Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi –yang
bergelar “ Sadr al-Din “ dan lebih populer dengan sebutan Mulla Sadra atau Sadr
al-Muta’alihin. Di kalangan murid-murid serta pengikutnya disebut “Akhund”.
Beliau
dilahirkan sekitar tahun 979-980 H /1571-1572 M di Syiraz dimana beliau
menerima pendidikan awal. Beliau pergi ke Isfahan untuk menyelesaikan studi
ilmu-ilmu intelektual.
Di
Isfahan, kemudian menjadi pusat pembelajaran, Sadra mempelajari ilmu-ilmu
al-‘Ulum al-Naqliyyah seperti tafsir al-Qur’an dan Fiqh. Isfahan memang tidak
mengecewakannya, karena di sana dia menemukan guru-guru terkemuka yang kelak
begitu berpengaruh terhadap dirinya. Selama di Isfahan, Mulla Sadra belajar
dibawah bimbingan dua orang guru terkemuka –yaitu Syaikh Baha’ al-Din al-‘Amili
(953-1031 H / 1546-1622 M) dan Mir Damad (950-1041 H / 1543-1631).
Di
antara usaha yang dilakukan Mulla Sadra adalah menjelaskan pembahasan filsafat
–yang merupakan suatu bentuk pelajaran penalaran dan pemikiran. Mulla Sadra
menggambarkan bahwa manusia mencapai kearifan tertinggi haruslah melewati empat
tahap perjalanan rohani yang semuanya terangkum dalam rangkaian filsafat yang
dikembangkannya. Empat tahap perjalanan tersebut antara lain :
Perjalanan Pertama : Safar min al-Khalq ila
al-Haq (perjalanan dari makhluk menuju Tuhan). Pada tingkat ini, perjalanan
yang dilakukan adalah dengan mengangkat hijab kegelapan dan hijab cahaya yang
membatasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Seorang salik harus melewati
stasiun-stasiun, mulai dari stasiun jiwa, stasiun qalb, stasiun ruh dan
berakhir pada maqsad al-aqsa. Pada tahap ini perjalanan rohani baru dimulai dari
pelepasan diri dan bergabung menuju Tuhan. Dalam kajian filsafatnya, perjalanan
pertama ini adalah gambaran dari upaya salik mengangkat kesadarannya dari
realitas makhluk lewat pembahasan wujud dalam makna umum dan juga tentang
hukum-hukum ketiadaan, entitas, gerakan material dan sustansial serta intelek.
Perjalanan Kedua : Safar bi al-Haq fi al-Haq
(perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan). Pada tahap ini seorang salik memulai
tahap kewaliannya, karena wujudnya telah menjadi diri-Nya dan dengan itu dia
melakukan penyempurnaan dalam nama-nama agung Tuhan. Tingkat ini adalah tingkat
penyempurnaan teologis seorang salik. Dalam konteks ini Mulla Sadra
membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ke-Tuhanan.
Perjalanan Ketiga : Safar min al-Haq ila
al-Khalq bi al-Haq (perjalanan ini dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan).
Dalam stasiun ini seorang salik menempuh perjalanan dalam Af’al Tuhan,
kesadaran Tuhan telah menjadi kesadarannya dan menempuh perjalanan di antara
alam Jabarut, Malakut dan Nasut serta menyaksikan segala sesuatu yang ada pada
alam tersebut melalui pandangan Tuhan. Pembicaraan pada tingkat ini meliputi
proses penciptaan dan emanasi yang terjadi pada intelek-intelek.
Perjalanan Keempat : Safar min al-Khalq ila
al-Khalq bi al-Haq (perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan). Pada
tahap ini perjalanan penyaksian seluruh makhluk dan apa yang terjadi padanya di
dunia dan akhirat serta mengetahui perjalanan kembali menuju Allah dan bentuk
kembalinya serta azab dan nikmat yang akan diberikan Allah pada mereka.
Mulla
Sadra berdiri di persimpangan empat perspektif intelektual utama dalam Islam,
yaitu Illuminationist (isyraq) yang
didirikan oleh Suhrawardi, paripatetik (massya’i)
terutama yang diwakili oleh Ibnu Sina, dan Nasir al-Din al Tusi dan gnostik
(‘irfan) sekolah Ibn Arabi dengan anggota terkemuka seperti Sadr al-Din
al-Qunawi dan Dawud al-Qaysari, dan teologi
Islam (kalam). Suhrawardi berpendapat bahwa halangan dalam perjalanan untuk
menyadari pengetahuan adalah ketegangan antara murni teoritis, diskursif dan
berpikir analitis dan metafisik / pengetahuan intuitif.
Di
antara karya Mulla Sadra adalah Al-Hikmat al-Muta’aliyah yang dikenal secara
sederhana dengan Asfar. Dalam aliran Mulla Sadra empat aliran berpikir –yaitu
aliran paripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf tergabung secara sempurna, dan
melahirkan aliran baru filsafat yang disebut Hikmah Muta’aliyah. Aliran
filsafat ini walaupun secara metodologi sama dengan empat aliran di atas, namun
pemikiran yang dihasilkannya sedikit berbeda. Karenanya aliran filsafat ini
dikatakan sebagai aliran yang berdiri sendiri dan sebuah pandangan yang baru.
Dalam
kitab Asfar, dia berkata bahwa argumen akal, penyingkapan dan wahyu sejalan
satu sama lain dan tidak saling bertentangan, orang yang tidak mengikuti para
nabi dan rasul pada dasarnya tidak memiliki hikmah dan tidak disebut sebagai
hakim atau filsuf ilahi. Syari’at yang benar tidak mungkin bertentangan dengan
akal, karena pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu ma’rifat
Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya.
Untuk
sampai kepada derajat Kasf dan Syuhud maka akal harus dicahayai dengan
syari’at, karena hakikat-hakikat yang diperoleh lewat argumen akal jika belum
menyatu dengan realitas luar maka merupakan hijab untuk mencapai
hakikat-hakikat syuhudi dengan bahasa lain kalau akal belum dicahayai olah
syari’at maka segala yang dipahami akal dengan ilmu husuli tidak akan pernah
mencapai ilmu huduri.
Menurut
filusuf ini, fiqih mengarahkan untuk mengarahkan perbuatan manusia, jika
perilaku manusia terarah maka kondisi jiwa manusia akan sempurna menerima
pancaran-pancaran ilmu dan ma’rifatnya dari Tuhan. Jadi fiqih merupakan
pendahuluan bagi kesempurnaan ilmu dan ma’rifat manusia.
Aliran
filsafat Mulla Sadra mampu menggabungkan antara doktrin Islam dengan pemikiran
filsafat. Al-Quran dan Al Hadits dijadikan tumpuan dan sumber ilham untuk
menyelesaikan setiap persoalan dan pembahasan yang rumit dalam filsafat. Inilah
salah satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran filsafat lainnya.
Penggabungan dua unsur tersebut menjadikan karya-karya filsafatnya sebuah kitab
tafsir agama dan begitu juga sebaliknya kitab tafsir Al Quran dan hadits bisa
dinamakan sebuah kitab filsafat.
Kita
kemudian dapat menemukan posisi filsafat Al Hikmah Al Muta’aliyah yang
jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru di antara filsafat yang ada. Dalam
pandangan Mulla Sadra, baik akal maupun syuhud keduanya merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dalam filsafat dan meyakini bahwa Isyraqi tanpa argumentasi
rasional tidaklah memiliki nilai apapun begitu juga sebaliknya.
Melakukan
suluk rohani untuk mencapai ma’rifat dan pencerahan bathin bukanlah pekerjaan
yang dapat dilakukan setiap orang, karena diperlukan seorang guru yang mampu
membimbing salik untuk melewati tahap-tahap perjalanan rohani dan di situ juga
terkandung upaya-upaya Setan yang selalu berusaha menjerumuskan para penempuh
jalan rohani tersebut. Tetapi tanpa ma’rifat dan pencerahan bathin tidak
mungkin seseorang akan dapat mencapai puncak kesempurnaan dirinya.
Dengan
argumentasi-argumentasi rasional Mulla Sadra telah memberikan pelita bimbingan
bagi para ilmuwan dan intelektual untuk dapat menempuh jalan rohani dalam upaya
ma’rifat dan pencerahan batin. Inilah metode Al Hikmah Al Muta’aliyah yang
dikembangkan Mulla Sadra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar