Oleh KRISTINE MCKENNA
Ketika orang-orang
membicarakan intelektual Prancis gila dan seorang superstar esoteris, ketika
mereka tersandung oleh kata dekonstruksionisme di Entertainment
Weekly dan bertanya-tanya apa kira-kira artinya, ketika para
mahasiswa di seluruh dunia dipaksa untuk memahami apa artinya—seperti yang
sudah mereka lakukan selama 20 tahun ini, maka semuanya mesti dikembalikan
kepada Jacques Derrida.
Derrida, salah satu figur
intelektual paling berpengaruh pada seperempat abad terakhir, adalah Bapak
Dekonstruksionisme, sebuah sistem analisis kontroversial, yang dirancang untuk
membongkar bahasa dan membuka bias dan kesalahan-kesalahan asumsi yang melekat
di dalamnya. Berakar pada keyakinan bahwa bahasa memuat hal-hal yang tak bisa atau
dihalangi untuk mencapai kesadarannya yang penuh, Dekonstruksionisme merupakan
sebuah metodologi lentur yang bisa diterapkan pada tiap-tiap dan semua teks—dan
memang, dampaknya pada kritik sastra setara, jika tidak lebih besar, dari jejak
yang ditinggalkannya pada wacana filsafat.
Lahir pada 1930 dalam
keluarga Yahudi Sefardis [pengikut tradisi dan kebiasaan kaum Yahudi yang
menetap di Spanyol dan Portugal pada akhir abad ke-15] di Aljazair, Derrida muda
mempertanyakan prasangka intelektual pada usia 10 tahun, ketika Aljazair
dikendalikan oleh rezim Vichy dukungan Prancis. Dia dikeluarkan dari sekolah
setelah sebelumnya seorang guru memberitahunya bahwa, “kebudayaan Prancis tak
dibuat untuk anak Yahudi”. Dia lalu dikenal sebagai murid pengganggu dan
berkepala batu, dan pada usia 19 tahun dia pindah ke Paris untuk belajar
filsafat di École Normale Supérieure. Di sanalah dia bertemu Marguerite
Aucouturier, seorang psikoanalis, yang dinikahinya pada 1957. Belajar di sana dari
1952 hingga 1956, fokus Derrida terutama adalah pada karya-karya filsuf Jerman
Edmund Husserl dan Martin Heidegger, dan tulisan-tulisannya tentang mereka
membuatnya memperoleh beasiswa ke Harvard pada 1956. Dia kembali ke Paris pada
1960 untuk mengajar filsafat di Sorbonne, dan 2 tahun kemudian menyatakan
kemerdekaannya sebagai filsuf dengan menerjemahkan karya Husserl, Origin of Geometry, dengan memberinya kata pengantar
sangat panjang yang membuat esai Husserl jadi tampak tak seberapa. Pada 1967
dia menerbitkan gagasan pokoknya dalam 3 buku yang terus dibicarakan hingga
kini—Speech and Phenomena, Writing and Difference,
dan Of Grammatology—yang membawanya ke
pusat wacana filsafat. Derrida, yang telah menulis 45 buku dan telah
diterjemahkan ke dalam 22 bahasa, diangkat menjadi profesor tamu di University
of California at Irvine pada 1986. Satu kebijakan besar dibuat universitas,
yaitu memulai proyek arsip Derrida pada 1990.
Derrida berbicara dengan
saya di kantornya yang sederhana di Irvine. Mengingat karya-karyanya yang
ambisius dan tak kenal takut, mengejutkan bahwa ternyata dia orang yang gampang
ditemui, dan gagasan-gagasannya lebih tak menciutkan nyali ketika dibicarakan
ketimbang dituliskan. Dia orang yang sangat hangat, dan kharismanya muncul jelas
di sepanjang bagian Derrida, sebuah
film dokumenter arahan Kirby Dick dan Amy Ziering Kofman yang diluncurkan
minggu ini.
Mengapa Anda setuju tampil dalam film
‘Derrida’?
Saya tak serta-merta
setuju. Saya mesti mulai dengan berusaha keras menerima ketidaknyamanan yang
saya rasakan tentang gambar saya di foto-foto. Saya berhasil melewati hampir 20
tahun tanpa satu pun kemunculan foto diri saya dalam hubungannya dengan
buku-buku saya, dan ada dua alasan untuk itu. Pertama, saya punya apa
yang mungkin Anda sebut sebagai penolakan ideologis atas fotografi
konvesional—potret wajah, gambar seorang penulis dengan meja kerjanya—karena
hal itu seperti sebuah konsesi untuk penjualan atau untuk media. Alasan yang kedua
adalah bahwa saya selalu mempunyai hubungan yang sulit dengan tubuh dan gambar
saya sendiri. Sulit buat saya melihat diri saya sendiri pada foto. Jadi selama
20 tahun saya memberi ijin kepada diri saya sendiri untuk menghapus gambar saya
dengan alasan politis. Dekade terakhir ini menjadi lebih sulit, karena saya
terus-menerus tampil di ruang publik pada konferensi yang dihadiri wartawan,
kebanyakan dari mereka mengambil gambar saya. Akhirnya ini jadi tak mungkin
dikendalikan, dan kemudian saya merasa tiba waktunya untuk mengalahkan
penolakan ini, akhirnya saya membiarkannya. Dan saya mesti bilang, saya tekejut
dengan keberhasilan film itu dalam memadukan kehidupan sehari-hari keluarga
yang bersifat privat dengan hal-hal yang kurang privat—perjalanan yang saya
lakukan ke Afrika Selatan selama masa pembuatan film, umpamanya—dan refleksi
tentang subjek-subjek besar. Film itu tetap pada jalur tersebut, dan bertanya
tentang biografi penulis. Apakah seorang filsuf mesti punya biografi?
Bagaimana mungkin seorang filsuf tak
punya biografi?
Tentu dia punya biografi,
tetapi pertanyaan yang saya ajukan adalah apakah kita mesti menerbitkannya.
Haruskah dia menceritakan biografinya sendiri? Haruskah dia memberikan hidupnya
kepada publik dan ditafsirkan?
Bagaimana Anda memisahkan tulisan seorang
filsuf dengan hidupnya?
Saya tak tahu apakah itu
bisa, tetapi kebanyakan filsuf klasik telah berusaha memisahkannya, dan
beberapa di antara mereka berhasil. Jika Anda membaca teks-teks dalam tradisi
filfasat, Anda akan tahu bahwa mereka hampir tak pernah bilang “Aku”, dan tak
berbicara sebagai orang pertama. Sejak Aristoteles hingga Heidegger, mereka
berusaha menganggap hidup mereka pribadi sebagai sesuatu yang berada di
pinggiran atau sesuatu yang kebetulan. Yang esensial adalah pengajaran dan
pemikiran mereka. Biografi merupakan sesuatu yang empiris dan berada di luar,
dan dianggap sebagai sebuah kebetulan yang tak punya hubungan esensial dan
perlu dengan sistem atau aktivitas filosofis.
Di film itu Anda ditanya: Jika Anda bisa
berbicara dengan filsuf yang Anda kagumi dalam semua hal, hal apa yang ingin
Anda dengar? Anda menjawab, “Kehidupan seks mereka, karena itu adalah hal yang
tak mereka bicarakan”. Tetapi ketika pewawancara bertanya tentang kehidupan
seks Anda sendiri, Anda menolak menjawab. Mengapa wilayah ini tak terjamah?
Saya menolak menjawab
pertanyaan bukan karena saya pikir itu adalah hal yang mesti disembunyikan,
tetapi karena saya tak mau membuka aspek paling personal dari kehidupan saya
sembari bergaya di depan kamera dan berbicara dengan bahasa asing. Jika saya
membicarakan hal semacam itu, saya lebih memilih mempertajam alat-alat
saya—tulisan saya. Jika Anda membaca saya, Anda akan menemukan banyak teks
dimana saya membicarakan pertanyaan-pertanyaan ini dengan cara saya. Glas [1974], The Post Card: From Socrates to Freud and
Beyond [1980], dan Circumfession [1991] adalah
karya-karya biografis, dan kehidupan serta hasrat-hasrat saya tertulis dalam
semua karya saya.
Bisakah Anda mengingat momen ketika
menyadari bahwa Tuhan, sebagaimana kata itu dipahami secara konvensional,
adalah sebuah gagasan yang tak bisa Anda rengkuh?
Untuk mendiskusikan hal
ini kita mesti berpegang pada definisi tertentu tentang tuhan—yaitu sebagai
kata yang dipahami secara konvensional. Tetapi, ya, saya bisa mengingatnya.
Waktu kecil, saya secara berkala dibawa ke sebuah sinagog di Aljazair, dan itu
adalah salah satu aspek Yudaisme yang saya suka—umpampanya musiknya. Namun
kemudian, sebagai remaja saya mulai melawan agama, tidak atas nama atheisme,
tetapi karena saya menyadari bahwa agama seperti yang dijalankan dalam keluarga
saya penuh dengan kesalahan pemahaman. Ia membuat saya tak berpikir, sekedar
melakukan pengulangan-pengulangan buta, dan khususnya ada satu hal yang menurut
saya tak bisa diterima, yaitu hilangnya penghormatan. Rasa hormat dalam membawa
dan membaca Torah diperjual-belikan di Sinagog, dan menurut saya itu sangat
buruk.
Lalu ketika saya berumur
13 tahun, saya membaca Nietzche untuk pertama kali, dan saya pikir saya tak
sepenuhnya memahami dia, dia memikat saya. Buku harian saya kemudian dipenuhi
kutipan dari Nietzche dan Rousseau—dewa saya lainnya pada waktu itu. Nietzche
bertujuan menjatuhkan Rousseau, tetapi saya menyukai keduanya dan
bertanya-tanya, bagaimana saya bisa mendamaikan keduanya dalam diri saya?
Heidegger mengatakan, dalam sebuah
wawancara sesaat sesudah Perang Dunia II, yang dia minta tak diterbitkan hingga
kematiannya pada 1976, “Filsafat sesudah Nietzsche tak dapat menawarkan
pertolongan dan harapan bagi masa depan umat manusia. Yang bisa kita lakukan
hanya menunggu kehadiran kembali Tuhan. Hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan
kita sekarang”. Anda setuju?
Saya tak akan menggunakan
istilah “tuhan”, tetapi yang menarik buat saya dalam pernyataan ini adalah
tentang Heidegger yang anti-religius. Ia dibesarkan sebagai seorang Katolik,
tetapi dia mati-matian menolak Kristianitas, jadi tuhan yang dia tunjuk
bukanlah tuhan yang kita tahu. Dia menunjuk tuhan yang bukan hanya belum lagi
datang, tetapi mungkin juga tuhan yang tidak eksis. Dia menamai tuhan untuk
menyebut sesuatu yang diharapkan, dan mengiaskan bahwa sesuatu yang akan datang
dan menyelamatkan kita akan kita beri nama tuhan. Saya tak setuju dengan
pernyataan ini jika ia mendorong harapan akan keselamatan. Tetapi jika
pernyataan itu berarti kita tengah menunggu kedatangan sesuatu yang tak
terduga, dan bahwa kita mesti bersabar menunggu kedatangannya, maka saya tak
berkeberatan. Ini adalah sesuatu yang saya sebut sebagai mesianitas tanpa
mesianisme (messianicity without messianism),
dan manusia sesungguhnya bersifat mesianis. Kita tak bisa tidak begitu, karena
kita eksis dalam sebuah keadaan mengharapkan sesuatu akan terjadi. Meski kita
tengah berada dalam sebuah keadaan hampa harapan, dorongan akan pengharapan merupakan
bagian tak terpisahkan dari hubungan kita dengan waktu. Hampa harapan hanya
mungkin karena kita berharap bahwa sejumlah kebaikan atau seseorang yang kita
cintai akan datang. Jika itu yang dimaksudkan Heidegger, maka saya setuju
dengannya.
Apakah Anda takut mati di masa
kanak-kanak, selama berlangsungnya Perang Dunia II?
Tidak. Masa perang adalah
pengalaman yang sulit bagi saya, tetapi itu tak bisa dibandingkan dengan apa
yang dialami orang-orang Yahudi di Eropa. Ada anti-Semitisme yang sangat buruk di
Aljazair, tapi di sana tak ada Jerman, tak ada kamp konsentrasi, tak ada
deportasi Yahudi besar-besaran. Tetapi trauma itu tetap ada. Ketika Anda
dikeluarkan dari sekolah tanpa tahu kenapa, itu menandai Anda.
Dalam buku Ron Rosenbaum yang terbit
1998, Explaining Hitler, ia menyatakan bahwa korban terbesar Hitler
adalah pemaknaan atas Holocaust itu sendiri, karena makna koheren tak dapat
ditemukan pada Holocaust. Anda setuju?
Saya akan sangat hati-hati
di sini. Saya tahu ada beberapa filsuf yang berpikir bahwa hal yang benar-benar
baru dalam pembantaian Holocaust adalah bahwa di sana tak ada struktur
pengorbanan (sacrificial structure). Ia sangat
dingin, rasional, industrial, dan tak diberi makna pengorbanan (sacrificial meaning). Saya tak yakin bahwa itu benar.
Saya tak siap menjawab pertanyaan itu tanpa memikirkannya dengan lebih
mendalam.
Apa pertanyaan pokok filsafat yang mesti
dijawab?
Pertama-tama, bagaimana
menangani hidup manusia dan bagaimana hidup bersama secara baik—ini juga soal
politik. Soal inilah yang dibahas dalam filasafat Yunani, dan sejak awal
filsafat dan politik sangat berkaitan satu sama lain. Kita adalah mahluk hidup
yang punya kemampuan untuk mengubah hidup, dan kita menempatkan diri kita di
atas binatang-binatang lainnya. Saya bersikap kritis terhadap pertanyaan
tentang binatang dan bagaimana ia dibicarakan dalam filsafat, tapi itu soal
lain. Hingga kini kita berpikir bahwa kita bukan hewan dan kita punya kemampuan
untuk mengatur kehidupan kita. Filsafat mengajukan pertanyaan: Apa yang harus
kita lakukan untuk memperoleh kehidupan terbaik yang paling mungkin? Saya
khawatir bahwa kita tak membuat banyak kemajuan dalam menjawab pertanyaan itu.
Apa perbedaan antara pengetahuan dan
kebijaksanaan?
Pengetahuan dan
kebijaksanaan tidak sejajar. Anda bisa tahu banyak hal dan tak punya
kebijaksanaan sama sekali. Diantara pengetahuan dan tindakan terdapat sebuah
jurang, tetapi jurang itu tak seharusnya menghalangi kita untuk berusaha tahu
sebanyak mungkin yang kita bisa sebelum kita mengambil keputusan. Filsafat
adalah cinta akan kebijaksanaan. Philia itu cinta, dan Sophia itu kebijaksanaan. Jadi tugas menuju
kebijaksaan, itulah filsafat. Meski begitu, keputusan tidak hanya tergantung
pada pengetahuan. Saya berusaha tahu sebanyak mungkin yang saya bisa sebelum
mengambil sebuah keputusan, tetapi saya tahu pada momen mengambil keputusan itu
saya melakukan sebuah lompatan melampau pengetahuan.
Apakah mencapai sebuah pemahaman, seperti
yang Anda jelaskan pada buku Anda yang terbit pada 1976, membawa Anda kepada
kebahagiaan yang lebih besar?
Saya tak akan bilang itu
membuat saya lebih bahagia, tetapi ia memberi saya kekuatan untuk berjalan
terus. Saya menjalani suatu hidup yang sangat aktif dan melelahkan, dan jika
seseorang mengatakan kepada saya, ketika saya berumur 20 tahun, bahwa saya akan
mengerjakan apa yang saya kerjakan sekarang pada usia 72 tahun, saya tak akan
mempercayainya. Secara fisik saya pasti lebih rentan, dan saya akan ambruk oleh
banyaknya pekerjaan saya sekarang. Manakala karya-karya saya dibaca, itulah
yang memberi saya kekuatan seperti sekarang ini. Orang-orang begitu baik dengan
saya dan karya-karya saya, dan saya yakin, tanpa kebaikan itu, saya akan
ambruk.
Kenapa tak ada filsuf perempuan?
Karena wacana filsafat
diatur dengan cara meminggirkan, menekan, dan membungkam perempuan, anak-anak,
binatang, dan budak. Begitulah strukturnya—bodoh sekali jika kita
mengabaikannya—dan konsekuensi dari hal itu adalah tidak ada fillsuf besar
perempuan. Ada pemikir besar perempuan, tetapi filsafat adalah salah satu
langgam khusus pemikiran diantara langgam pemikiran lainnya. Tetapi kita tengah
berada pada tahap sejarah di mana hal-hal semacam ini berubah.
Apakah Anda akan menyebut diri Anda
seorang feminis?
Ini satu masalah besar,
tapi, ya. Banyak karya saya berkaitan dengan dekonstruksi falosentrisme, dan
jika saya mesti mengatakan tentang diri saya, saya adalah salah satu orang yang
pertama membawa pertanyaan ini ke pokok wacana filsafat. Tentu saja saya ingin
penindasan atas perempuan berakhir, khususnya yang diabadikan dalam dasar-dasar
filsafat falosentrisme, jadi dari sisi itu saya adalah sekutu kebudayaan
feminin. Tetapi hal itu tidak mencegah saya untuk meragukan sebagian
manifestasi feminisme. Sekedar menantang hirarki, atau bagi perempuan berarti
sekedar mencocokkan diri dengan aspek-aspek paling negatif dari apa yang secara
konvensional dipandang sebagai perilaku maskulin, tidak akan bermanfaat bagi
siapapun.
Kesalahpahaman apa yang paling sering
terjadi menyangkut Anda dan karya-karya Anda?
Bahwa saya disebut sebagai
seorang nihilis yang tak percaya pada apapun, yang berpikir bahwa tak ada
apapun yang bermakna. Itu tolol dan sepenuhnya keliru, dan hanya orang-orang
yang tak pernah membaca karya saya yang berkata begitu. Ini adalah pembacaan
keliru atas karya saya yang bermula 35 tahun lalu, dan sulit untuk
menghancurkannya. Saya tak pernah mengatakan bahwa segala sesuatu merupakan
persoalan bahasa dan kita hanya hidup dalam bahasa. Sesungguhnya, saya berkata
sebaliknya, dan dekonstruksi logosentrisme disusun tepat untuk membongkar
filsafat yang mengatakan bahwa segala sesuatu adalah bahasa. Siapapun yang
membaca karya saya dengan hati-hati, memahami bahwa saya menuntut afirmasi dan
keyakinan, dan bahwa saya selalu menghormati teks-teks yang saya baca.
Dengan pemahaman yang memadai tentang
Yang Lain (the
Other), bisakah dorongan membunuh dihapuskan?
Dorongan untuk membunuh
tak akan pernah bisa dihapus, karena ia merupakan bagian dari insting manusia.
Manusia punya kemampuan untuk menjadi buas, dan membuat penderitaan bagi Yang
Lain (the Other) bisa merupakan satu
sumber kesenangan. Bahwa ia tak bisa dihilangkan, itu tidak berarti bahwa kita
punya hak untuk membunuh—dan ini merupakan salah satu fungsi penting filsafat
dan berpikir, yaitu menangani dorongan besar ini. Kebuasan dan agresi selalu
ada, tetapi ia bisa diubah menjadi sesuatu yang indah dan sublim. Ketika saya
menulis, di sana terdapat unsur agresi, tetapi saya berusaha mengubahnya
menjadi sesuatu yang berguna. Agresi bisa diubah menjadi sesuatu yang lebih
menarik ketimbang membunuh—dan tentu saja, Anda bisa membunuh tanpa membunuh.
Saya bisa membunuh Yang Lain (the Other) tanpa mengakhiri
hidupnya, dan saya bisa menjadi agresif dengan cara tak tercela.
Konsep wilayah (territory) dan kepemilikan (ownership) tampaknya merupakan akar dari banyak konflik
manusia; darimana gagasan ini berasal, dan mengapa kita terikat kepadanya?
Selama berabad-abad kota
merupakan pusat perdagangan yang penting, tetapi ketika teknologi baru sudah
bukan lagi masalah dan kota telah dikuasai politik, maka ini jadi berbeda.
Tetapi tempat itu tetap penting. Teman saya baru-baru ini bilang bahwa ada dua
hal sekarang ini yang tak akan bisa di-deteritorialisasi-kan atau divirtualkan,
yaitu Yerusalem—tak ada yang mau Yerusalem virtual, mereka ingin tanah
sungguhan—dan minyak. Negara kapitalistis hidup dengan minyak, dan meskipun ini
bisa berubah, seluruh masyarakat akan hancur jika itu terjadi. Ini lebih
merupakan masalah di Amerika ketimbang Eropa, tetapi kita berbagi keprihatinan
yang sama. Segala sesuatu selalu lebih di Amerika, dengan alasan-alasan yang
nyata.
Apakah masa lalu merupakan sumber
penderitaan dan kesenangan bagi manusia?
Ini berbeda dari satu
orang ke yang lain, tetapi saya beruntung bahwa saya punya hubungan yang
menyenangkan dengan masa lalu—saya bahkan menyimpan kenangan indah akan bagian
sulit dari hidup saya, yang saya tahu sangatlah buruk. Saya ingin mengulang
hidup saya, dan akan menerima semuanya berulang tanpa akhir, persis sama
seperti ketika itu dulu terjadi. Sebuah pengulangan abadi.
Apa yang penting untuk Anda sekarang?
Bagaimana saya bisa
menjawab pertanyaan macam itu? Banyak hal pribadi, publik dan politis penting
buat saya, tetapi saya memikirkan semua hal itu dengan sebuah keasadaran
terus-menerus bahwa saya bertambah tua, saya akan mati, dan hidup itu pendek.
Saya terus-menerus memperhatikan waktu yang tersisa untuk saya, dan walau saya
telah berpikir begini sejak muda, ini menjadi hal yang lebih serius ketika Anda
berumur 72 tahun. Sejauh ini saya belum berdamai dengan kematian yang
terelakkan, dan saya ragu apakah saya akan berdamai, dan kesadaran ini menyebar
kepada segala hal yang saya pikirkan. Apa yang terjadi di dunia sekarang ini
sungguh-sunguh buruk, dan semua ini ada dalam pikiran saya, tetapi mereka eksis
berdampingan dengan teror akan kematian saya sendiri.
Kapan Anda menjadi seorang dewasa?
Ini pertanyaan menjebak.
Saya selalu percaya bahwa setiap orang punya lebih dari satu usia, dan saya
menyandang tiga usia di dalam diri saya. Ketika saya berumur 20 tahun saya
merasa tua dan bijaksana, tapi sekarang saya merasa seperti anak-anak. Ada
sebuah unsur kesedihan tentang hal ini, karena meski dalam hati saya merasa
muda, saya tahu secara objektif bahwa saya tidak muda. Usia kedua yang saya
sandang adalah usia saya yang nyata, 72 tahun, dan setiap hari saya dihadapkan
pada tanda-tanda yang mengingatkan saya akan hal itu. Usia ketiga yang saya
sandang—dan ini adalah sesuatu yang hanya saya rasakan di Prancis—adalah usia
ketika saya mulai menerbitkan tulisan saya, yaitu 35 tahun. Seolah saya
berhenti pada usia 35 tahun di dunia kultural di mana saya bekerja. Tentu saja
itu tidak benar, karena di banyak tempat saya dianggap tua, profesor terkenal yang
menerbitkan banyak tulisan. Meski begitu, saya merasa seolah saya seorang
penulis muda yang baru mulai menerbitkan tulisan, dan orang-orang bilang, “Dia
menjanjikan”.
JACQUES
DERRIDA meninggal di Paris, 8 Oktober 2004. Wawancara KRISTINE MCKENNA ini
dimuat LA
Weekly, 9 April 2003. Diterjemahkan oleh ANTARIKSA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar