“Hatiku gejolak samudra
tanpa tepian, bersamanya awal dan akhir tenggelam” (Ayn Al-Qudat dari Hamadan,
Persia)
Kala itu, orang-orang
Babilonia mendirikan sebuah menara –alias tower dalam bahasa sekarang, atas
perintah Namrud, yang kalau bisa menara tersebut sanggup mendekati langit. Akan
tetapi Tuhan (meski ada yang mempercayai kehancuran menara ini hanya mitos), menghancurkan
menara tersebut, setidak-tidaknya demikian lah versi Al-Kitab –yaitu Kitab
Kejadian alias Genesis. Tetapi Jacques Derrida punya tafsir sendiri terkait hal
ini.
Dalam buku Des Tours de
Babel, Derrida pun bertanya: Apa sebenarnya yang dimaksud “Babel” –secara
linguistik? Kepada siapa “Babel” ini merujuk –atau siapa yang dirujuk dan
menjadi referensi? Nah, saat itulah Derrida teringat Voltaire yang pernah
mengkaji makna Babel, di mana kata “Babel” terdiri dari dua kata: Ba artinya
ayah dalam bahasa China, sementara Bel artinya Tuhan.
Para leluhur Voltaire
memberi nama Babel pada setiap ibu kota mereka. Di balik nama itu, tersimpan
harapan agar kota-kota itu menjadi kota yang aman, makmur, sejahtera, dan
bahagia –karena selalu dilindungi Tuhan. Namun, dalam konteks menara Babel,
ternyata Tuhan menghancurkannya.
Dalam wawasan Jacques
Derrida, contohnya, ketika Tuhan menghancurkan menara Babel, pada saat itulah
Tuhan telah melakukan detotalisasi dan dekonstruksi, dan hasil dari
detotalisasi itu tak lain adalah kebingungan, yang adalah juga kehendak manusia
untuk melakukan homogenisasi merupakan tindak kekerasan atas keberlainan.
Karena itulah kata Babel
menurut Michel de Montaigne (sang esais masyhur yang nyeleneh itu) berarti
kebingungan, hingga seorang Ayn al Qudat Hamadani pun menulis: “My heart was
tumultuous a sea with no shore, in it was drowned all the ends and all the
beginnings”. Dan juga seperti yang dinyatakan Ibn Araby: “O Lord, increase my
perplexity concerning Thee”.
Haruslah
diakui, ada paradoks dalam teologi bila dipahami secara verbal, seperti Tuhan
adalah sang penunjuk (al haadi) sekaligus
sang penyesat (al mudhillu), yang bila meminjam wawasannya Derrida merupakan
differance dan disseminasi, yang tak lain adalah: “endlessly opens up a snag in
writing that can no longer be mended” [Ian Almond 2002:515-537].
Dalam pandangan Derrida,
peristiwa kehancuran menara Babel adalah moment penemuan paradigma dan
perspektif tentang heterogenitas dunia dan hidup, di mana pada saat yang sama
adalah kehancuran otoritas. Pada moment tersebut, “Tuhan” mendekonstruksi dan
mendisseminasi dirinya sendiri. Persoalan tersebut sedikit-banyaknya memiliki
kemiripan dengan penggalan ayat Kitab Si Pengkhotbah:
“Segala perkataan tak
mencukupi, tak seorang jua pun sanggup mengatakannya. Dengan tiada sangguplah
manusia menyelami permulaan dan penghabisan, demikian juga pengertian akan
keabadian dalam hati mereka. Sebab samalah nasib manusia dan binatang, berakhir
pada kematian.
Ayat-ayat tersebut
menyuguhkan sugesti yang kuat tentang kerentanan manusiawi yang “mengharuskan”
manusia berendah-hati di hadapan keagungan Ilahi yang acapkali tak sanggup
dipahami. Iman-nya Si Pengkhotbah adalah iman yang sadar dengan kerentanan,
subjek yang sadar dengan kedhaifannya:
“dan apa yang kurang tak
dapat dibilang”.
Dalam konteks saat ini,
beberapa pemegang lembaga keagamaan dan para pemegang otoritas sosial-keagamaan
adalah orang-orang yang sepenuhnya sadar dengan fungsi sosial-politik dogma dan
doktrin keagamaan atau bahkan klaim keimanan dan janji-janji surgawi secara
praktis dan pragmatis, yang bila meminjam wawasannya Nietzsche, klaim
“kebenaran” dipertahankan lebih karena fungsi relasional dan hasrat untuk
berkuasa para aktor dan para pemegang otoritas dari klaim “kebenaran” itu
sendiri.
Mereka yang acapkali
mengatasnamakan lembaga keagamaan demi maksud, motif, dan tujuan politis dapat
juga disebut sebagai imitasi-imitasi alias tiruan-tiruan Namrud dalam skala dan
konteks yang berbeda. Di mana dalam sejarah pembangunan dan pendirian Menara
Babel itu, Namrud-lah sang otoritas itu sendiri –yang berusaha ingin
menciptakan dirinya sendiri dan lembaganya sebagai “sesembahan”.
Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar