Oleh Sulaiman Djaya
(esais dan penyair)
Salah-satu hal yang cukup
memprihatinkan dunia kesusastraan dan intelektual adalah seputar tingkah-polah
“kritikus” atau para penulis-pengulas karya yang lebih memerankan diri sebagai
promotor atau “makelar-marketing” –hingga mereka hanya mampu mengutarakan
pujian-pujian gombal sebagai upaya pembelaan kelompok atau dalam rangka
memunculkan seseorang –dan sebaliknya, tanpa diiringi dengan semangat untuk
mengetahui lebih intim dan membaca lebih peka karya yang ditulis itu sendiri.
Barangkali kita akan
menyebut perilaku dan fenomena tersebut sebagai “politisasi kritik sastra”,
yang tentu saja hanya akan menyuburkan perilaku tidak adil untuk melihat karya
sastra itu sendiri.
Landasan utama kritik
sastra adalah kejujuran dan sikap mengesampingkan terlebih dahulu siapa seorang
penulis ketika membaca sebuah karya –bukan sebaliknya, di mana
simpulan-simpulan dan argumentasi-argumentasi tulisan kritik sastra akan
disemangati oleh kehendak dan upaya untuk membaca karya itu sendiri, bukan
untuk memunculkan atau pun menyerang “figur” atau pun “nama diri” seorang
penulis atau pun pengarang.
Yang juga penting adalah
untuk menjaga agar sebuah esei atau ulasan kritik-sastra tidak berubah menjadi
gosip yang sifatnya ad hominem, dalam artian lebih banyak membicarakan
penulisnya ketimbang karyanya.
Semangat politis yang
berlebihan seperti yang dirasakan dan dialami banyak penulis atau seniman, pada
akhirnya hanya akan mengalahkan dan meniadakan kejujuran estetik itu sendiri
–membuat mata tak lagi bisa melihat, dan telinga jadi tersumbat dari semangat
estetika untuk mengafirmasi dan membela kepekaan hidup dan dari upaya
sungguh-sungguh untuk menyelami karya yang ditulis oleh siapa saja.
Kritik sastra yang
baik adalah kritik sastra yang imbang –dalam arti membicarakan atau pun
mengulas kelebihan, sumbangan, keunikan sebuah karya yang dibahas dan
dibicarakan, sekaligus tidak menutup-nutupi aspek-aspek kelemahan, kekurangan,
warisan, dan jejak-jejak karya-karya lain yang ditulis sebelumnya dalam sebuah
karya yang tengah dibicarakan dan dibahas oleh sebuah tulisan atau ulasan
kritik sastra.
Jikalau pun ada upaya
untuk memenangkan atau mengalahkan satu atas lainnya, tetap saja dalam posisi
dan kadar pembicaraan karyanya, bukan penulisnya atau penyairnya –hingga nama
diri pengarang dan penulis disebut pun bukan dalam rangka mengatasnamakan
mereka, tetapi lebih merupakan rujukan sementara saja dalam tulisan atau pun
ulasan sebuah esai atau pun ulasan kritik sastra.
Dengan ini barangkali
kita perlu juga berandai-andai, misalnya, ada sebuah karya prosa atau puisi
yang membuat sebuah kerangka analitik dan teoritik tafsir atau pun metode
pembedahan tiba-tiba kehilangan relevansinya untuk selaras dan cocok sebagai
alat untuk menafsir dan membaca karya tersebut –sebab adakalanya sebuah analisa
dan tafsir justru lahir setelah karya, bukannya sebelum karya, di mana ada
suatu waktu Heidegger membaca sajak-sajaknya Friedrich Holderlin yang malah
membantunya untuk menuliskan tesis dan argumentasinya untuk buku Being and
Time-nya –dan di suatu waktu Mikhail Bakhtin terpesona dengan novel-novelnya
Dostoievsky, lalu menulis tentang apa itu prosa, seperti juga istilah surplus
meaning-nya Paul Ricoeur dan ma’na bathin-nya al Ghazali adalah istilah-istilah
yang ditetapkan dengan mantap ketika dan setelah membaca bentuk-bentuk dan
metode-metode penuturan dan metafora kitab suci.
Adakalanya
ketidaktepatan penggunaan wawasan atau metode analisa dan tafsir malah hanya
akan membuat sebuah karya lepas dari pembacaan yang intim. Begitulah ketika
seorang yang hendak mengulas sebuah karya sastra membaca sebuah puisi atau pun
novel, tentu ia akan melupakan dan menunda untuk sementara wawasan teoritiknya
tentang seni atau pun sastra yang telah ia pahami dan telah menyusun
presuposisi alias praduga-praduga epistemik dalam benaknya, sebab ia mestilah
mengetahui terlebih dahulu apa yang tengah dituturkan dan digambarkan sebuah
teks sastra yang sedang ia baca –mungkin ada sesuatu yang lain, yang unik, dan
yang sama sekali datang sebagai sesuatu yang masih asing dan belum dikenali
atau pun belum diulas oleh wawasan dan kerangka teoritik tafsir dan analisa
yang ada dan ditulis saat ini.
Hak cipta ©Sulaiman
Djaya (2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar