Oleh Sulaiman Djaya (Sumber: Radar
Banten, 25 Februari 2015)
Pertama-tama kita perlu mengetahui apa itu literasi dengan tepat sekaligus singkat. Secara gamblang dan
sederhana, literasi pada dasarnya adalah “kemampuan berbahasa, yang juga dapat
dikatakan sebagai fasahah”, di mana fasahah dan kemampuan
berbahasa ini terdiri dari empat unsur, yaitu: Pertama, menyimak atau mendengarkan, kedua
adalah berbicara, ketiga adalah membaca, dan keempat
adalah menulis.
Dalam hal yang demikian, secara natural, kodrati, atau secara alami,
kemampuan berbahasa bersifat manusiawi, dalam arti merupakan sifat alami manusia, sebagaimana akal pun
mengalami perkembangan, persis seperti yang dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib
karramallahu wajhah: “Akal adalah potensi yang semakin bertambah dengan ilmu
dan pengetahuan.” Contohnya adalah bayi yang
seiring bertambahnya usia akan belajar berbahasa tanpa diajarkan, belajar
berbahasa melalui imitasi dan adaptasi.
Namun, berbeda dengan kemampuan berbicara dan mendengarkan atau menyimak dengan indra pendengaran kita, kemampuan membaca dan
menulis hanya dapat diperoleh dengan
mempelajarinya secara khusus atau
secara spesifik. Dan tepat di sinilah akan terletak perbedaan antara seseorang “yang literate atau terdidik” dan seseorang “yang
illiterate alias tak terdidik atau tidak
terpelajar”.
Dengan demikian, seseorang baru bisa dikatakan terpelajar atau dapat dikatakan literate apabila ia memiliki
kemampuan menguasai atau “mempraktikkan” empat unsur kemampuan berbahasa, yaitu: Pertama kemampuan menyimak atau mendengarkan, kedua kemampuan berbicara, ketiga kemampuan membaca, dan keempat adalah kemampuan menulis. Tanpa memiliki
kemampuan membaca dan menulis tersebut, seseorang tak dapat dikategorikan
sebagai “orang yang terdidik atau
seseorang yang literate”. Kemampuan membaca dan
menulis tersebut pada akhirnya akan saling mendukung dan menguatkan satu sama
lain. Kemampuan membaca pada gilirannya akan mempengaruhi kemahiran menulis,
semisal sebuah kendaraan yang meniscayakan adanya bahan-bakar.
Malangnya, literasi tersebut belum menjadi tradisi dalam
institusi-institusi pendidikan kita. Para siswa, contohnya, setiap hari hanya
dihadapkan pada latihan soal yang sifatnya repetitif atau mengulang belaka.
Para peserta didik di institusi-institusi pendidikan kita, sebagai contohnya,
hanya dijejali informasi-informasi sebanyak-banyaknya, di mana pendidikan
ala bank pada kenyataannya bukan malah mencerdaskan, melainkan hanya “dogmatisasi” atau
bersifat mengulang-ulang yang tak dibarengi progress atau kemajuan.
Terkait yang demikian, pendidikan semestinya memberikan “pancing” kepada
para murid, bukan memberikan ikan, yaitu melatih dan
“mengajarkan” kemampuan untuk mencari dan menggali informasi dan pengetahuan
secara mandiri dan kreatif, yang dengan demikian, pendidikan kita akan
melahirkan orang-orang yang terpelajar.
Manusia Sebagai Makhluk Literate
Adalah Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari dalam bukunya yang
bertajuk Man and Universe (yang diterjemahkan ke Bahasa
Indonesia oleh RausyanFikr Institute menjadi
Falsafah Agama & Kemanusiaan) dengan sangat bagus
menggambarkan dan menerang-jelaskan “posisi” dan “keunikan” atau “kekhususan”
manusia dibanding makhluk lainnya, misalnya dibanding binatang. Marilah kita
simak apa yang ditulis dan di kemukakan Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari
berikut ini:
“Pada hakikatnya, manusia adalah sejenis binatang yang memiliki banyak
kesamaan dengan binatang lainnya. Kendati demikian, manusia juga memiliki
serangkaian ciri yang membedakan dirinya dengan binatang lain. Serangkaian ciri
inilah yang menempatkan manusia lebih unggul dari binatang....
Ciri-ciri tersebut pada gilirannya menentukan sifat-sifat manusiawi
manusia. Ciri-ciri ini juga merupakan sumber dari apa yang disebut sebagai
kebudayaan manusia yang berhubungan dengan dua hal: sikap dan kecendrungan....
Sebagaimana binatang lainnya, manusia juga mempunyai banyak keinginan.
Dengan bekal pengetahuan dan pengertiannya, manusia bersusah payah mewujudkan
keinginannya. Manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Perebedaannya
manusia lebih tahu, lebih mengerti...” (Lihat Murtadha Muthahhari,
Falsafah Agama & Kemanusiaan, RausyanFikr Institute Yogyakarta, hal.1).
Dalam paparan selanjutnya, dalam bukunya yang sama tersebut, Syahid
Murtadha Muthahhari dengan cukup eksplisit menyatakan bahwa yang
membuat manusia lebih unggul dari binatang adalah karena manusia mampu
mengembangkan bahasa dan inteligensi-nya itu sendiri. Bahasa dan
inteligensi inilah yang adalah juga modal manusia memiliki modal dan kecakapan literer dan mengembangkan serta memajukan kriya dan kreativitas estetik
dan kebudayaannya. Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari mengemukakan:
“Seekor binatang hanya mengetahui dunia melalui indra luarnya (seperti:
mencium bau, mendengar, melihat, meraba, dan merasakan sesuatu secara naluri
–penerj.). Itulah sebabnya:
Pertama, tingkat pengetahuannya dangkal.
Pengetahuannya ini tidak sampai menguasai detil segala sesuatu dan tidak
memiliki akses ke hubungan-hubungan internal yang terjadi dalam segala sesuatu
itu. Kedua,
pengetahuannya bersifat parsial dan khusus, tidak universal dan tidak
umum. Ketiga,
pengetahuannya bersifat regional (terbatas pada wilayah tertentu), karena
terbatas pada lingkungan hidupnya dan tidak lebih dari itu. Keempat, pengetahuannya terbatas
pada saat sekarang dan tidak berkenaan dengan masa lalu dan masa mendatang.
Sebab, binatang tidak mengetahui sejarahnya sendiri atau pun sejarah dunia,
binatang tidak berpikir tentang masa depannya dan juga tidak merancang masa
depannya” (Ibid, hal. 2).
Jika kita cermati dengan seksama apa yang dikemukakan Syahid Ayatullah
Murtadha Muthahhari di atas tersebut, maka
kita dapat menyimpulkan bahwa hanya manusia-lah yang dalam dirinya memiliki
potensi-potensi literer dan intelektual,
yaitu potensi berbahasa dan literasi yang mengalami perkembangan, seperti
kemampuan menulis, kesanggupan mengembangkan bahasa, hingga kemahiran dalam
capaian sains dan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam konteks tulisan ini, kita dapat mengatakan bahwa pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang sanggup mengembangkan dan memajukan potensi tersebut
dengan metode pendidikan yang terlibat atau partisipatoris, pendidikan yang
tidak cenderung monologis tetapi
dialogis, persis seperti ketika Sokrates menuntun
lawan debat dan sahabat dialognya
untuk berusaha “mencapai” kebenaran oleh dirinya sendiri, atau membiarkan para
lawan dialog dan debatnya menggali pengetahuan secara mandiri, di mana Sokrates hanya berfungsi tak ubahnya seorang “bidan” yang membantu melahirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar