua diskusi filosofis adalah esensi generik dan ‘prinsipalitas
esensi’ dalam pikiran manusia.
Namun, kesulitan dasar
dari teori ini adalah bahwa ‘aksiden’ pada dirinya sendiri, adalah esensi
generik yang telah dikategorisasikan ke dalam sembilan dari sepuluh kategori
Aristotelian. Dalam kasus ini, argumen pembedaan untuk setiap aksiden harus
diulang. Misalnya, bagaimana warna hitam atau putih yang merupakan esensi
aksidental generik harus dibedakan – sehingga ternisbatkannya kedua warna
tersebut terhadap esensi substansial menyebabkan pembedaannya?
Untuk menyempurnakan
pemahaman kita, seorang filosof besar Islam, Abu Nash al-Farabi (W. 339/950)
telah memecahkan masalah ini ketika beliau menyatakan bahwa pada sifat dasarnya
tidak ada esensi yang mempunyai perbedaan. Penisbatan puluhan ataupun ratusan
esensi general terhadap esensi yang lain tidak menyebabkan pembedaannya.
Perbedaan antara esensi aksidental dan esensi substansial hanyalah karena
perbedaan wujudnya. Oleh karena itu, secara metaforis dapat dikatakan bahwa
biji dari prinsipalitas eksistensi tertanam sebagai subjek yang efisien dan kaya
makna di dalam filsafat.[23]
Setelah waktu tertentu,
Syihabuddin Yahya Suhrawardi (W. 1191), yang dikenal sebagai Syaikh Al-Isyraq
(penghulu mazhab Iluminasi), meneliti konsep-konsep valid yang rasional tetapi
tidak mempunyai ‘penampakan luar’. Akhirnya, Suhrawardi menjelaskan bahwa
‘konsep eksistensi’ adalah validitas rasional dan merupakan suatu ‘wujud
alasan’ sehingga dengan pandangan ini, Suhrawardi dianggap sebagai pendahulu di
antara filsafat Islam yang mempercayai ‘prinsipalitas esensi’.[24]
Kelihatannya pendapat ini
seolah-olah agak berlebihan, karena menganggap pengikut peripatetik juga
mempercayai ‘prinsipalitas eksistensi’ tidak lepas dari kontroversi; namun
setidaknya di dalam pembicaraan setiap kelompok ini, kita dapat menemukan
argumen yang berhubungan dengan kelompok yang lain. Namun, beberapa abad
kemudian barulah muncul Mulla Sadra yang memfokuskan perhatiannya terhadap
masalah yang sangat penting tentang ‘prinsipalitas eksistensi’ yang kemudian
menyelesaikan kesulitan-kesulitan filosofis di dalamnya. Meskipun sebenarnya,
pada awalnya, Mulla Sadra juga mempercayai ‘prinsipalitas esensi’, dan seperti
yang disampaikannya kepada kita bahwa Sadra sangat membelanya. Namun, pada
akhirnya Sadra menerima konsep ‘prinsipalitas eksistensi’ yang kemudian
dibuktikan dengan seluruh kemampuannya untuk menghilangkan keraguan bagi
orang-orang yang masih mempercayai prinsipalitas esensi.[25]
Salah satu pertanyaan yang
sulit yang kemudian mendapatkan jawaban yang jelas dalam prinsipalitas
eksistensi adalah kestabilan dan ketakberubahan esensi. Dengan kata lain,
‘revolusi kaum esensialis’ adalah hal yang tidak mungkin ketika di alam
eksternal kita melihat semua makhluk mengalami gerakan evolusi yang di setiap
tahapan evolusinya terdapat esensi spesifiknya. Jika seseorang berpegang pada
prinsipalitas esensi, maka dia harus mengakui bahwa di setiap proses evolusi
dihasilkan suatu esensi spesifik yang kemudian akan berubah lagi pada proses
selanjutnya, sehingga dengan demikian suatu esensi baru dibentuk dari esensi
sebelumnya yang sama sekali berbeda. Namun, menurut prinsipalitas eksistensi,
identitas makhluk yang dapat berubah dan berevolusi itu melekat padanya ketika
makhluk tersebut dinisbati deskripsi tentang ‘unitas personalnya’. Lebih dari
itu, eksistensinya menjadi lebih kuat dan lebih sempurna, sementara batas
eksistensialnyapun akan berubah.
Eksistensi dalam
kenyataannya adalah cetakan mental yang diabstraksikan dari batas-batas wujud
yang terbatas. Oleh karena itu, ketika batas-batas eksistensial suatu wujud
unik berubah selama proses evolusinya, maka pada saat itu konformitas sekian
banyak esensi tidak akan menganggu personal unitasnya.[26]
[5] Untuk
menjelaskan posisi esensi yang dibandingkan dengan eksistensi di dalam filsafat
Mulla Sadra, kita dapat melihat contoh berikut ini. Jika kita memotong-motong
kertas menjadi beberapa jenis bentuk seperti segitiga, segiempat dan lain-lain,
maka tidak ada sifat objektif yang ditambahkan pada kertas tersebut, tetapi
setiap potongan mempunyai batasnya sendiri yang di dalam realitas sebenarnya
adalah sifat non-eksisten.
Kita mengabstraksikan
konsep tentang segitiga atau segiempat dengan menggabungkan batas non-eksisten
setiap bentuk. Ketika suatu makhluk keluar wujud mineral dan menjadi tumbuhan,
unitas personalnya tidak hilang pada saat itu. Tetapi, di dalam statusnya yang
baru, wujud tadi mengambil cetakan konseptual lain yang disebut ‘tanaman’.
Ketika wujud tadi kemudian mencapai insting dan gerakan karena keinginan, maka
ia mengambil cetakan dari konsep ketiga atau esensi lain yang disebut
‘binatang’. Oleh karena itu, eksistensilah yang memiliki realisasi objektif;
sementara esensi adalah entitas yang merujuk pada batasan khusus suatu wujud. Dengan
kata lain, esensi adalah cetakan yang kosong, isinya adalah eksistensi itu.[27]
[6]
Kesimpulan yang lain yang diambil dari prinsipalitas eksistensi adalah bahwa
jika suatu wujud mempunyai pencapaian eksistensial yang tak terbatas (misalya
eksistensi Allah Yang Maha Kuasa) hanya karena wujud tersebut tidak memiliki
batasan non-eksisten, maka tak ada satu esensi pun yang dapat dinisbatkan
padanya. Akan tetapi, wujud tersebut harus dianggap sebagai ‘eksistensi
mutlak.’[28]
Pun secara alami,
seseorang tidak akan dapat mengenali sifat yang paling dalam dari wujud
tersebut hanya dengan melalui fakultas mental, sebab pikiran kita tidak dapat
memahami sesuatu yang tak terbatas dan tidak mampu mendominasi wujud yang tak
terbatas (tanpa esensi). Hanya konsep-konsep abstrak saja yang dapat dirujuki
oleh siapa saja yang ingin mengetahui kebenarannya yang tak dapat dikenali itu.
Sebaliknya, pengenalan objektif terhadap wujud tak terbatas adalah sesuatu yang
mungkin jika melalui intuisi mistik dan pengetahuan intuitif (‘ilm hudhuri).
Hal ini tergantung pada kapasitas eksistensial mistik dan bukan pada pemahaman
terhadap objek yang akan diketahui, yang dalam hal ini adalah wujud Allah Yang
Maha Kuasa.
[7]
Terakhir, kita akan melihat argumen yang paling jelas dari teori tentang
‘prinsipalitas eksistensi’ yang diajarkan oleh Mulla Sadra. Alasannya adalah,
bahwa jika kita merefleksikan atribut-atribut esensi dan memisahkannya dengan
atribut-atribut yang lain, kita seharusnya mengetahui bahwa esensi tidak
‘wajib’ mewujud di dunia eksternal. Kita bahkan bisa menegasikan eksistensi
luarnya.[29] Sebagai contoh, kita
dapat mengatakan bahwa “tidak ada lingkaran yang riil di dunia eksternal” –
tanpa mempertimbangkan apakah proposisi ini benar atau salah. Dengan demikian,
sifat-sifat esensi itu biasa saja dan tidak penting jika dibandingkan dengan
sifat-sifat eksistensi dan non-eksistensi. Sifat-sifat esensi seperti itu tidak
bisa menjadi sifat dasar atau muasal tanda-tanda objektif suatu ekstensi.
Malah, esensi itu tak lebih dari sebuah cetakan kosong, dan karenanya
prinsipalitas dan originalitas sesuatu merujuk pada eksistensi sesuatu itu.
Akhirnya kita sampai pada
kesimpulan bahwa setiap wujud luar adalah suatu wujud individual yang di dalam
terminologi filsafat dikatakan ‘eksistensi dililit oleh perbedaan’, sementara
esensi tidak pernah dapat dibedakan meskipun digabungkan dengan ribuan kondisi
substansial dan general. Sebenarnya, masih ada alasan lain untuk argumen ini,
namun tak akan dijelaskan panjang lebar karena terbatasnya tempat. Namun, para
pembaca dapat merujuk pada volume pertama metafisika umum Al-Asfar yang ditulis
oleh Mulla Sadra untuk mendapatkan penjelasan yang lebih luas.
Catatan:
[1] Misbah
Yazdi, Amuzesh-I Falsafa, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh M.
Legenhausen & A. Sarvdalir menjadi Philosophical instructions, New York:
SSIPS bekerja sama dengan Global Publications, Binghamton University 1999, hal.
445.
[2] Di dalam
tradisi filsafat sebelum Mulla Sadra, gerak dianggap sebagai suatu entitas yang
tidak ril, kondisi aliran yang stabil (hala sayyala) yang hanya dipahami oleh
pikiran sebagai sebuah proses. Lihat Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyyah fil
al-asfar al-‘aqliyya al-Arba’a, editor: R. Lutfi dkk, edisi ketiga, Beirut: Dar
Ihya al-Turats al-‘Arabi 1981, Vol III hal. 59: bandingkan: Fazlur Rahman, The
Philosophy of Mulla Sadra, Albany: State University of New York Press 1975,
hal. 95.
[3] Misbah
Yazdi, Philosophical Instructions, hal. 467-72; bandingkan: Mulla Sadra,
al-Asfar, Vol III, hal. 211 tentang Jenis-jenis Gerak Aksidental dan Esensial.
[4] Fazlur
Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 94-5.
[5] Misbah
Yazdi, Philosophical Instructions, hal. 451
[6] Misbah
Yazdi, Philosophical Instructions, hal. 446, 472. Bandingkan dengan Fazlur
Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 95.
[7] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol II, hal. 176, Vol. III, hal 299.
[8] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 109-111. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The
Philosophy of Mulla Sadra, hal. 108.
[9] Fazlur
Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 109. Bandingkan dengan catatan
Thabathaba’i pada Mulla Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 140.
[10] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 61-4. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The
Philosophy of Mulla Sadra, hal. 96.
[11] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 353-54. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The
Philosophy of Mulla Sadra, hal. 103.
[12] Seperti
yang dipahami oleh sebagian teolog proses – lihat Nicholas Rescher, Process
Metaphysics, Albany: State University of New York Press 1996, hal. 156.
[13] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 85; Vol. IV, hal. 271.
[14] Mulla Sadra,
al-Asfar, Vol III, hal. 176
[15] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 61
[16] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol III, hal. 74
[17] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol I, hal. 38-60. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The
Philosophy of Mulla Sadra, hal. 31-4.
[18] Misbah
Yazdi, Philosophical Instructions, hal. 213-30; Misbah Yazdi, Ta’liqa ‘ala
Mihayat al-Hikmah, Qum: Dar Rah-I Haqq 1405 Q, hal. 19-39.
[19] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol I, hal. 87. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The
Philosophy of Mulla Sadra, hal. 27-31.
[20] Terence
Irwin, Classical Thought, Oxford: Oxford University Press 1996, hal. 63, 97-8.
[21] Lihat
See Henry Corbin, "Aperçu Philosophique," dalam edisinya tentang
karya Mulla Sadra Kitab al-Masya’ir sebagai Le Livre des Penetrations
Metaphysiques, Tehran: Institut Franco-Iranien 1964, hal. 73, 77-9.
[22] Irwin,
Classical thought, hal. 20-35, 47-57; Geoffrey Lloyd, Early Greek Science,
Bristol: Bristol Classical Press 1999; Hankinson, "Philosophy of
science," in The Cambridge Companion to Aristotle, ed. J. Barnes,
Cambridge: Cambridge University Press 1995, hal. 110-111, 124-25. [23] Lihat bab yang menyinggung masalah
ini pada Fadlou Shehadi, Metaphysics in Islamic Philosophy, New York: Caravan
Books 1982.
[24]
Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq [Filsafat Iluminasi], ed./pent. H. Ziai & J.
Walbridge, Salt Lake City: Brigham Young University Press 1999, hal. 45-51.
[25] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol I, hal. 49
[26] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol I, hal. 54,66
[27] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol II, hal. 16,36
[28] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol I, hal. 96-7
[29] Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol II, hal. 10-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar