Oleh Sulaiman Djaya (Sumber: Tangsel
Pos,
4 September 2014)
Nabi
Muhammad saw bersabda: “Seluruh makna takwa disimpulkan dalam ayat Sesungguhnya
Allah memerintahkan kamu untuk berbuat adil dan berbuat baik” (al Qur’an Surah
an Nahl ayat 90) (Mizanul Hikmah, 10:659). Dalam salah-satu tilikan
filsafatnya, Adorno, salah seorang eksponen Mazhab Frankfurt itu, pernah
menyatakan bahwa “orang yang masih mencari pendasaran dan alasan moral untuk
tindakannya adalah ciri orang yang tidak bermoral”. Sebab menurut Adorno, orang
seperti itu pastilah akan melakukan kejahatan-kejahatan bila tak ada moral
verbal yang mencegahnya.
Apa
yang diutarakan dan dikhawatirkan Adorno bertahun-tahun silam tersebut masih
sangat terasa justru ketika teks-teks firman kitab suci yang dipahami secara
verbal seringkali dijadikan alasan dan pembenaran untuk sejumlah praktek
eksclusi alias penyingkiran atas dan terhadap alteritas dan “keberlainan”,
dijadikan alasan untuk membenarkan kezaliman dan kekerasan terhadap orang-orang
yang berbeda identitas dan komunitas. Juga sebaliknya, bila saya meminjam
wawasannya Kierkegaard, orang seperti itu akan cenderung memahami kebaikan hanya
sekedar perintah tanpa penghayatan dan tidak belajar dari kenyataan keseharian
untuk memaknakan secara terus menerus apa arti iman dan kebaikan.
Kepekaan Pada Keseharian
Dalam
hal ini, barangkali “iman” adalah sebuah pelajaran dari keseharian dan ikhtiar
pencarian yang tak pernah usai, karena kita tak pernah tahu apakah kita yang
akan masuk surga atau justru orang lain yang kita tuduh sebagai mereka yang tak
berhak mendapatkannya, ataukah para gelandangan dan orang-orang gila di jalanan
yang kita lihat dan kita jumpai di pasar-pasar atau di trotoar-trotoar
perkotaan, mereka yang akrab dengan kesusahan dan penderitaan, ketimbang
orang-orang yang nyaman hingga begitu mudahnya berdakwah tentang janji-janji
surga kepada setiap orang, padahal motif sang boss yang mendanai mereka dan
sumber finansialnya adalah demi kepentingan dan tujuan politis, dan yang
menggerakkannya adalah suatu kekuatan atau korporasi yang sebenarnya tidak
memiliki minat dan tekad bagi dan terhadap agama.
Mungkin,
sesekali persoalannya bukan apakah teks kitab suci telah menjanjikan surga dan
neraka, yang menurut Rabiah Adawiah, bunyi verbal teks kitab suci tersebut
ditujukan kepada mereka yang iman-nya masih kekanak-kanakan dan perhitungan
keimanannya lebih bersifat transaksional dan ekonomistik, yang dalam bahasa
Rabiah Adawiah sendiri tak ubahnya seorang buruh yang tak akan bekerja bila tak
diberi upah. Iman adalah seperti pengalaman Zakariya yang heran ketika Jibril
mengabarkan wahyu tentang kelahiran Yahya, dan lalu ia pun bisu alias tak bisa
berbicara hingga Yahya lahir ke dunia, atau seperti Sarah yang tertawa ketika
malaikat Jibril mengabarkan kepada Ibrahim tentang berita kehamilannya, hingga
arti nama Ishak itu sendiri adalah tawa dan ia yang tertawa.
Beragama Dengan Penghayatan
Barangkali,
iman harus lah dimahkotai dan dilandasi kepekaan dan penghayatan, bukan
hipokrisi, hipokrisi yang acapkali diklaim sebagai iman dan kesalehan semisal
yang dipercayai sahabat-sahabat Ayub, yang dalam Kitab Ayub ditentang oleh Ayub
sendiri. Sebab menurut Ayub, iman dan kesalehan yang dipercayai
sahabat-sahabatnya itu tak lebih sejumlah dogma dan apologia yang bersumber
dari kemalasan dan ketakpekaan, acapkali demi mendukung status quo
tindakan-tindakan mereka yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan dogma
tersebut.
Di
sini, saya teringat Rabiah Adawiah, ketika ia menyatakan, “Aku mencari, tapi Ia
bersembunyi”, dan dalam khalwat itu pun Rabiah mengaku: “Aku mencintai Tuhan,
tapi aku juga tak membenci Azazil. Cinta takkan meninggalkan ruang di hati
untuk yang lain. Dan aku takkan mengabdi kepada Tuhan seperti seorang buruh
yang meminta gaji”. Juga dengan bait-baitnya itu Rabiah pun berdoa dan
menyatakan makna iman-nya: “Jika aku menyembahmu karena takut neraka, maka
lemparkan aku ke dalam neraka. Jika aku menyembahmu karena mengharapkan surga,
maka jauhkan aku dari surga”.
Meski
makna iman yang diinginkan Ayub dan Rabiah rentan jatuh ke dalam hasrat untuk
meniadakan diri, bagi saya mestilah dipahami sebagai pemaknaan alternatif dari
iman yang berubah menjadi dogma dan apologia politis dan ideologis, yang
acapkali malah membenarkan kekejaman. Kekerasan dan kekejaman yang telah
disesalkan dan dikhawatirkan oleh Adorno ketika agama menjadi ideologi yang
tertutup dan kehilangan kepekaannya pada pengalaman dan keseharian. Iman
seperti itu justru lebih merupakan iman yang selalu khawatir dan selalu merasa
terongrong, alias iman yang paranoid. Iman yang justru dipenuhi waham.
Dan
sebelum kita mengakhiri tulisan ini, barangkali akan merupakan sebuah berkah
jika kita menyimak sejenak wejangan Ali Bin Abi Thalib karramallahu wajhah,
sebagaimana yang terdapat dalam Nahjul Balaghah, berikut: “Jadikanlah dirimu
sebagai timbangan dalam hubunganmu dengan orang lain, dan cintailah orang lain
itu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, dan bencilah orang lain
sebagaimana kamu benci dirimu sendiri, janganlah engkau menganiaya sebagaimana
engkau tidak senang dianiaya, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana
engkau senang orang lain berbuat baik kepadamu, dan pandang jeleklah terhadap
dirimu sebagaimana orang lain memandang jelek, dan tumpahkan relamu kepada
manusia sebgaimana engkau rela jika orang lain rela kepadamu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar