Oleh Sulaiman Djaya (penyair dan penulis lepas)
“Mengetahui adalah menguasai” (Francis Bacon, 1561-1626)
Dalam ranah dan hasrat
politik Barat, diskursus humaniora dan saintifik acapkali “ada” demi kekuasaan
itu sendiri, yang di sini contohnya adalah orientalisme, sebagaimana dipaparkan
Edward W. Said [1] dalam bukunya
yang berjudul Orientalism yang diterbitkan pada tahun 1978 oleh penerbit
Vintage Books itu. Pertanyaannya adalah apakah orientalisme sebagaimana
dipaparkan Edward Said tersebut? Berikut ulasan singkatnya.
Pertama-tama, orientalisme
adalah hal-ikhwal tentang bagaimana Timur direpresentasikan atau dihadirkan
oleh Barat sebagai yang lain (others). Lewat tulisan, novel atau karya sastera,
kajian disiplin akademik, dan lain-lain. Timur menjadi objek pembacaan, objek
pemahaman, objek kajian, objek perjalanan dan objek penulisan dari para penulis
Barat. Karena Timur adalah hasil representasi, maka konstruksi ke-Timur-an itu
sendiri bukanlah “the real Orient”. Timur adalah entitas yang direpresentasikan
dalam sudut pandang, perspektif, kesadaran dan bias ideologi pengamat (pembaca
Barat) yang tersituasikan di dalam masyarakatnya, tradisi budaya dan
lingkungannya beserta lembaga-lembaga yang menstabilkan kesadaran tersebut
seperti sekolah, perpustakaan, dan pemerintah.
Menurut Said, orientalisme adalah doktrin politik yang diarahkan kepada Timur, pada saat mana Timur lebih lemah dan budaya Barat lebih dominan. Dalam konteks ini, Timur dihadirkan (direpresentasikan) dalam sifat-sifatnya yang despotik, sensual, pasif, terbelakang, mentalitas menyimpang, dan sebagainya –sesuai dengan subjektivitas para penulis dan pengamat Barat. Pandangan semacam ini sudah terinstitusionalisasi sejak abad ke-18 sebagai satu sistem kebenaran, dan menurut Said, konsekuensinya, para pengamat Eropa cenderung rasis, imperialis dan etnosentrik –juga eropasentrik terhadap yang lain (others). Dan malangnya, pada akhir abad ke-19, orientalisme (kajian tentang ke-Timur-an) membawa misi membantu kolonialisme alias penjajahan.
Said membuat distingsi antara “latent orientalism” dan “manifest orientalism”. “Latent” di sini merujuk pada “struktur dalam” (deep structure) atau aspek “unconscious” dari orientalisme yakni positioning politik dan kehendak-untuk-berkuasa dari Barat untuk menguasai Timur di dalam diskursus. Sementara “manifest” menujuk pada detail permukaan atau aspek yang nampak dalam diskursus, seperti disiplin (sosiologi, sejarah, sastera, dan lain-lain), produk budaya, sarjana dan tradisi bangsa. Aspek pengetahuan yang “manifest” dari orientalisme ini selalu berubah, sementara aspek “latent”-nya relatif konstan alias tetap dan tidak berubah –yaitu kepentingan politik dan kekuasaan yang ada di belakangnya.
Aspek “latent” dari orientalisme terlihat dari karya-karya para pengarang Eropa yang menghadirkan Timur (yang berbeda dengan Barat) sebagai terbelakang, eksentrik, bodoh, sensual, tunduk, uncivilized, dan “as problems to be solved or confined or taken over” –di sini lahirlah hasrat berkuasa Barat atas Timur dengan retorika “memberadabkan” tersebut, di mana motif sesungguhnya adalah penaklukkan dan penjajahan, dan karena itu perlu diperhatikan, dimajukan, bahkan diselamatkan oleh Barat (ini dilakukan bukan hanya karena takdir determinisme biologis tetapi juga karena motif dan hasrat politik).
Aspek “latent” lain dari orientalisme adalah konsepsi dunia maskulin. Orientalisme adalah kajian yang bias laki-laki, buta kelamin, yang mana perempuan oriental selalu digambarkan oleh para novelis dan pelancong sebagai pembangkit fantasi seksual laki-laki. Gambaran tentang Timur semacam ini diasumsikan bersifat statis, tetap yang tak mungkin berkembang dan berubah, dan merupakan bagian dari “Oriental Wisdom”.
Dalam karya-karya orientalis (misalnya, Jacob Buckhardt, von Ranke, Ignaz Goldziher, dan lain-lain), Timur absen dalam representasi Barat. Ia menjadi objek penafsiran, objek penilaian dan pembelajaran, objek yang dihadirkan oleh Barat (yang -“menurut mereka”- tanpa Barat tak mungkin Timur hadir) sebagai yang lemah, sial, dungu, inferior, dan lain-lainnya. “We must not forget that the Orientalist’s presence is enabled by the Orient’s effective absence”, tulis Said.
selanjutnya, geografi adalah material penting penyokong pengetahuan mengenai Timur. Geografi bukan hanya menjadi akar dari kekhasan Timur, tapi sekaligus menjadi daya tarik Barat untuk membedakan, menempati, dan menguasai Timur, dengan dalih merawat, menjaga, membebaskan dan melindungi perkembangan Timur yang lemah dan terbelakang. Timur adalah sebuah ruang geografis yang menjadi objek pendefinisian Barat lewat khazanah sains, kesarjanaan, pemahaman dan administrasi Barat yang kemudian membentuk apa yang sekarang ini disebut Timur.
Ada dua metode yang digunakan Orientalisme untuk membawa Timur ke dalam amatan dunia Barat. Pertama, lewat persebaran kapasitas pembelajaran modern berikut aparatusnya seperti profesi, universitas, masyarakat profesional, organisasi eksplorasi dan geografikal serta industri penerbitan. Ini melibatkan prestise para sarjana, pelancong dan penyair pertama yang membentuk Timur esensial. Menurut Said, ini semua adalah manifestasi doktrinal dari “latent orientalism” yang memberikan para orientalis itu kapasitas “enunciative” untuk bicara dalam bahasa yang rasional mengenai Timur.
Menurut Said, orientalisme adalah doktrin politik yang diarahkan kepada Timur, pada saat mana Timur lebih lemah dan budaya Barat lebih dominan. Dalam konteks ini, Timur dihadirkan (direpresentasikan) dalam sifat-sifatnya yang despotik, sensual, pasif, terbelakang, mentalitas menyimpang, dan sebagainya –sesuai dengan subjektivitas para penulis dan pengamat Barat. Pandangan semacam ini sudah terinstitusionalisasi sejak abad ke-18 sebagai satu sistem kebenaran, dan menurut Said, konsekuensinya, para pengamat Eropa cenderung rasis, imperialis dan etnosentrik –juga eropasentrik terhadap yang lain (others). Dan malangnya, pada akhir abad ke-19, orientalisme (kajian tentang ke-Timur-an) membawa misi membantu kolonialisme alias penjajahan.
Said membuat distingsi antara “latent orientalism” dan “manifest orientalism”. “Latent” di sini merujuk pada “struktur dalam” (deep structure) atau aspek “unconscious” dari orientalisme yakni positioning politik dan kehendak-untuk-berkuasa dari Barat untuk menguasai Timur di dalam diskursus. Sementara “manifest” menujuk pada detail permukaan atau aspek yang nampak dalam diskursus, seperti disiplin (sosiologi, sejarah, sastera, dan lain-lain), produk budaya, sarjana dan tradisi bangsa. Aspek pengetahuan yang “manifest” dari orientalisme ini selalu berubah, sementara aspek “latent”-nya relatif konstan alias tetap dan tidak berubah –yaitu kepentingan politik dan kekuasaan yang ada di belakangnya.
Aspek “latent” dari orientalisme terlihat dari karya-karya para pengarang Eropa yang menghadirkan Timur (yang berbeda dengan Barat) sebagai terbelakang, eksentrik, bodoh, sensual, tunduk, uncivilized, dan “as problems to be solved or confined or taken over” –di sini lahirlah hasrat berkuasa Barat atas Timur dengan retorika “memberadabkan” tersebut, di mana motif sesungguhnya adalah penaklukkan dan penjajahan, dan karena itu perlu diperhatikan, dimajukan, bahkan diselamatkan oleh Barat (ini dilakukan bukan hanya karena takdir determinisme biologis tetapi juga karena motif dan hasrat politik).
Aspek “latent” lain dari orientalisme adalah konsepsi dunia maskulin. Orientalisme adalah kajian yang bias laki-laki, buta kelamin, yang mana perempuan oriental selalu digambarkan oleh para novelis dan pelancong sebagai pembangkit fantasi seksual laki-laki. Gambaran tentang Timur semacam ini diasumsikan bersifat statis, tetap yang tak mungkin berkembang dan berubah, dan merupakan bagian dari “Oriental Wisdom”.
Dalam karya-karya orientalis (misalnya, Jacob Buckhardt, von Ranke, Ignaz Goldziher, dan lain-lain), Timur absen dalam representasi Barat. Ia menjadi objek penafsiran, objek penilaian dan pembelajaran, objek yang dihadirkan oleh Barat (yang -“menurut mereka”- tanpa Barat tak mungkin Timur hadir) sebagai yang lemah, sial, dungu, inferior, dan lain-lainnya. “We must not forget that the Orientalist’s presence is enabled by the Orient’s effective absence”, tulis Said.
selanjutnya, geografi adalah material penting penyokong pengetahuan mengenai Timur. Geografi bukan hanya menjadi akar dari kekhasan Timur, tapi sekaligus menjadi daya tarik Barat untuk membedakan, menempati, dan menguasai Timur, dengan dalih merawat, menjaga, membebaskan dan melindungi perkembangan Timur yang lemah dan terbelakang. Timur adalah sebuah ruang geografis yang menjadi objek pendefinisian Barat lewat khazanah sains, kesarjanaan, pemahaman dan administrasi Barat yang kemudian membentuk apa yang sekarang ini disebut Timur.
Ada dua metode yang digunakan Orientalisme untuk membawa Timur ke dalam amatan dunia Barat. Pertama, lewat persebaran kapasitas pembelajaran modern berikut aparatusnya seperti profesi, universitas, masyarakat profesional, organisasi eksplorasi dan geografikal serta industri penerbitan. Ini melibatkan prestise para sarjana, pelancong dan penyair pertama yang membentuk Timur esensial. Menurut Said, ini semua adalah manifestasi doktrinal dari “latent orientalism” yang memberikan para orientalis itu kapasitas “enunciative” untuk bicara dalam bahasa yang rasional mengenai Timur.
Kedua, lewat
bertemunya pengetahuan orientalis dengan kekuasaan Barat. Orientalis adalah
“agen khusus” kekuasaan Barat, “penasehat” yang memasok pengetahuan untuk
penciptaan kebijakan kolonial di dunia jajahannya. “The discoveries of
Westerner about the manifest and modern Orient acquired a pressing urgency as
Westerner territorial acquisition in the Orient increased”, lanjut Said.
Kolaborasi antara orientalis dan penguasa kolonial pada akhirnya mengafirmasi
pandangan Foucault mengenai ketakterpisahan pengetahuan dan kekuasaan. Begitu
pengetahuan tentang Timur diproduksi oleh para orientalis, ia langsung
diafirmasi, diperkuat dan menjadi faktual oleh administrasi kolonial.
Dengan demikian, orientalisme dibentuk secara “latent” oleh kategori identitas yang bersifat oposisional: “kita” dan “mereka”. Kita adalah Eropa, kulit putih, yang dideskripsikan oleh para orientalis sendiri sebagai liberal, benar, ramah, terdidik, dan rasional. Di sisi yang lain, identitas ini diperkuat dan dibedakan oleh liyan mereka (their others) yang digambarkan sebagai terbelakang, primitif, bodoh dan seterusnya. Dengan label semacam itu, seolah-olah “only an Occidental could speak of Oriental, for example, just as it was the White Man who could designate and name the colored, or nonwhites”, demikian Edward W. Said melanjutkan paparannya, dimana keyakinan ini disokong dan diperkuat oleh sains atau diskursus.
Dengan demikian, orientalisme dibentuk secara “latent” oleh kategori identitas yang bersifat oposisional: “kita” dan “mereka”. Kita adalah Eropa, kulit putih, yang dideskripsikan oleh para orientalis sendiri sebagai liberal, benar, ramah, terdidik, dan rasional. Di sisi yang lain, identitas ini diperkuat dan dibedakan oleh liyan mereka (their others) yang digambarkan sebagai terbelakang, primitif, bodoh dan seterusnya. Dengan label semacam itu, seolah-olah “only an Occidental could speak of Oriental, for example, just as it was the White Man who could designate and name the colored, or nonwhites”, demikian Edward W. Said melanjutkan paparannya, dimana keyakinan ini disokong dan diperkuat oleh sains atau diskursus.
Catatan:
[1] Edward Wadie Said adalah
seorang filsuf perintis studi poskolonialisme, keturunan Palestina yang lahir
tahun 1935, dibesarkan di Kairo, Mesir, mendapat pendidikan gaya Inggris,
kemudian di Universitas Princeton dan Universitas Harvard. Dalam
"Orientalism", Said, dengan meminjam pendekatan Michel Foucault dan
Antonio Gramsci, membongkar cara pandang dunia Barat atas dunia Timur selama
ini yang selalu dalam upaya penguasaan dan penindasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar