Setelah para pemuda dan
para pengikutnya menjadi para syuhada, Imam Husain as akhirnya mempersiapkan
diri untuk mengorbankan jiwa dan raganya. Demi penuntasan hujjah untuk terakhir
kalinya, beliau berkali-kali meneriakkan pertanyaan: “Adakah seseorang yang
akan melindungi kehormatan Rasulullah dari bencana ini? “Adakah orang bertauhid
yang takut kepada Allah berkenaan dengan kami? Adakah orang yang akan menolong
permohonan kami demi keridhaan Allah?” [1]
Teriakan Imam Husain as ini mengundang jerit tangis kaum wanita yang masih
harus beliau lindungi.
Beliau berteriak lagi:
“Adakah orang yang menyisakan rasa belas kasih? Adakah seorang penolong?” Ali
Zainal Abidin as Sajjad as, putera beliau satu-satunya yang sedang sakit keras
dan tak berdaya untuk maju ke medan laga berusaha bangkit dari pembaringannya
dan berteriak: “Aku siap. Aku akan mengorbankan jiwa.”
Dengan tubuhnya yang lemas
Ali as Sajjad itu berusaha meraih pedang, namun lempengan besi tajam itu masih
sangat berat untuk tubuhnya yang nyaris tanpa tenaga itu. Pemuda ini lantas
meraih tombak, satu-satunya senjata yang baginya justru lebih menyerupai untuk
menyanggah tubuhnya yang lunglai itu. Dengan sisa-sisa tenaga ia mencoba
beranjak menuju gerombolan musuh. Namun Imam Husain as tidak membiarkannya
berperang dalam kondisi seperti itu. Beliau memerintahkan Ummu Kaltsum untuk
mencegahnya, namun Assajjad menolak. “Biarkan aku yang akan menolongnya.” Pinta
As-Sajjad.
Imam Husain as akhirnya
turun tangan sendiri untuk mencegah dan membawanya kembali ke pembaringan lalu
berkata: “Tenanglah puteraku. Tetaplah kamu di sini. Biarkan aku sendiri yang
akan menghadapi pedang, sedangkan kamu cukuplah menanti belenggu. Puteraku,
kamu harus kembali ke kampung halaman di Madinah. Sampaikan salamku untuk
pusara kakekku, ibuku, dan saudaraku. Sampaikan salamku kepada saudarimu,
Fatimah. Sampaikan salamku kepada para pengikut kita dan katakan kepada mereka,
ayahku berkata; ‘Aku berharap kepada kalian untuk mengingat bibirku yang kering
kehausan jika kalian hendak meneguk air, dan menangislah kalian dan jangan
kalian lupakan keterasingan dan syahadahku saat kalian bicara tentang
keterasingan seorang syahid.”
Di saat-saat terakhir itu,
Imam Husain as mendatangi tenda-tenda satu per-satu. Beliau panggil satu
per-satu anak-anak beliau. Beliau meminta mereka untuk tabah dan sabar. “Hai
para pelipur hatiku sekalian,” tutur Imam Husain as penuh harap, “Allah tidak
akan berpisah dengan kalian di dunia dan akhirat. Ketahuilah dunia ini tidaklah
abadi. Akhirat-lah tempat pesinggahan yang abadi.” Imam Husain as kemudian
menumpahkan segala rahasia kepemimpinan (imamah) kepada putera yang kelak
mewarisi kepemimpinannya, Ali Zainal Abidin Assajjad as.
Imam Husain as antara lain
berkata: “Pusaka-pusaka para nabi, washi, dan kitab suci aku serahkan kepada
Ummu Salamah, dan semuanya akan diserahkan (kepadamu) sepulangmu dari Karbala.”
Imam Husain as lalu
mendekati adiknya, Zainab al Kubra as dan meminta supaya diambilkan gamisnya
yang sudah lama dan usang. Dengan wajahnya yang dipenuhi sketsa penderitaan dan
duka cita itu, Hazrat Zainab mencarikannya kemudian menyerahkannya kepada Imam.
Beliau mengenakannya setelah sebagian beliau sobek kemudian diikatkan kuat-kuat
sebagai tali yang mengikat gamis itu dengan tubuhnya agar tak mudah lepas atau
dibuka oleh orang lain. Gerakan Sang Imam yang diiringi oleh ratapan dan
tangisan anggota kerabat yang ada di sekitarnya, seiring dengan jerit tangis
bayi mungil Ali Asghar, putera beliau yang masih berusia enam bulan. Bayi itu
menjerit-jerit menahan dahaga setelah sekian lama tidak mendapatkan tetesan air
susu dari ibunya yang juga sudah lama tercekik kehausan.
Tak tega mendengar
tangisan itu, Imam meminta puteranya yang masih bayi itu supaya diberikan
kepada beliau. Bayi itu diserahkan kepada beliau oleh seorang wanita bernama
Qandaqah. Beliau meraih bayi itu lalu menciuminya sambil berucap: “Alangkah
celakanya kaum ini sejak mereka dimusuhi oleh kakekmu.” Bayi bernama Ali Asghar
itu beliau bawa ke depan barisan pasukan musuh dan memperlihatkannya kepada
mereka untuk menguji adakah mereka masih menyisakan jiwa dan perasaan mereka
sebagai manusia. Beliau berucap kepada Allah: “Ya Allah, hanya inilah yang
tertinggal dariku, dan jiwanyapun rela aku korbankan di jalan-Mu”
Beliau lalu menatap ke
wajah-wajah manusia durjana di depannya itu. Bayi berusia enam bulan beliau
junjung sambil berseru: “Hai para pengikut keluarga Abu Sufyan, jika kalian
menganggapku sebagai pendosa, lantas dosa apakah yang diperbuat oleh bayi ini
sehingga setetes air pun tidak kalian berikan untuknya yang sedang mengerang
kehausan.”
Sungguh biadab, tak
seorangpun di antara manusia durjana itu yang tersentuh oleh kata-kata beliau.
Yang terjadi justru keganasan yang tak mengenal sama sekali rasa kasih sayang
dan norma insaniah. Seorang berhati serigala bernama Harmalah bin Kahil
Al-Asadi diam-diam mencantumkan pangkal anak panahnya ke tali busur lalu
menariknya kuat-kuat. Tanpa ada komando, benda yang ujungnya runcing melesat ke
arah bayi Ali Asghar. Sepecahan detik kemudian bayi malang itu menggelepar di
atas telapak Imam Husain as yang tak menduga akan mendapat serangan sesadis itu
sehingga tak sempat berkelit atau melindunginya dengan cara apapun. Beliau tak
dapat berbuat sesuatu hingga bayi itu diam tak berkutik setelah anak panah itu
menembus lehernya.
Ali Akbar telah menemui
ajalnya dalam kondisi yang mengenaskan. Darah segar mengucur dari lehernya
hingga menggenangi telapak tangan ayahnya. Dengan demikian, lengkaplah
penderitaan Imam Husain as.
Dengan hati yang
tersayat-sayat, beliau melangkah kembali ke arah perkemahan. Beliau menggali
lubang kecil untuk tempat persemayaman jasad suci Ali Asghar. Dari langit
beliau mendengar suara bergema: “Biarkanlah dia gugur, wahai Husain,
sesungguhnya di surga sudah menanti orang yang akan menyusuinya.”[2] Imam menghampiri perkemahannya untuk
mengucapkan kalimat perpisahan terakhir. Dalam hal ini kepada puteranya yang
sedang sakit, As-Sajjad as, beliau bertutur: “Puteraku, sampaikan salamku
kepada para pengikutku. Katakanlah kepada mereka sesungguhnya ayahku telah
gugur seorang diri, maka ratapilah dia.”[3]
CATATAN
[1] Qiyam Salar-e Syahidaan halaman 225
[2] Anwar Assyahadah halaman 165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar