Ada orang beragama “karena
menerima agamanya” sebab warisan keluarga & tradisi. Ada orang beragama
‘yang menganut agamanya’ karena pergulatan intelektual & penjelajahan, dan
ada yang karena keduanya.
Saya beragama karena
warisan keluarga & tradisi, tapi kemudian ‘menetapkan’ keyakinan saya
berdasarkan pergulatan intelektual & pembacaan yang mandiri dan memilih
berdasarkan kajian rasional dan tradisi warisan. Dan salah-satu yang membuka
pikiran saya adalah sejarah. Salah-satu contohnya masalah Syi’ah & Sunni.
Ikhtiar pembacaan dan
pergulatan intelektual tersebut akan menciptakan mental orang dewasa dan
bersikap ilmiah. Di sini, saya ingin bercerita tentang masalah hadits dan
politik firqoh, contohnya.
Pada masa khalifah Al-Mutawakkil
sedang memuncak periwayatan hadis, tetapi sangat sulit dikenali mana yang asli
dan mana yang palsu. Tatkala Al-Mutawakil (847-864) berkuasa, ia melihat bahwa
posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas.
Sementara itu, setelah
peristiwa mihnah terjadi, mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan
Ibn Hanbal, dan karenanya Al-Mutawakil membatalkan paham Mu’tazilah sebagai
paham negara dan menggantinya dengan paham Asy’ariyah (Sunni).
Pada saat itulah teologi
Asy’ariyah (Sunni) mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Pertanyaannya adalah:
“Kenapa Syi’ah menerima sebagian hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (yang
notabene tidak sesuai dengan keyakinan mereka) dan menolak sebagian lainnya?”
Dalam hal demikian, secara umum, meski pahit harus dikatakan bahwa pemikiran
kelompok Asy’ariyah (Sunni) menekankan pada ketaatan (kompromi) terhadap
khalifah yang sedang berkuasa.
Dalam proses
pembentukannya, ideologi-teologis Asy’ariyah (Sunni) ternyata tidak dapat
dilepaskan dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya ketegangan-ketegangan
dengan golongan lain untuk memperoleh pengakuan dari penguasa. Dalam masa
formal ideologi Sunni tersebut, misalnya, telah terjadi polemik intelektual
antara As-Syafi’i dengan ulama-ulama Khawarij dan Mu’tazilah, dan perebutan mencari
pengaruh politik dari para khalifah yang sedang berkuasa.
Dalam hal ini, diperlukan
waktu hampir beberapa abad untuk sampai pada proses terbentuknya pemikiran
politik Ahlus Sunnah Wal Jamaah tersebut, terhitung sejak mulai
diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi’in sampai pada
pengukuhannya dalam Risalah Al-Qadiriyyah.
Singkat kata, Istilah ini
(Ahl al Sunnah wa al Jama’ah) awalnya merupakan nama bagi aliran teologis
Asy’ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu’tazilah
yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Atha’ pada tahun 100 H/ 718 M dan
mencapai puncaknya pada masa khalifah ‘Abbasiyah, yaitu Al-Ma’mun (813-833 M),
Al-Mu’tasim (833-842 M) dan Al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh ini semakin kuat
ketika paham Mu’tazilah dijadikan sebagai madzab resmi yang dianut negara pada
masa Al-Ma’mun.
Sayangnya (untuk tidak
dikatakan sebagai terjadinya kontaminasi-politis yang buruk), pada masa
khalifah Al-Mutawakkil negara berakidah Ahlul Hadits. Paham ini didukung negara
sehingga hadits-hadits Sunni kemudian menjadi mudah diintervensi dengan
penambahan-penambahan yang dilakukan ulama-ulama pelayan keinginan selera
penguasa kerajaan. Yang menjadi ironi adalah bahwa Ahlul Hadits hanya memakai
hadits tanpa rasio (tanpa hujjah ‘aqliyyah), padahal hadits-hadits yang ada
tidak ada jaminan 100% akurat dari Nabi SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar