Oleh
Sulaiman Djaya (Sumber: Radar
Banten, 17 Februari 2015)
Imam
Ali bin Abi Thalib as pernah berkata, “An-Naasu niyaamun, faidza maatuu
intabahuu” (Manusia itu tidur –dan ketika mati barulah terbangun (sadar)”.
Mungkin
pernah terpikir oleh Anda bahwa setelah Anda mati (entah kapan itu karena kita
semua tak pernah tahu waktu kematian kita sendiri) akan dihidupkan lagi
sebagaimana lazimnya orang-orang theis mempercayainya –juga para ilmuwan atau
fisikawan yang lazim dikenal sebagai Mazhab Kreasionis? Atau barangkali pernah
terpikir oleh Anda bahwa ketika mati, Anda akan hancur dan menjadi tiada begitu
saja dan tak mempercayai keabadiaan (kebangkitan) setelah kematian sebagaimana
yang didengungkan sejumlah ilmuwan (sejumlah oknum ahli fisika dan ahli
biologi) yang disebut kaum Evolusionis-Materialis Atheis?
Pertanyaan
itu dimiliki bersama oleh para filsuf, para ilmuwan, para teolog, sejumlah
penyair, dan tentu saja orang-orang biasa seperti kita. Dan pandangan itu
terkait juga dengan pandangan, spekulasi, usaha untuk mengetahui apakah
penciptaan dan keberadaan kita sendiri dan jagat-raya (alam semesta), di mana
salah-satu planet di jagat raya itu adalah tempat kita tinggal dan hidup
–adalah kebetulan semata atau karena memiliki tujuan atas dasar penciptaan?
Sejumlah
fisikawan (yang umumnya para fisikawan theis dan religius semisal Isaac Newton,
Max Planck, Albert Einstein, dan lain-lain) mempercayai keberadaan kita dan
alam semesta (jagat-raya) karena diciptakan dan ada satu “wujud” yang maha yang
menciptakan dan yang mengaturnya. Pandangan inilah yang lazim dikenal sebagai
pandangan kreasionis, meski ada ragam perspektif dalam mazhab kreasionis
sendiri, terlebih dengan mereka yang lazim dikenal sebagai kaum kreasionisme
baru.
Sementara
sejumlah ilmuwan lain berpandangan bahwa keberadaan kita dan jagat-raya (alam
semesta) hanyalah kebetulan semata dan berlanjut dengan proses evolusi yang
lambat yang memakan waktu bermilyar-milyar tahun. Pandangan inilah yang lazim
kita kenal sebagai pandangan Kaum Evolusionis-Materialis Atheis (semisal
sejumlah oknum kosmolog, ahli fisika, dan ahli biologi) jaman ini.
Tentu
saja Anda bebas memilih dua kutub pandangan yang saling bertolak-belakang
tersebut. Jika, misalnya, Anda memilih dan merasa pas dengan pandangan
evolusionis-materialias atheis, maka itu artinya Anda tak mempercayai hidup
setelah mati (kebangkitan) –there is no life after death, begitu kira-kira.
Namun
sebaliknya, jika Anda meyakini bahwa kehidupan ini merupakan jembatan penyebrangan
semata (sebagaimana saya sebagai muslim meyakininya) ke kehidupan yang lebih
kekal, maka pastilah kebajikan-kebajikan yang kita lakukan selagi hidup yang
menjadi “tiket”-nya dan tak melakukan kejahatan atau ketak-bajikan dengan
mengatasnamakan agama kita –karena itu sama artinya dengan mendustai iman dan
agama kita sendiri.
Muhammad
Rasulullah bersabda, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) orang-orang
beriman, dan bukan orang beriman yang tidak berbuat kebajikan”, demikian sebuah
hadits yang saya terjemahkan secara bebas dari redaksi bahasa Arab berdasarkan
riwayat yang dicatat oleh Muslim.
Kemampuan
dan kapasitas untuk memilih itu sendiri sudah ada dalam diri kita –yaitu pada
hati dan akal kita, di mana sumbu dan sumber intelegensi kita adalah hati,
sebagaimana do’a nabi Musa alayhis-salam ketika hendak bernegosiasi dengan
bangsa Mesir demi membebaskan rakyatnya (bangsanya) sendiri. “Rabbi israh lii
shadri” (Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku), di mana kata “shadrun” merupakan
kosakata rangkuman dari hati dan wadah hati itu sendiri –ia mencakup hati itu
sendiri sekaligus dada tempat hati itu berada, yang dengannya akal (otak) kita
hanya media (instrument) dari intelegensia hati tersebut.
Dan
sebagaimana kita tahu bersama, intelegensi dan akalnya (otak kita) itu pula
yang “membedakan” manusia dari binatang-binatang lainnya, yang membuat manusia
unggul, yang contohnya ditunjukkan dengan kemampuan berbahasa (bukan sekedar
berbicara atau berkomunikasi antar sesama semata). Dan itulah fakultas yang dimilikinya
untuk berpikir, mengambil i’tibar, dan melakukan pilihan. Muhammad Rasulullah
bersabda, “Tak ada kewajiban kalau ada keterpaksaan”.
Sebab
berkat kemampuan dan kapasitas berbahasa inilah manusia sanggup mengembangkan
sains dan ilmu pengetahuan, di saat para binatang tidak dapat melakukannya (di
mana para binatang hanya sekedar mengandalkan insting mereka). Kapasitas dan
berkah berbahasa inilah yang mementahkan reduksionisme kaum
evolusionisme-materialis atheis, di mana mereka juga seakan-akan mengabaikan
bahwa ratusan ribu tahun silam manusia juga telah sanggup membangun
peradaban-peradaban dan mahakarya-mahakarya, sebagaimana dikemukakan para
arkeolog, sejarawan, dan yang sejenisnya.
“Yang
sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum ketahui dengan pasti” (al
Qur’an surah Yunus: 39). “Mereka hanyalah mengikuti persangkaan dan apa yang
diinginkan hawa nafsu mereka” (al Qur’an surah an Najm: 23).
Sebagaimana
kita tahu, sains sekalipun tak pernah imun (kebal dan bebas) dari waham, dari
praduga atau pengira-pengiraan semata –dan sejarah sains telah membuktikannya
sendiri. Teori Ruang-Waktunya Isaac Newton, contohnya, dibuktikan keliru oleh
Teori Ruang-Waktunya Albert Einstein. Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu
wajhah pernah berkata, “Semoga Allah merahmati manusia yang tahu asal-usulnya,
yang tahu keberadaan dirinya, dan yang tahu hendak ke mana dirinya”.
Seperti
yang telah dikatakan sebelumnya, waham bisa hinggap pada siapa saja –pada
orang-orang biasa atau pada para ilmuwan. Barangkali, pandangan-pandangan
Richard Dawkins bagi kita kaum theis, bila kita menggunakan kerangka kaum
evolusionis-materialis atheis sendiri, adalah sebuah kebetulan agar hidup tetap
memiliki lelucon, yang dalam konteks ini adalah lelucon yang “ilmiah”.
Namun,
haruslah diakui di sisi lain bagi kita kaum theis, umur kita sendiri terlalu
singkat untuk mempercayai lelucon spekulatif kaum evolusionis-materialis atheis
–bahkan kita tak pernah tahu kapan kita akan mati. Muhammad Rasulullah
mengingatkan kita, “Faktsiruu dzikro haadimil laddzah, wahuwal maut”
(Perbanyaklah mengingat sang pemutus kenikmatan –yaitu kematian!).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar