Kesadaran,
kepekaan, keberanian berpikir, keluhuran jiwa serta kekuatan kalbu –semua ini
adalah sifat-sifat agung manusia yang ditemukannya pada pribadi ‘Ain al-Quzat
dan didambakannya sendiri. Dan dengan ketajaman rasanya dia sadar bahwa dia pun
akan mengalami nasib seperti ‘Ain al-Quzat, mati dini dalam usia muda. Karena
itu, tidak mengherankan, dia sudah siap menghadapi setiap kemungkinan dan tidak
pernah gentar mengemukakan pendapatnya. Tetapi dia tahu, bahwa dalam masyarakat
yang terdiri atas golongan tertindas dan terhina, dalam masa kejahilan, di
tengah gurun kealpaan atau lebih tepat lagi, dalam masa di mana orang mengambil
sikap melupakan dan mengabaikan kebenaran ―kesadaran dan kepekaan tidak lagi
identik dengan keberanian berpikir dan kekuatan kalbu. Sebaliknya, mutu
intelektualitas telah jadi identik dengan ambisi dan hasrat akan kedudukan.
Keadaan ini justru menyebabkan penindasan dan penghinaan terhadap mereka yang
sadar.
Dia
(Ali Syari’ati), dengan senyum pahit, mengecam para intelektual yang tidak
memiliki keberanian, bahkan malah turut serta dalam korupsi; mereka senantiasa
menanti bingung di persimpangan jalan dan tidak berani maju menghadapi ujian
karena takut gagal.
Baginya,
jalan yang telah dipilihnya bukan merupakan “langkah pertama”, melainkan
seluruh hidupnya. Sedangkan sikap bimbang ragu adalah sikap penghambaan
intelektual, yang secara metaforis kita sebut sebagai “intelektualisme”.
Seluruh
hidupnya yang singkat tetapi berarti telah digunakannya untuk berjuang secara
berani, dan dengan segenap daya dan kemampuan menentang lawan pikiran dan
kemanusiaan yang kawakan ini.
Sementara
itu, dia melancarkan perlawanan terhadap kebiasaan untuk menganggap sesuatu
yang aktual sebagai hal yang normal dan wajar sehingga dirasakan tidak perlu
menggantinya dengan yang ideal; terhadap pandangan bahwa hidup manusia adalah
sia-sia dan tanpa arti; terhadap kedangkalan dan kesombongan; terhadap candu
yang bukan saja telah merasuk sebagian terbesar umat, tetapi bahkan sekelompok
pengawal agama tauhid, melenakan mereka dalam keadaan antara tidur dan jaga,
dalam lamunan hampa dan telah menyelewengkan mereka dari jalan yang benar,
yaitu jalan yang ditandai oleh jatuh-bangun ―jalan yang menuntut keyakinan
serta hati-nurani yang waspada.
Dia
melancarkan jihad terus-menerus terhadap kekejian zaman dan masyarakat kita,
masyarakat yang telah layu akarnya. Maka untuk menyirami akar yang telah layu
itu seruannya harus dikorbankan, termasuk hidup sendiri, dengan cara menjadi
syahid!
“Aku
tidak bisa tinggal diam dan tidak mengatakan sesuatu. Bila aku diam, rasanya
aku bagaikan seorang yang sedang sekarat yang tahu bahwa kedamaian dan
keselamatan sedang menantinya, yang telah jemu akan kesukaran hidup, yang tidak
dapat berbuat lain terkecuali menanti sepanjang hayat...Tidakkah kau lihat
betapa nikmat dan damainya kematian seorang syahid? Bagi mereka yang terbiasa
akan rutin harian, kematian merupakan tragedi yang seram, penghentian yang dahsyat
dari segalanya: lenyap dalam ketiadaan. Alangkah agungnya mereka yang
memperhatikan amar yang menakjubkan ini dan mengamalkannya ― “Matilah sebelum
engkau mati” (Kavir, hal. 55).
Setiap
orang yang mengenal Dr. Syari’ati tahu benar bahwa mempelajari dan membaca
karya serta buah pikirannya bukan saja bermanfaat tetapi juga bahwa cara
hidupnya merupakan refleksi pandangan dunianya yang tepat dan mendalam,
seberkas sinar yang memancar dari imannya. Berikut ini akan kami kemukakan
sekadar garis besar saja, suatu sketsa kehidupan yang sarat dengan amal,
kegiatan, keyakinan, cinta serta tanggungjawab ―kehidupan seorang manusia yang
sadar dan penuh bakti. Atas penyajian kami yang kurang memadai ini kami mohon
maaf kepadanya dan kepada sahabat-sahabatnya.
SKETSA HIDUP ALI SYARI’ATI
Sungguh,
yang menjadi masalah baginya bukanlah hidup itu sendiri, melainkan bagaimana
melangsungkannya dan apa tujuannya. Karena itulah sejak awal dia sudah bergulat
untuk memberi bentuk dan arti bagi hidupnya. Selain itu dia pun menyadari benar,
betapa berat amanah yang diwarisinya dari leluhurnya. Dia ingin memikul amanah
itu sebaik-baiknya sampai ke tempat tujuan, dan sebagaimana tercatat dalam
surat terakhirnya, sekejap pun dia tidak pernah menyia-nyiakan atau membiarkan
waktunya berlalu tanpa manfaat dan hasil:
“Berkat
rahmat Allah Yang Mahakuasa, yang kasih ajaib-Nya menimbulkan malu dan perih
dalam hatiku dan hampir membuat batinku guncang meledak, karena kukira aku
tidak pantas untuk itu, telah kutempuh jalan itu sehingga aku tidak dapat
membiarkan sekejap pun dari hidupku untuk kesenangan pribadi. Kiranya Allah
melimpahkan kurnia pertolongan-Nya kepadaku dalam mengatasi kelemahanku, dan
adakah nikmat yang lebih besar dari ini, bahwa hidupku yang tadinya tidak akan
karuan, ditakdirkan harus begini?” (Dari surat terakhir Syari’ati kepada
ayahandanya).
Hidupnya
tidak hanya untuk mendukung amanah yang diwarisinya dan leluhurnya, tetapi juga
untuk menuntut kebenaran dan keadilan yang sepanjang sejarah di setiap zaman
merupakan amanah mereka yang tertindas, terhina dan teraniaya, amanah yang
telah dimanifestasikan sepenuhnya oleh Husain, pewaris Adam, beban yang telah
dibawa oleh Zainab ke dalam istana Yazid di Damsyik (Damaskus, Suriah), beban
yang semakin hari terasa semakin berat di pundak para pengabdi Allah.
Kesepian,
keterasingan, kegagalan, kekecewaan dan penderitaan jelas terlihat di gurun itu
berlumur darah; di angkatnya kepalanya di atas gelimang merah syuhada, dan
tegak senyap, seorang diri (Husain Pewaris Adam, hal. 16-17).
Dia
meyakininya sebagai warisan filsafat dan iman Islam untuk membangun suatu
kesinambungan yang terarah dan mengaliri aneka peristiwa yang telah, sedang dan
akan terjadi di berbagai waktu dan tempat. Satu sama lain para syuhada itu
dihubungkan oleh kesinambungan ini; mereka lahir dan mereka mati akibat suatu
sebab logis dan hukum ilmiah; mereka saling meneruskan serta saling
mempengaruhi; dan masing-masing menjadi mata rantai dari suatu rangkaian yang
merentang sejak awal kemanusiaan, Adam, hingga berakhirnya sistem kontradiksi
dan pertarungan di akhir zaman. Kesinambungan yang logis ini, gerakan maju yang
pasti ini, dikenal sebagai sejarah.
Tidak
pernah sekejap pun dia melupakan amanah sejarah yang berat ini, yang
diwarisinya dari leluhurnya dan menyinari seluruh hayatnya. Hidupnya bermula di
gurun pasir dan berakhir pada saat dia menemukan ideologi historis dan sosial
yang utuh, suatu risalah yang merupakan panduan intelektual bagi angkatan muda,
suatu usaha menemukan kembali “jalan tengah” yang didambakan zaman kita. Secara
sadar dia melangkah sepanjang garis nasib mereka yang menderita kepedihan
zaman, maka bertambahlah seorang lagi bilangan para syuhada dalam sejarah
―Suatu esensi suci pantaslah menerima kurnia Allah; Tidak setiap batu dan
bungkal bisa menjadi marjan dan mutiara.
Tidaklah
kebetulan, sebagaimana halnya banyak tokoh besar di bidang ilmu dan agama,
hidup Syari’ati berakar di pedesaan. Dia benar-benar bangga akan leluhurnya,
yang merupakan ulama-ulama terkemuka pada masa mereka, karena mereka telah
memilih jalan hidup menyepi di gurun Kavir, menghindari hingar-bingar kehidupan
kota. Marilah kita ikuti kata-katanya sendiri:
“Lebih
kurang delapan puluh lima tahun yang lalu, sebelum bermulanya Revolusi
Konstitusional, kakekku belajar ilmu kalam, filsafat dan fiqh pada pamannya
dari pihak ibu, Allamah Bahmanabadi, dan dia biasa terlihat dalam perdebatan
filsafat dengan Hakim Asrar. Meskipun tinggalnya jauh dan terpencil di desa
Bahmanabad dekat Mazinan, dia terkenal di kalangan terpelajar Teheran, Masyhad,
Isfahan, Bukhara dan Najaf. Terutama di Teheran dia dianggap sebagai seorang
genius, sehingga Nasiruddin Syah lalu mengundangnya ke ibukota. Di sana dia
mengajar filsafat di madrasah Sipahsalar. Tetapi rupanya hasratnya untuk
menyendiri dan menyepi menggetar kuat dalam kalbunya menariknya pulang kembali
ke Bahmanabad. Padahal sebenarnya kedudukannya sudah mantap di ibukota,
sehingga kalau mau dia bisa memperoleh jabatan, kekuasaan, menjadi tokoh
masyarakat serta menikmati kemasyhuran dan pengaruhnya. Namun secara sadar
semua itu ditinggalkannya”.
Banyak
yang diperoleh Syari’ati dari leluhurnya; dia belajar filsafat untuk tetap
menjadi manusia di tengah-tengah kehidupan yang telah tercemar, di kala terasa
sekali betapa sukarnya untuk tetap menjadi manusia, di kala seruan jihad perlu
diulang setiap hari, dan di kala jihad tidak mungkin dilancarkan.
“Akhund
Hakim ialah kakekku dari pihak ibu. Alangkah mengasyikkan cerita mereka
tentangnya kepadaku. Dari cerita-cerita inilah berasal perasaan yang dalam serta
tanpa sadar di lubuk jiwaku...Seakan-akan dapat kulihat diriku hidup dalam
dirinya limapuluh atau delapanpuluh tahun yang lalu...dan aku berterima kasih
kepadanya karena apa adanya dan karena apa yang dilakukannya” (Kavir, hal. 9,
dan seterusnya).
Pamannya
dari pihak ibu pun merupakan salah seorang murid terkemuka dari ulama
termasyhur, Adib Nisyapuri. Tetapi, setelah belajar fiqh, filsafat dan sastra,
dia mengikuti jejak leluhurnya, kembali ke Mazinan. Syari’ati mengambil alih
seluruh amanah kemanusiaan dan intelektual yang diwariskan leluhurnya. Dia
merasa bahwa mereka tetap hidup dalam dirinya dan menerangi jalan yang
ditempuhnya. Namun, ayahandanyalah yang sebenarnya menjadi guru ruhaninya yang
utama. Maka jadilah sang anak refleksi yang benderang dari esensi ayahandanya.
“Ayahku merombak tradisi dan tidak pulang kembali ke desa setelah menyelesaikan pelajarannya. Dia tinggal di kota dan berjuang gigih mempertahankan dirinya dengan ilmu, cinta-kasih dan jihad di tengah-tengah gelimang noda kehidupan kota...Diriku adalah hasil keputusannya untuk tetap di kota, dan akulah satu-satunya yang mewarisi semua kekayaan yang ditinggalkannya, harta yang berupa kemiskinan...Akulah pendukung amanah kinasihnya yang teramat berat...(Kavir, hal. 19).
“Ayahku merombak tradisi dan tidak pulang kembali ke desa setelah menyelesaikan pelajarannya. Dia tinggal di kota dan berjuang gigih mempertahankan dirinya dengan ilmu, cinta-kasih dan jihad di tengah-tengah gelimang noda kehidupan kota...Diriku adalah hasil keputusannya untuk tetap di kota, dan akulah satu-satunya yang mewarisi semua kekayaan yang ditinggalkannya, harta yang berupa kemiskinan...Akulah pendukung amanah kinasihnya yang teramat berat...(Kavir, hal. 19).
Terutama
yang menjadi perhatiannya ialah untuk mengembalikan para remaja terpelajar
modern kepada Iman dan Islam, menyelamatkan mereka dari materialisme, pemujaan
terhadap Barat dan permusuhan rerhadap agama.
“Ide
yang berkembang dalam beberapa tahun belakangan untuk mempergunakan Al-Quran
sebagai sarana sentral dalam mengajarkan, mempelajari serta menyiarkan Islam
dan Syi’ah, begitupun ide untuk mendirikan suatu sekolah khusus tafsir al-Quran
terutama berasal dari dia” (Syari’ati, Menjawab Beberapa Soal, hal. 162).
Kami
menggarisbawahi pengaruh ayahnya atas diri Syari’ati, karena sebagaimana setiap
orang yang mengenal cendekiawan yang berhati mulia ini kiranya bisa menyetujui
ini akan membantu kita memahami berbagai dimensi kehidupan Syari’ati. Sekaligus
itupun merupakan bukti, bahwa jika seorang genius dan cerdas ditempatkan di
bawah asuhan seorang guru yang cakap, bila dia menerima pendidikan dalam
kondisi yang memadai, maka dia akan mampu mematahkan batas-batas keawaman,
menelanjangi zamannya sendiri. Dia tidak akan sekadar menjadi penerima,
melainkan akan tumbuh menjadi sumber yang berwibawa; dia tidak akan pernah
bersikap pasif, melainkan akan aktif senantiasa.
Mereka
yang mengenal Syari’ati tua dan mengamati aneka dimensi kehidupannya, yaitu
dimensi-dimensi kearifan, religius, sosial, politik serta manusiawinya, tahu
betul akan pengabdiannya, ketekunannya, daya tahannya, kedalaman
pengetahuannya. Mereka pun mengenal tulisan-tulisannya di bidang agama maupun
di bidang filsafat, seperti: Khilafah dan Wilayah dalam al-Quran dan Sunnah;
Wahyu dan Kenabian; ‘Ali, Saksi Risalah; Janji Agama-Agama; Guna dan Keperluan
Agama; Ilmu Ekonomi Islam, dan terutama Tafsir Modern (Tafsir-i Nuvin)-nya.
Akhirnya
mereka tahu betul akan keberaniannya menentang semua anasir yang membekukan dan
membunuh bakat, yang bahkan terdapat di universitas-universitas serta
lingkungan Islam. Mereka menyadari peranannya yang penting dalam mengubah
metode pendekatan terhadap masalah-masalah Islam dan dalam memilih metode
penelitiannya yang tepat di zaman edan ini. Tidak banyak, dewasa ini, bapak dan
anak semacam mereka.
“Ayahku membentuk dimensi-dimensi pertama batinku. Dialah yang mula-mula mengajarku seni berpikir dan seni menjadi manusia. Begitu ibu menyapihku, ayah memberikan kepadaku cita kemerdekaan, mobilitas, kesucian, ketekunan, keikhlasan serta kebebasan batin. Dia-lah yang memperkenalkan aku kepada sahabat-sahabatnya ― ialah buku-bukunya; mereka menjadi sahabat-sahabatku yang tetap dan karib sejak tahun-tahun permulaan sekolahku. Aku tumbuh dan dewasa dalam perpustakannya, yang merupakan keseluruhan hidupnya dan keluarganya. Banyak hal yang sebetulnya baru akan kupelajari kelak bila aku telah dewasa, melalui rangkaian pengalaman yang panjang serta harus kubayar dengan usaha dan perjuangan yang lama, tetapi ayahku telah menurunkannya kepadaku sejak masa kanak-kanak dan remajaku secara mudah dan spontan. Aku dapat mengingat kembali setiap bukunya, bahkan bentuk sampulnya. Teramatlah cintaku akan ruang yang baik dan suci itu; bagiku ia merupakan sari masa lampauku yang manis, indah, tetapi jauh” (Ali Syari’ati, Menjawab Beberapa Soal, hal. 89).
“Ayahku membentuk dimensi-dimensi pertama batinku. Dialah yang mula-mula mengajarku seni berpikir dan seni menjadi manusia. Begitu ibu menyapihku, ayah memberikan kepadaku cita kemerdekaan, mobilitas, kesucian, ketekunan, keikhlasan serta kebebasan batin. Dia-lah yang memperkenalkan aku kepada sahabat-sahabatnya ― ialah buku-bukunya; mereka menjadi sahabat-sahabatku yang tetap dan karib sejak tahun-tahun permulaan sekolahku. Aku tumbuh dan dewasa dalam perpustakannya, yang merupakan keseluruhan hidupnya dan keluarganya. Banyak hal yang sebetulnya baru akan kupelajari kelak bila aku telah dewasa, melalui rangkaian pengalaman yang panjang serta harus kubayar dengan usaha dan perjuangan yang lama, tetapi ayahku telah menurunkannya kepadaku sejak masa kanak-kanak dan remajaku secara mudah dan spontan. Aku dapat mengingat kembali setiap bukunya, bahkan bentuk sampulnya. Teramatlah cintaku akan ruang yang baik dan suci itu; bagiku ia merupakan sari masa lampauku yang manis, indah, tetapi jauh” (Ali Syari’ati, Menjawab Beberapa Soal, hal. 89).
Tetapi
mereka yang genius dan berbakat selalu mematah batas lingkungan dan
menelanjangi zamannya. Seorang genius selalu menganggap kaidah-kaidah yang ada
sekadar sebagai titik-tolak untuk lompatan kreatif ke depan. Tidak pernah ia
membiarkan diri dikungkung dan dikekang oleh lingkungannya. Syari’ati menyadari
benar akan batasan lingkungannya maupun tentang bentuk-bentuk tradisional di
sekitarnya. Namun ia tidak akan menyerah. Bahkan ia telah bertekad untuk
mengatasi semua itu, mengarahkannya sesuai dengan keyakinannya. Dan ia
berhasil. Ia mengajar sambil belajar, dan berkembang secara intelektual dalam
berbagai hal sehingga setiap orang tahu bahwa ia telah melangkah melampaui
batas lingkungan dan zamannya.
Bakat,
lingkungan yang sesuai dan terutama keyakinan akan kebenaran Islam, bergabung
dengan keikhlasan pemikiran dan sikap intelektual dan personal, semua itu telah
dimanfaatkan Syari’ati sebaik-baiknya demi cita-citanya yang luhur. Berikut
adalah catatannya tentang lingkungan dan pendidikannya.
“Alangkah
besar berkas yang dikurniakan dalam hidupku. Tidak mungkin aku menilainya.
Tidak seorang pun yang seberuntungku dalam hidup ini. Nasib telah mempertemukan
aku dengan pribadi, pribadi yang luar-biasa, besar, indah, bersemangat serta
kreatif, rasanya mereka berada dalam diriku. Bahkan sekarang pun bisa kuhayati
kehadiran mereka di dalam diriku, dan aku hidup melalui mereka dan dalam
mereka...(Kavir, hal. 88)
Sebagaimana halnya dengan pribadi-pribadi besar yang pernah menjadi gurunya, maupun orang lain yang telah menggairahkan zikir dan jihad kepadanya, begitu juga berbagai aspek ajaran Islam yang menjadi sumber inspirasi dan cita-citanya, hidupnya selalu dalam keadaan tafakkur, bergerak dan tanggung-jawab, berjuang demi kesempurnaan dan keabadian. Namun hidupnya tidak pernah merusak hubungannya dengan lingkungannya semula maupun keluarganya dan tidak pernah ia melupakan gurun Kavir. Setiap kali orang menyebut Mazinan memancarkan senyum bahagia pada wajahnya.
Sebagaimana halnya dengan pribadi-pribadi besar yang pernah menjadi gurunya, maupun orang lain yang telah menggairahkan zikir dan jihad kepadanya, begitu juga berbagai aspek ajaran Islam yang menjadi sumber inspirasi dan cita-citanya, hidupnya selalu dalam keadaan tafakkur, bergerak dan tanggung-jawab, berjuang demi kesempurnaan dan keabadian. Namun hidupnya tidak pernah merusak hubungannya dengan lingkungannya semula maupun keluarganya dan tidak pernah ia melupakan gurun Kavir. Setiap kali orang menyebut Mazinan memancarkan senyum bahagia pada wajahnya.
Masa
kanak-kanak dan remajanya biasa saja, tidak berbeda dengan siswa lainnya. Ia
sekolah, turut ujian, setiap tahun naik kelas, mula-mula di sekolah dasar lalu
di sekolah lanjutan. Sementara itu ia pun sibuk belajar bahasa Arab dan
ilmu-ilmu agama. Setamat sekolah lanjutan atas, karena senang akan profesi
guru, ia masuk ke sekolah keguruan yang waktu itu merupakan lembaga yang harum
dan penting, mempersiapkan mereka, yang karena suatu dan lain hal tidak bisa
masuk ke universitas, untuk menjadi guru. Waktu itulah ia memulai kariernya
sebagai penulis dengan karya-karyanya antara lain Pendidikan Tengah (Maktab-e
Wasita), mengenai filsafat sejarah. Ia pun menyampaikan ceramah-ceramah di
hadapan para mahasiswa dan intelektual di Pusat Dakwah Islam di Masyhad.
Yang
terutama membentuk dan mempengaruhi jalan pikirannya bukanlah program studinya
yang konvensional. Juga bukan pendidikan tingginya di luar negeri. Melainkan
kegemarannya untuk belajar dan berpikir, serta kreativitas dan tanggung-jawab
yang berasal dari keyakinan Islamnya yang teguh. Begitu pun dari lingkungan
pertamanya, yang senantiasa menjadi sumber petunjuk baginya. Pusat Dakwah Islam
di Masyhad, yang selama tigapuluh tahun menjadi pusat kegiatan intelektual
Muslim di kota itu, banyak berjasa kepadanya. Sebaliknya ia pun berperanan
besar dalam kegiatan-kegiatan pusat dakwah itu dengan memberikan
ceramah-ceramah, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan memimpin
pertemuan-pertemuan.
Sejak
dari mula, ia sangat gemar menulis dan memberi ceramah sebagai sarana
pengembangan intelektual dan pendalaman iman. Apalagi ia memang memiliki
kelancaran lisan dan ketajaman tulisan. Dengan bahasa-bahasa Prancis dan
Arabnya, bahkan sejak sebelum ia masuk universitas, ia telah mampu
menerjemahkan buku-buku dari bahasa-bahasa itu. Buku terjemahannya tentang Abu
Dzarr al-Ghaffari dari bahasa Arab, dan sebuah buku tentang doa dari bahasa
Prancis ― keduanya merupakan kenang-kenangan masa pra-universitasnya ―
membuktikan keluasan pikiran dan ruang lingkup usahanya di masa itu. Lagi pula,
kata pengantarnya yang jelas, lancar pada kedua terjemahan itu, menunjukkan
arah dan kejernihan pemikiran ilmiahnya.
Dalam
pandangannya, Islam bisa dianggap sebagai aliran tengah di antara berbagai
aliran filsafat, sebagai jembatan antara sosialisme dan kapitalisme. Islam
mencakup kebaikan dan segi-segi positif aliran-aliran pikiran lain dan
sebaliknya menghindarkan segi-segi negatifnya.
Namun, ia sangat menaruh perhatian pada gerakan-gerakan ideologis dan anti imperialis yang ketika itu sedang melanda dunia Islam, dari Afrika Utara hingga Indonesia, serta mengisyaratkan aksi yang Luas menyeluruh. Terjemahannya tentang Abu Dzarr maupun tentang doa yang kecil tetapi bernas itu, keduanya merupakan hasil karya remajanya, telah menariknya kepada sumber-sumber Islam yang murni lagi suci serta merupakan tafsir sosialnya yang pertama tentang kehidupan Rasul maupun tokoh-tokoh Islam lainnya. Jelas sekali pengaruh Rasul serta tokoh-tokoh tersebut atas pribadi Syari’ati.
Namun, ia sangat menaruh perhatian pada gerakan-gerakan ideologis dan anti imperialis yang ketika itu sedang melanda dunia Islam, dari Afrika Utara hingga Indonesia, serta mengisyaratkan aksi yang Luas menyeluruh. Terjemahannya tentang Abu Dzarr maupun tentang doa yang kecil tetapi bernas itu, keduanya merupakan hasil karya remajanya, telah menariknya kepada sumber-sumber Islam yang murni lagi suci serta merupakan tafsir sosialnya yang pertama tentang kehidupan Rasul maupun tokoh-tokoh Islam lainnya. Jelas sekali pengaruh Rasul serta tokoh-tokoh tersebut atas pribadi Syari’ati.
Pada
tahun 1956, Fakultas Sastra didirikan di Masyhad, dan Syari’ati bisa meneruskan
studinya sambil bekerja sebagai guru, ia termasuk mahasiswa pertama yang
terdaftar di fakultas itu. Di sini benturan-benturan pendapat dengan
guru-gurunya semakin mendorongnya untuk lebih memperkembangkan jalan pikiran
pilihannya sendiri. Di kelas maupun dalam kuliah yang dihadirinya ia selalu
berperan aktif, tidak pernah tinggal pasif sebagaimana kebanyakan mahasiswa.
Kesempatannya yang baru ini, untuk belajar, merenung, meneliti dan diskusi, ternyata
telah menumbuhkan minatnya dalam sejarah agama, sejarah Islam dan filsafat
sejarah. Ia mempertanyakan pelbagai hal, terutama tentang filsafat sejarah
Toynbee, yang banyak ditentangnya.
Kebebasan
pikir dan keyakinannya terbukti dari tekadnya membela kebenaran dan keadilan
serta perhatiannya yang khusus atas peristiwa-peristiwa keagamaan, sosial
maupun politik yang menyangkut nasib rakyat. Meskipun di kala itu suasana bisu
mencekam di mana-mana, namun tanpa gentar ia melibatkan diri dalam pertarungan
dan pertentangan sosial, dalam perjuangan antara hak dan batal. Karena
pidato-pidato, tulisan-tulisan serta kegiatan-kegiatan perlawanannya, maka
pemerintah mengawasinya.
Tidak
pernah ia bisa tinggal diam serta menerima keseimbangan negatif yang sudah
mapan dalam masyarakat. Secara serentak ia berjuang menghadapi dua front. Ia
menentang kelompok tradisionalis ekstrem yang telah membungkus diri mereka
sendiri, memisahkan Islam dari masyarakat, mengucilkan diri di sudut-sudut
masjid dan madrasah serta melancarkan reaksi negatif terhadap gerakan
intelektual dalam masyarakat. Mereka telah menyelubungi cahaya Islam dengan
tabir gelap dan berkurung diri di dalamnya. Ia pun menentang kelompok
intelektual tanpa akar dan prakarsa yang berlindung di belakang skolastisisme
baru. Kedua kelompok itu telah memutuskan hubungan mereka dengan masyarakat dan
massa rakyat. Kepala mereka tunduk pada korupsi dan dekadensi zaman modern.
Sumber Bahasa Indonesia: Ali Syari’ati, Paradigma Kaum
Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah Saifullah Mahyudin
dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda Muharram 1422/April 2001.