Oleh Sulaiman
Djaya (1999), untuk tugas Mata Kuliah Sosiologi Agama pada Jurusan
Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah
Dalam The Sacred and the Profane (1967), Mircea Eliade menjelaskan
bahwa seorang sejarahwan harus keluar dari lanskap peradaban modern-nya ketika
mereka hendak mencari penjelasan suatu kelompok kecil manusia dan ketika mereka
hendak “memasuki” suatu lanskap manusia arkhaik (purba).
Sementara itu, terkait dengan studi agama secara umum, Eliade
menyatakan bahwa suatu fenomena agama hanya akan dianggap demikian jika ia
“dipegang” menurut tingkatannya sendiri.
Dalam hal ini, sesungguhnya, suatu ikhtiar untuk menangkap
esensi dari fenomena agama dengan sejumlah instrumen, semisal fisiologis,
psikologis, sosiologi, ekonomi, bahasa, atau bahkan seni, acapkali malah jatuh
dalam reduksi dan kekerasan perspektif itu sendiri.
Dengan pandangannya itu, Eliade tentu saja bertolak-belakang
dengan Emile Durkheim (sosiolog yang menulis pandangan dan penelitian agamanya
dalam The Elementary Forms of Religious Life), contohnya,
terkait mana yang sakral dan mana yang profan.
Bagi Durkheim, yang sakral adalah yang sosial, yang memiliki
arti bagi klan atau suatu komunitas masyarakat (purba), sedangkan yang profan
adalah yang sebaliknya, yaitu yang hanya memiliki arti bagi individu.
Lebih lanjut Durkheim pun memandang bahwa simbol dan ritual yang
sakral tampak berbicara tentang yang supernatural, namun baginya itu hanya
penampakan luar. Tujuan simbol, demikian menurut Durkheim, adalah sekadar untuk
membuat sadar orang akan “tugas sosial” mereka, misalnya dengan menyimbolkan
klan sebagai dewa atau totem mereka.
Sebaliknya, menurut Eliade, perhatian pada studi agama adalah
dengan yang supernatural –yang jelas dan yang sederhana, yang berpusat pada
yang sakral (di dalam dan pada diri yang sakral itu sendiri), dan bukan tentang
yang sakral yang hanya sebagai cara untuk menggambarkan atau pun
merepresentasikan yang sosial.
Maka teranglah bagi kita, pandangan Eliade lebih dekat kepada
Taylor, Rudolf Otto, dan Frazer, yang etnologis dan antropologis, yang
menggambarkan agama pertama-tama dan terutama sebagai kepercayaan kepada
wilayah dari yang supernatural, dan bertabrakan dengan pandangan Durkheim yang
sosiologis yang mereduksi agama hanya sebagai fungsi sosial semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar