Hak
cipta ©Sulaiman Djaya (2010)
Dari
segi budaya massa, tahun 70-an bisa dibilang sebagai eranya The Beatles dan
Rock N Roll, ketika generasi muda mengenakan busana yang lebar di ujung kakinya
dan ketat di bagian paha mereka. Sebuah masa yang bukan milik saya, dan karena
itu tak banyak yang bisa saya ketahui di tahun-tahun 70-an, selain mereka-reka,
dan itulah yang saya lakukan, ketika membuka album foto-foto keluarga, yang
sebagian besar sudah agak kusam dan sudah tak lagi mencerminkan jepretan
pertama. Namun di dalam hati, saya diam-diam merasa kagum dan berterimakasih
kepada fotografi, yang meski saya lahir di pedesaan, keluarga saya bisa
dikatakan sadar dokumentasi.
Dalam
keadaan seperti itu, saya hanya bisa tersenyum-senyum sendiri di ruangan tempat
saya menulis dan membaca ketika memandangi foto-foto keluarga dan membaca-baca
majalah-majalah di tahun-tahun 70-an dan 80-an yang saya dapatkan dari paman
dan sepupu saya itu.
Dalam
foto-foto itu, saya adalah antara lain seorang bocah yang baru bisa merangkak
dan seorang siswa kelas satu sekolah dasar dengan kondisi punggung yang masih
tegak, tidak seperti sekarang ini yang mudah lelah dan merasa sakit bila tidak
bersandar. Bersamaan dengan itu, saya tiba-tiba tergoda untuk membayangkan dan
mengingat-ingat malam-malam di desa di tahun-tahun 80-an yang masih menggunakan
lampu-lampu minyak. Saya tergoda untuk kembali membayangkan dan mengingat-ingat
keheningan malam yang begitu panjang, sepanjang jalan dan sungai, sepanjang
pohon-pohon rimbun, di mana suara-suara serangga dalam kegelapan selepas hujan
semakin menambah keheningan itu sendiri.
Rasa
ingin membayangkan kembali masa silam itu justru tersulut di saat-saat saya
memandangi foto-foto yang tersimpan di album keluarga, di saat-saat saya
membaca-baca majalah-majalah era 70-an dan 80-an, yang di saat tidak
menceritakan semuanya, tapi pada saat yang sama menyimpan banyak hal, yaitu
ingatan itu sendiri.
Kemudian
saya seolah mendapatkan suatu kesan bahwa sebuah gambar, ternyata, sama-sama
bisa bercerita banyak hal sebagaimana satu buku sejarah, atau bahkan bisa lebih
banyak bercerita ketimbang satu buku sejarah, justru karena ia rentan dan
selalu memiliki kemungkinan untuk ditafsirkan. Seperti halnya sebuah komposisi
musik yang ingin selalu Anda dengarkan, karena ada sesuatu yang ingin Anda
ceritakan dengannya, meski untuk anda sendiri. Dan sebuah foto bercerita banyak
kepada Anda sekaligus tetap menyimpan dan menyembunyikan yang lainnya.
Seperti
itulah, sebuah foto yang saya pandangi sanggup membuat saya tergoda untuk
mengingat-ingat sejumlah kenangan yang menyenangkan dan yang menyedihkan.
Memancing rasa sentimentil saya untuk membayangkan masa silam yang telah tak
ada. Rasa sentimentil yang tersulut begitu saja ketika saya merasa bosan atau
jenuh dengan apa yang tengah saya lakukan dalam kesendirian.
Mungkin,
pada saat-saat itu, Anda tak perlu membaca kembali catatan harian Anda, itu pun
bila Anda punya catatan harian. Atau ketika Anda ingin merenungi sejenak
perjalanan hidup Anda, mungkin cukup memandangi foto-foto dalam album fotografi
milik Anda.
Sementara,
bagi saya sendiri, ketika memandangi foto-foto di album keluarga, seperti yang
telah saya katakan itu, saya tiba-tiba membayangkan kembali masa-masa ketika
malam terasa begitu panjang dan hujan membuat keheningan terasa semakin kental
di pedesaan, di saat saya hanya bertemankan selampu minyak di meja belajar.
Katakanlah, sebuah foto atau sebuah gambar bisu tentang diri Anda, justru yang
seakan-akan sanggup menghentikan dan menyandra masa lalu untuk siap
menghadirkannya kembali ke masa sekarang di mana Anda hidup dan memandanginya.
Pada
kasus tersebut, sebuah foto menjadi intim dan berarti bukan karena sebuah foto
baru jadi atau baru dicetak, tetapi karena ia sudah tersimpan lama dan
sekaligus telah menyimpan tahun-tahun yang pernah Anda jalani dalam hidup,
tahun-tahun yang dalam keadaan tertentu dalam hidup Anda mungkin terasa belum
jauh dan serasa baru beberapa waktu saja. Dan utamanya untuk kasus saya
sendiri, foto-foto di album keluarga itu tak menerakan tanggal dan tahun kapan
foto itu diambil dan dibuat oleh si fotografernya, hingga saya mesti
mereka-reka sendiri tentang masa dan waktu pembuatan dan pencetakannya.
Karena
itu, bila saya boleh menyimpulkan, sebuah foto bisa mengatakan sesuatu yang tak
bisa dilakukan atau diceritakan oleh lembar-lembar halaman catatan harian.
Contohnya adalah wajah-wajah yang sedih atau riang dalam sebuah foto atau
gambar, tetap saja memancarkan keunikannya sendiri yang berbeda-beda pada
setiap orang atau wajah, pada setiap moment atau kondisi-kondisi tertentu.
Bersama
sebuah foto, ingatan yang memang sebenarnya hanya angan-angan kita, diberi
kesempatan untuk memuaskan apa yang ingin direka dan digambarnya kembali. Meski
pada saat yang sama juga ia hanya bisa mengembarai kegelapan dan
khayalan-khayalannya sendiri. Tetapi, mungkin karena hal itu pula, rasa senang
senantiasa direkonstruksi, di saat anda ingin mengingat-ingat kembali kejadian
dan peristiwa yang pernah ada atau yang melatarbelakangi keberadaan foto itu
sendiri, di saat foto itu sendiri sebenarnya sudah terbebas dari peristiwa atau
kejadian yang pernah anda alami atau yang pernah anda rasakan.
Persis
seperti itulah, dengan dan bersama sebuah foto, apa yang saya lakukan adalah mengarang
kembali sejarah dan perjalanan hidup saya. Anggaplah sebuah foto tak ubahnya
satu puisi singkat yang bisa menceritakan banyak hal sekaligus menyamarkannya
pada saat bersamaan. Fungsi figuratifnya telah membuatnya menjadi kecil
sekaligus longgar dan terbuka untuk selalu ditafsirkan.
Namun,
di atas semua yang telah saya katakan itu, ada juga mungkin sesuatu yang lain.
Sebutlah ketika Anda memandangi foto diri Anda, terutama diri Anda di suatu
masa yang telah berlalu bertahun-tahun, ada sesekali perasaan bahwa Anda tengah
memandangi orang lain, disadari atau tidak disadari. Dan pada saat itu pula,
Anda pun tengah mengagumi diri Anda yang lain, seperti ketika Anda memandangi
diri Anda di cermin, di mana sebuah cermin berfungsi sebagai pemantul sekaligus
pemisah (pemecah) diri Anda. Hanya saja sebuah foto diri Anda di masa silam
mengajak untuk kembali menemukan diri Anda, dan itulah yang bisa kita sebut
sebagai ingatan yang disandera sekaligus diceritakan oleh sebuah foto yang
telah lama tersimpan.
Ingatan
dan sebuah foto paling pribadi milik Anda, sebagaimana sebuah puisi romantis
yang bukan lagi milik penyairnya, telah memiliki kehidupannya sendiri,
kehidupan yang telah berpisah sekaligus masih dibagi dengan diri Anda, atau
katakanlah, merebut figur Anda demi keberadaan dirinya sendiri. Karena itu,
yang Anda lakukan tak lebih mengarang kembali ketika Anda ingin memasuki
ingatan, atau ketika Anda mengingat-ingat kejadian yang telah berlalu
bertahun-tahun. Meski pada kadar yang paling sentimentil, Anda merasa
seakan-akan waktu tak beranjak, apa yang lazim disebut sebagai daya-tarik
kesedihan dan keriangan sesaat.
Hingga
bisa dikatakan, sebuah foto, sebagaimana sebuah cermin, menjadi ada karena
bukan hanya mampu menampilkan citra Anda, tetapi lebih dari itu, ia mampu
menunjukkan dan menghadirkan “orang lain”, orang lain yang anehnya
terus-menerus Anda identifikasi sebagai diri Anda. Dalam kajian historiografi,
contohnya, sebuah foto telah mampu menghadirkan kembali kejadian-kejadian atau
pun peristiwa-peristiwa di masa lalu yang sebenarnya sudah tidak ada.
Sementara
itu, bagi saya sendiri, sebuah foto yang saya pandangi seakan mengajak saya
kembali untuk menyusuri jejalan setapak sungai di bawah barisan pohon-pohon
rindang yang mirip sebuah terowongan kota-kota metropolitan sekarang ini.
Jejalan setapak sepanjang sungai yang sebenarnya hanya bisa saya khayalkan. Dan
diri saya yang saya ingat-ingat itu pun sebenarnya tak lebih orang lain yang
telah tak ada. Sedangkan dorongan khayalan itu sendiri adalah perasaan cacat
dan tak lengkap dalam diri saya sendiri, atau mungkin dalam diri Anda. Itulah
yang lazim disebut sebagai ironi dan dilema Narcissus: “permainan kehilangan
dan menemukan”.
Pada
konteks seperti itu, nilai makna dan arti sebuah foto terletak pada kemampuannya
untuk membangkitkan sentimentalitas personal. Ketika detil dan ketaklengkapan
telah membebaskan dirinya untuk ditafsirkan oleh saya atau Anda sendiri. Ketika
ia membiarkan dirinya untuk terus direkonstruksi sejauh menyangkut kejadian dan
latarbelakang yang menyediakan peluang bagi ingatan untuk melakukan tugasnya
dalam pengembaraan-pengembaraan permainan kehilangan dan menemukan itu.
Kita
juga sebenarnya sudah begitu tahu, dari sudut historiografis, fotografi telah
menjalankan fungsi artifak dan hiorieglif, situs dan prasasti, meski yang
diceritakan kepada kita lebih merupakan pecahan, potongan, dan kepingan
kejadian, yang dari itu, kita sendiri yang mesti merangkai keutuhan dan
kelengkapannya. Di sini dikatakan, misalnya, detil-detil sebuah foto akan mampu
memberikan materi untuk upaya rekonstruksi kejadian dan pemahaman peristiwa,
meski sebenarnya tak pernah berhasil menemukan keutuhan.
Sebagai
contoh lainnya misalnya dikatakan, dari kualitas warna dan cahaya, kita bisa
mereka-reka apakah sebuah foto yang kita pandangi dibuat dan diambil pada waktu
pagihari, sianghari, sorehari, ataukah malamhari. Sementara itu, detil-detil
material dan situasi sebuah tempat yang tersimpan dan tertangkap sebuah foto
akan juga mengatakan kepada kita tentang situasi sebuah jaman, trend yang
sedang berlaku, atau juga situasi sosial-budaya yang bisa dicontohkan dengan
materi dan situasi busana, arsitektur tempat, produk-produk industri-ekonomi,
dan lain sebagainya. Sesuatu yang dulu orang-orang purba gambarkan kepada kita melalui
ukiran, lukisan, simbol-simbol, dan rumus-rumus seperti yang dicontohkan dengan
baik oleh hieroglif orang-orang Mesir purba, yang adalah juga para seniman
grafis yang cakap secara matematis dan estetis.
Tetapi,
karena ketaklengkapannya itu, dan ini pun diakui oleh para arkeolog dan
sejarawan, sebuah prasasti, hieroglif, atau pun fotografi, hanya memberikan
kepingan cerita, bukan keseluruhan peristiwa atau pun kejadian historis yang
padu dan lengkap. Pada celah itulah dibutuhkan interpretasi alias penafsiran
dan angan-angan sang arkeolog atau pun sang sejarawan, atau apa yang saya
sendiri akan menyebutnya sebagai upaya “mengarang kembali” peristiwa dan
kejadian.
Hingga
karena demikian, historiografi sekalipun tak pernah terbebas dari angan-angan,
justru karena setiap fakta dan bukti historiografis pada akhirnya mesti
ditafsirkan, di saat yang hadir kepada kita hanya pecahan dan kepingan, bukan
peristiwa atau kejadian yang utuh. Ia ada sebagai sesuatu yang cacat dan tak
lengkap.
Tepat
pada saat itulah, Anda hanya berusaha mengangankan dan mengarang kembali
kejadian atau pun latarbelakang sebuah foto yang anda pandangi atau yang tengah
anda selidiki, di saat figur anda yang ada dalam foto tersebut telah menjadi
orang lain yang milik masa lalu. Di saat milik Anda yang sesungguhnya hanyalah
angan-angan itu sendiri. Dan karena itu, semakin tak lengkap sebuah foto,
semakin kreatif pula angan-angan Anda untuk mengarang kembali sebuah peristiwa
atau kejadian yang dapat membuat sebuah foto berarti bagi Anda, di saat Anda
sendiri hanya bisa mengangankan kembali gambar-gambar buram ingatan.
Seperti
itu pulalah historiografi, sebagaimana dipahami Homerus, Virgilius, dan
Plutarch, tak sekadar dokumentasi prosaik, tetapi sebuah deskripsi yang hidup,
yang karenanya Homerus dan Virigilius menuliskannya dalam bentuk teater puitis
melalui media puisi, di mana ingatan menjadi demikian hidup karena dituliskan
dan digambarkan secara teatrikal. Sebab itu tidak berlebihan, ketika
Shakespeare mengaku diri lebih banyak belajar tentang sejarah dari puisi-puisi
dan drama-drama Yunani, atau dari epik-epik lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar