Tarikh ini dicatat dalam catatan-catatan lintas mazhab, utamanya dalam
Syi’ah dan Sunni, baik dari kalangan muhaddits hingga para sejarawan yang
semasa atau yang hidup di jaman berikutnya. Memang, ada satu kejanggalan,
ketika mayoritas ummat Islam barangkali tidak pernah bertanya ‘di mana gerangan
makam Fatimah Azzahra as?’ Tetapi, marilah kita mulai saja bahasan ini.
Sebuah rombongan (kafilah) kecil yang terdiri dari orang-orang yang setia
dan patuh pada Rasulullah tampak berjalan gontai. Segukan tangis lirih yang
terasa mengiris-iris hati yang pilu terdengar dari mereka. Wajah-wajah mereka
lusuh tertunduk tersembunyi dalam tutup-tutup kepala yang jatuh menaungi
kepala-kepala mereka.
Rombongan (kafilah takziah) itu berjalan tanpa mengeluarkan bunyi berarti
ke sebuah tempat sunyi yang khusus untuk menguburkan salah seorang manusia suci
yang mereka cintai. Mereka berjalan dalam kegelapan malam pada bulan Jumadil
Tsani, hari ketiga di tahun 11 Hijriah. Rombongan itu menyusuri jalan-jalan
kota Madinah. Terasa segar dalam ingatan, baru beberapa lama lewat mereka
melakukan hal yang sama untuk manusia suci lainnya, Muhammad Al-Mustafa.
Sekarang giliran puterinya yang tercinta, Fatimah Az-Zahra (as).
Dalam rombongan itu ada anak-anak dengan ayah mereka beserta teman-teman
dekat dari sang ayah. Mereka semua berjalan dalam kebisuan dan kesabaran. Pada
wajah-wajah mereka tampak kepasrahan dan keridhoan akan apa yang telah menimpa
mereka selama beberapa hari ini. Akan tetapi meskipun begitu, sesekali masih
terdengar tangis yang tertahan di tenggorokan, meski air mata yang mengucur
deras dengan tangisan yang lirih sekali hampir tak terdengar, seakan ingin
menyembunyikan kepedihan yang telah menimpa mereka agar tidak ada orang yang
mendengar mereka di kegelapan malam, karena memang mereka tidak ingin
seorangpun tahu di kota Madinah itu bahwa mereka sedang melakukan sebuah
perbuatan yang akan direkam baik oleh sejarah.
Seorang ayah yang tadi disebutkan di atas ialah Imam Ali (as), sementara
anak-anak yang turut bersamanya ialah putera-puterinya. Ada Imam Hasan (as) di
sana, ada Imam Husain (as), ada Zainab, dan ada Umm Kultsum yang berjalan
gontai dalam kebisuan di belakang ayahnya. Bersama mereka ada para sahabat
pilihan yang sangat setia kepada Nabi saw, baik ketika Nabi masih hidup atau
ketika sudah wafat. Mereka adalah Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad
al-Aswad, dan Salman Al-Farisi.
Ketika setiap mata dari penduduk Madinah tertutup, ketika tak ada suara
sedikitpun dari mereka, rombongan surga itu meninggalkan rumah Imam Ali (as)
membawa usungan tandu berisi jenazah suci dari puteri sang Nabi, Fatimah
Az-Zahra (sa). Anak-anaknya sekarang mengantar jenazah ibunya itu ke sebuah
pemakaman yang sunyi yang sudah ditentukan. Akan tetapi di manakah ribuan
penduduk kota Madinah yang seharusnya ada di tempat?
Ketika iringan pengantar jenazah puteri Nabi itu lewat, mengapa tak
seorangpun dari mereka datang melawat? Mengapa pemakamannya dilangsungkan pada
saat dianggap sangat tidak tepat? Mengapa pemakaman itu harus dilangsungkan di kegelapan malam yang
pekat?
Sayyidah Fatimah Az-Zahra (sa) memang merencanakan itu semua sebelum
wafatnya, dan telah memberi wasiat kepada Imam Ali bin Abi Thalib as agar para
penduduk kota Madinah itu tidak datang ke pemakamannya. Ia ingin dikuburkan
pada malam hari dan ingin agar kuburannya disembunyikan dari pengetahuan
penduduk kota Madinah.
Ada kesunyian dan keheningan yang mencekam di sana, namun tiba-tiba
terdengar tangisan agak keras dan parau memecah kesunyian tersebut. Tangisan
itu datang dari pahlawan padang pasir yang musuh manapun pasti akan ngeri dan
menyingkir saat berhadapan dengannya. Tapi tangisan itu tiba-tiba terdengar
lebih keras seakan ingin menuntaskan rasa penasaran, setelah sebelumnya
berusaha ditahan sekuat tenaga dan perasaan.
Sang pahlawan itu berkata dalam tangisannya: “Ya, Rasulullah!
Salam bagimu, wahai kekasihku. Salam dariku dan dari puterimu yang sekarang ini
akan datang kepadamu dan ia sangat bergegas meninggalkanku untuk sampai
kepadamu. Ya, Rasulullah, rasa luluh lantak terasa pada diriku dan rasa lemah
tak berdaya telah menggerogoti diriku. Itu tak lain karena engkau dan puterimu
telah meninggalkanku. Tapi aku sadar semua ini milik Allah dan
kepadaNyalah segala sesuatu itu kembali (Al-Qur’an Surah Albaqarah [2] Ayat
156).
Semua yang telah dititipkan itu akan diambil kembali. Semua yang pernah
kita miliki itu akan diambil lagi oleh pemiliknya yang sejati. Sementara itu,
kepedihan dan kesedihan Imam Ali sang washinya Muhammad saw itu, tetap
bersemayam dalam dirinya, baik siang maupun malam.
Tak ada batasan yang jelas bagi Imam Ali kapan ia bersedih dan kapan ia
terbebas dari kesedihannya itu. Kepergian dua orang yang dicintainya sangat
mengguncang dirinya. Perasaan itu akan tetap pada dirinya hingga dirinya nanti
bertemu lagi dengan yang dicintainya, yaitu pada hari dimana ia dipanggil oleh
Allah untuk menghadapNya.
Imam Ali kembali mengadu kepada Rasulullah dalam rintihan yang lirih: ”Ya,
Rasulullah, puterimu pastilah akan mengadukan kejadian yang sedang menimpa umat
ini. Puterimu ingin umat ini bersatu kembali. Puterimu ingin agar engkau datang
kembali agar bisa mempersatukan umat yang sudah bercerai berai ini. Dan engkau
nanti akan bertanya padanya secara rinci. Engkau akan bertanya mengapa umat ini
menentang keluarga Nabi. Mengapa mereka mengkhianati apa-apa yang telah
ditentukan oleh Nabi. Dan mengapa mereka melakukan hal ini, padahal kematianmu
itu baru saja terjadi dan umat masih merasakan kejadian ini! Salam
untuk kalian berdua! Salam perpisahan dariku yang sedang berduka bukan dariku
yang telah tak suka kepada kalian berdua. Kalau aku pergi dari pusara kalian,
itu bukan karena aku merasa bosan kepada kalian. Dan kalau aku berlama-lama di
pusara kalian, itu bukan karena aku tak lagi percaya dengan kuasa Tuhan dan apa
yang telah Tuhan janjikan kepada orang-orang yang tengah ditimpa kepedihan.”
Setelah menguburkan Fatimah Az-Zahra (as), rombongan berisi keluaga dekat
Nabi dan para sahabat pilihannya itu pun segera bergegas kembali ke rumahnya
masing- masing, sehingga tidak ada satu orangpun di kota Madinah yang tahu di
mana Fatimah Azzahra as dikuburkan (dimakamkan).
Sesampainya mereka di rumah, anak-anak dengan segera sadar bahwa mereka
telah ditinggalkan oleh ibunya. Mereka merasakan kesepian yang mencekik. Imam
Ali segera menghibur mereka supaya kesedihan tak terlalu larut membawa pikiran
mereka. Akan tetapi memang pada kenyataannya hal itu tidak mudah dilakukan.
Imam Ali mencoba menenangkan diri mereka dan kemudian ia sendiri masuk ke dalam
kamar dan kemudian larut dalam tangisan yang sendu. Sang pahlawan Badar, Uhud,
Khaybar, Khandaq dan beberapa perang lainnya itu merasakan kelelahan yang luar
biasa dalam menahan kepedihan dan akhirnya ia lampiaskan dalam tangisan.
Tangisan karena rasa cinta dan kehilangan, bukan tangisan manja dan penuh
keputus-asaan.
Mereka semua telah melalui serangkaian kejadian yang menyesakkan
sepeninggal Rasulullah. Pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah yang hak dan
yang sesungguhnya, pemimpin dalam agama dan masyarakat atau pemimpin ummat
sebagai Imam sekaligus pemegang hak kekhalifahan yang dicuri saat beliau dan
keluarganya sedang memakamkan Rasulullah, dan washi (sebagai pengemban
wasiatnya) Muhammad saw di Ghadir Khum telah dilupakan secara sengaja oleh
banyak orang, ketika sebagian sahabat tergiur kekuasaan untuk menjadi khalifah.
Tanah Fadak warisan Rasulullah pun sudah dirampas semasa Abu Bakar
berkuasa. Rumah mereka telah diserang oleh para utusan khalifah pertama demi
memaksakan bai’at bagi ke-Khalifahan Abu Bakar. Pintu rumah keluarga Nabi yang
dibakar itu pun menimpa Fatimah Az-Zahra as —pintu itu mematahkan beberapa
tulang iganya dan menggugurkan kandungannya. Isteri sang Imam harus terbaring
sakit di ranjangnya selama beberapa hari setelah itu, terbaring sendirian dan
terisolasi dari dunia luar dan kemudian meninggal dalam kepedihan yang
menyesakkan!
Malam hari itu, setiap anak terpaksa saling menghibur untuk meredakan
kesedihan mereka. Mereka berkumpul dalam satu kamar dan tidur kelelahan,
sungguh memang hari-hari yang berat akan masih menyambangi mereka satu demi
satu. Sementara itu Bunda Fatimah Az-Zahra as menyaksikan mereka dengan wajah
sendu.
MENGAPA MAKAM FATIMAH AZZAHRA DIRAHASIAKAN?
Hingga detik ini, tidak ada seorang pun yang tahu persis di manakah makam
(kuburan) Sayyidah Fatimah Azzahra (as), yang kepadanya Rasulullah selalu
memberikan pernghormatan yang penuh takzim. Rasulullah selalu senantiasa
berdiri menyambut apabila Fatimah Az-Zahra as datang menjenguk. Rasulullah
seringkali berkata (yang acapkali didengar langsung oleh sejumlah para sahabat
dan kaum muslim): “Fatimah itu adalah bagian dari diriku. Siapapun yang
menyakiti diri Fatimah akan berarti menyakiti diriku.”
Sejarah telah mencatat bahwa Fatimah dikuburkan di sekitar Jannat al-Baqi
di Madinah, akan tetapi tidak ada seorangpun yang tahu tempat persisnya. Tak
ada seorangpun yang bisa menunjukkan dengan pasti di mana makam dari puteri
Nabi yang suci itu.
SEJARAH PERSELISIHAN ANTARA FATIMAH AZ ZAHRA DAN ABU BAKAR
Masalah ini juga telah disepakati kebenarannya oleh dua mazhab, Sunni dan
Syi'ah. Orang yang insaf dan berakal tidak akan dapat lari kecuali harus
mengatakan bahwa Abu Bakar berada pada posisi yang keliru dalam perselisihannya
dengan Fatimah Az-Zahra as, dan ia tidak bisa menolak fakta bahwa Abu Bakar
pernah menzalimi Penghulu Wanita Alam semesta ini.
Mereka yang menelaah sejarah ini dan mengetahui seluk-beluknya secara rinci
akan tahu pasti bahwa Abu Bakar pernah mengganggu Fatimah Az-Zahra as dan
mendustakannya secara sengaja, agar Fatimah Az-Zahra as tidak mempunyai alasan
untuk berhujjah dengan nash-nash Al-Ghadir dan nash-nash lainnya akan keabsahan
hak khilafah suaminya dan putra-pamannya, yakni Imam Ali bin Abi Thalib as.
Diantaranya adalah, seperti dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Fatimah
Az-Zahra (semoga Allah melimpahkan padanya kesejahteraan) pernah keluar
mendatangi tempat-tempat pertemuan kaum Anshar dan minta mereka membantu dan
membai'at Imam Ali. Mereka menjawab: "Wahai putri Rasulullah, kami telah
berikan bai'at kami pada orang ini (Abu Bakar). Seandainya suamimu dan putra
pamanmu mendahului Abu Bakar, niscaya kami tidak akan berpaling darinya."
Kala itu Imam Ali berkata: "Apakah aku harus tinggalkan Nabi di
rumahnya dan tidak kuurus jenazahnya, lalu keluar berdebat tentang kepemimpinan
ini?" Fatimah Az-Zahra as pun menyahut, "Abul Hasan telah
melakukan apa yang sepatutnya beliau lakukan, sementara mereka telah melakukan
sesuatu yang hanya Allah sajalah akan menjadi Penghisab dan Penuntutnya."[1]
Seandainya Abu Bakar memang berniat baik dan keliru,
maka kata-kata Fatimah Az-Zahra as telah cukup untuk menyadarkannya. Tetapi
Fatimah az-Zahra as masih tetap marah padanya dan tidak berbicara dengannya
sampai beliau wafat.
Karena Abu Bakar telah menolak setiap tuntutan Fatimah Az-Zahra as dan
tidak menerima kesaksiannya, bahkan kesaksian suaminya sekalipun, akhirnya
Fatimah Az-Zahra as pun murka pada Abu Bakar, sampai beliau tidak
mengizinkannya hadir dalam pemakaman jenazahnya, seperti yang beliau wasiatkan
pada suaminya, Imam Ali. Fatimah Az-Zahra as juga berwasiat agar jasadnya
dikuburkan secara rahasia di malam hari tanpa boleh diketahui oleh mereka yang
menentangnya.[2]
Alhasil, Fatimah Az-Zahra as sebenarnya ingin melaporkan kepada generasi
muslimin berikutnya tentang tragedi yang disaksikannya pada zamannya, agar
mereka bertanya-tanya kenapa Fatimah Az-Zahra as sampai memohon pada suaminya
agar dikebumikan di malam hari secara sembunyi dan tidak dihadiri oleh siapa
pun. Hal ini juga memungkinkan seorang muslim untuk sampai pada sebuah
kebenaran lewat telaah-telaahnya yang intensif dalam bidang sejarah .
Dalam konteks ini Ibnu Abbas mendendangkan syairnya kepada Aisyah: Kau
tunggangi onta[3] Kau tunggangi baghal[4] Kalau
kau terus hidup, kau akan tunggangi gajah. Sahammu kesembilan dari
seperdelapan, tapi telah kau ambil semuanya. Ini adalah contoh dari
rangkaian fakta yang sungguh mengherankan. Bagaimana Aisyah mewarisi semua
rumah Nabi saw sementara istri-istri beliau berjumlah sembilan, seperti yang
diungkapkan oleh Ibnu Abbas di atas?
Apabila Nabi tidak meninggalkan harta waris seperti yang disaksikan oleh
Abu Bakar (yang memang keliru) dan karenanya dia melarangnya dari Fatimah
Az-Zahra as, lalu bagaimana Aisyah dapat mewarisi pusaka Nabi? Apakah ada dalam
Al-Quran suatu ayat yang memberikan hak waris pada isteri tapi melarangnya dari
anak perempuan? Ataukah politik yang telah merubah segala sesuatu sehingga anak
perempuan diharamkan dari menerima segala sesuatu dan si isteri diberi segala
sesuatu?
Catatan:
[1] Tarikh al-Khulafa jil. 1 hal.19; Syarh Nahjul Balaghah oleh Ibnu
Abil Hadid al Mu’tazili.
[2] Shahih Bukhori jil.3 hal. 36; Shahih Muslim jil. 2 hal. 72.
[3] Mengimbas peperangan Jamal ketika beliau menunggangi onta.
[4] Mengimbas ketika beliau menunggangi baghal dalam usaha
menghalangi Imam Hasan as dari dikuburkan dekat pusara datuknya.