(Foto: Milad Tower, Tehran, Iran)
Oleh Sulaiman Djaya (Sumber:
Radar Banten, 24 Juli 2015)
Bahwa Al-Qur’an mengandung
ayat-ayat sains itu sudah dibuktikan oleh banyak ilmuwan, baik di Barat maupun
di kalangan kaum muslimin sendiri, seperti telah dibuktikan oleh Profesor Abdus
Salam, yang hingga saat ini merupakan satu-satunya ilmuwan muslim yang mendapat
hadiah Nobel berkat teori electroweak-nya itu. Namun, dengan tulisan ini,
adalah cukup menarik untuk memberi informasi singkat mengenai relevansi
sejumlah ayat Al-Qur’an dengan teori relativitas ruang-waktu, yang mulanya
sudah dicetuskan oleh Al-Kindi, ketika filsuf muslim itu dalam Al-Falsafa
Al-Ula (Filsafat Pertama)-nya, menyatakan: “Waktu, ruang, gerakan, dan benda,
semuanya relatif dan tak absolut. Waktu hanya eksis dengan gerakan; benda
dengan gerakan; gerakan dengan benda. Jika ada gerakan, di sana perlu benda;
jika ada sebuah benda, di sana perlu gerakan”.
Kita tahu bahwa Teori
Relativitas Einstein ada dua macam, yaitu teori relativitas khusus dan teori
relativitas umum. Berdasarkan teori relativitas khusus menunjukan bahwa
kecepatan membuat waktu bersifat relatif. Namun, barangkali Anda bertanya:
‘Bagaimana penjelasannya secara ringkas dan tepat? Jawabannya adalah bahwa bila
suatu benda bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, maka waktu
akan mengalami pemoloran atau melambatnya waktu, fenomena ini disebut dengan
delatasi waktu, sedangkan teori relativitas umum mempostulatkan bahwa gravitasi
membuat waktu menjadi relatif. Singkatnya, waktu akan berjalan lebih lambat di
daerah yang gravitasinya lebih besar, dan inti dari kedua teori ini adalah
waktu yang bersifat relatif.
Dalam hal yang demikian
itu, sebagai contohnya, apabila ada manusia yang bergerak dengan kecepatan
mendekati kecepatan cahaya atau berjalan di daerah yang gravitasinya lebih
besar dari gravitasi bumi, misalnya matahari (dan ini sekedar pengandaian
saja), maka waktu akan berjalan lambat, dan begitu pula fungsi biologi dan
anatomi tubuhnya serta semua pergerakan yang terkait dengan atom-atom penyusun
tubuhnya. Percobaan yang dilakukan di British Nasional Institute of Physics
telah menguatkan fakta tersebut, penelitinya John Laverty, mencocokkan dua jam
yang menunjukan waktu yang sama (dua jam tersebut memiliki tingkat ketelitian
yang optimal, perkiraan kesalahan kira-kira tidak lebih dari 1 detik dalam
300.000 tahun). Salah satu jam ini disimpan dalam Laboratorium di London, dan
jam yang lainnya dibawa dalam penerbangan pulang pergi antara London dan Cina.
Demikian pula, kita tahu
juga bahwa semakin tinggi suatu pesawat maka pengaruh gravitasi bumi semakin
kecil, sehingga berdasarkan teori relativitas umum waktu akan berjalan lebih
cepat di atas pesawat. Tepat dalam hal inilah, perbedaan gravitasi antara orang
yang terbang di udara dengan orang yang berada di atas permukaan bumi tidaklah
begitu mencolok walaupun tetap ada perbedaan itu sangat kecil sekali sehingga
perbedaan ini hanya dapat dilihat dengan alat yang memiliki tingkat ketelitian
yang sangat tinggi.
Ternyata dari penelitian
sejumlah ilmuwan dan komunitas para fisikawan, didapatkan bahwa jam yang berada
di atas pesawat berjalan lebih cepat satu per lima puluh lima miliar detik,
yang mana biarpun hasilnya sangat kecil tetap saja ada perbedaan kecepatan jam.
Ini menunjukan bahwa waktu memang bersifat relatif. Cobalah sekarang kita
menengok kitab suci kita Al-Qur’an: “Para malaikat dan Jibril naik (menghadap)
kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun” (QS. Al-Ma’arij
70:4).
Karena itulah, jika bumi
kita jadikan sebagai acuan, relativitas terjadi barangkali karena tempat yang
tinggi karena ada istilah naik pada ayat di atas, juga bisa terjadi karena
kecepatan para malaikat dan Jibril yang mendekati kecepatan cahaya, karena
malaikat dan jibril bahan dasarnya atau diciptakan dari cahaya. Sehingga waktu
mengalami pemoloran (pelambatan atau delatasi), dimana satu hari molor menjadi
lima puluh ribu tahun di bumi. Atau ayat berikut ini: “Dia mengatur segala
urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu
hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu” (QS.
Al-Sajdah 32:5).
Ayat tersebut juga
menunjukan pemoloran (pelambatan) waktu, yang disebabkan perbedaan ketinggian
karena ada istilah naik, sehingga waktu langit berbeda dengan waktu bumi. Dalam
Al-Qur’an disebutkan juga bahwa orang yang telah meninggal jika dibangkitkan
kembali akan berpikir bahwa waktu mereka di dunia sangatlah singkat. Nah,
persis dengan memahami teori relativitas, pertanyaan yang membingungkan tentang
waktu yang satu hari setara dengan seribu tahun atau bahkan lima puluh ribu
tahun dapat diterima akal dengan sebaik-baiknya.
“Dan ingatlah pada hari
(ketika) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa) seakan-akan tidak pernah
berdiam (di dunia) kecuali sesaat saja pada siang hari, (pada waktu) mereka
saling berkenalan, sesungguhnya orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka
dengan Allah, dan mereka tidak mendapat petunjuk” (QS. Yunus 10:5). Dan Allah
berfirman, ”berapakah tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? Mereka menjawab
“kami tinggal di bumi sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka
yang menghitung” (QS. Al-Mu’minun 23:113).
Akan tetapi, barangkali
perlu juga merenungkan waktu secara puitis dan spekulatif. Sebagaimana dapat
kita bisa bayangkan, berdasarkan penegasan al-Qur’an yang suci yang sebelumnya
telah disebutkan itu, satu hari di suatu kawasan di angkasa sana, yang kita
belum tahu di mana itu, sama dengan lima-puluh ribu tahun di bumi, di planet
biru-hijau di mana kita hidup, berada, mengalami rasa-senang, kesedihan, jatuh
cinta, putus-asa, atau marah. Sementara itu, di bumi sendiri, pengalaman dan
pemahaman kita akan waktu tergantung pada aspek fisik dan psikis (bathin) kita.
Misalnya, waktu terasa berjalan lambat (lama) ketika kita menderita dan terasa
berjalan cepat ketika kita sedang mengalami kesenangan.
Penerimaan dan pengalaman
kita tentang waktu, contohnya, tidak sama ketika kita sedang sakit dan ketika
sedang bersama kekasih yang dirindu dan dicinta. Ada waktu mekanis yang sifatnya
birokratis dan tak lebih sebuah alat ukur yang terbuat dari mesin, dan ada
waktu psikis (bathin) yang dialami secara unik dan berbeda oleh masing-masing
kita sesuai konteks dan pengalaman kita sendiri yang sifatnya subjektif dan
individual.
Kota Teheran dan Gunung Alborz, Iran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar