Hak
cipta ©Sulaiman Djaya (2008)
Lampu-lampu
sebuah pabrik kertas, karena tampak berkerlap-kerlip dan berkerumun, lebih
mirip sebuah kota kecil yang tak pernah tertidur. Dan memang sudah hampir
tengah malam ketika pintu ruang baca masih terbuka, ruang di mana saya duduk
dan berada. Juga, meski cukup jauh, suara-suara mesin pabrik kertas itu seolah
datang dari setapak pematang di belakang rumah.
Tak
terasa, saya sudah bertahun-tahun hidup di dunia yang tak lagi sama seperti
ketika saya masih kanak-kanak. Memang, sesuatu acapkali telah berubah secara
pelan-pelan ketika kita tak sedang memikirkannya, atau ketika kita, entah
sengaja atau tidak sengaja, tak menyadarinya. Sementara, malam tetap lengang
seperti biasanya, tak ada bising atau keriuhan selain suara-suara katak dan
serangga.
Namun,
ketika saya masih kanak-kanak, tempat yang kini menjadi kawasan pabrik kertas
itu adalah sejumlah rawa-rawa dan hutan belukar yang menjadi rumah bagi
berbagai jenis ular dan binatang-binatang lainnya. Di tempat itu pula, dulu
sering terlihat gerombolan-gerombolan bermacam-macam burung dan unggas yang
singgah atau kembali terbang.
Saya
baru terbangun dari tidur sebelum saya membuka pintu dan memandangi lampu-lampu
pabrik kertas itu, dan karenanya saya sengaja menahan dingin angin selepas
hujan. Sedangkan di antara atau di sekitar lintasan-lintasan pematang dan
hamparan sawah-sawah, gelap terasa kental dengan kebisuannya yang menyerupai
kiasan maut yang tengah terlelap karena cuaca lembab.
Tetapi,
ingatan saya tentang masa silam, muncul ketika sejenak memandangi barisan
angka-angka pada kalender yang terpampang dan berdiri di atas meja baca, di
antara beberapa buku, jurnal dan majalah yang terhampar dengan tenang, juga
seperti kematian dan masa silam. Masa-masa yang bagi saya seperti lorong-lorong
keheningan yang panjang.
Ketika
itu saya harus berjalan kaki dengan menempuh jarak beberapa kilometer untuk
bisa sampai ke sekolah menengah pertama. Atau menumpang mobil-mobil truk
pengangkut pasir dan batu-bata yang jarang ada, kecuali di hari-hari tertentu
saja. Pernah juga saya harus berteduh di sepohon rindang di tengah perjalanan
pulang dari sekolah menuju rumah karena hujan lebat yang turun tiba-tiba.
Itulah
ketakutan pertama saya, berada dalam kegelapan dan guyuran hujan di antara
barisan pohon-pohon rindang sepanjang jalan dan sungai, yang karena
keheningannya, lebih mirip terowongan panjang di waktu malam. Tetapi kini,
sungai sebagiannya telah memiliki dinding-dinding batu dan pohon-pohon rindang
sepanjang jalan telah digantikan barisan tiang-tiang beton, bersamaan dengan
hadirnya pabrik kertas dengan dua cerobong asap raksasanya.
Tetapi,
sebelum pabrik kertas itu dapat hadir dengan megah seperti sekarang ini, ada
sebuah cerita tentang Nyi Randa, yang kemudian menjadi nama tempat yang kini
telah digantikan pabrik kertas itu, yaitu Tegal Nyi Randa. Dan ketika pabrik
kertas mulai dibangun di tegal itu, orang-orang bercerita tentang sepohon besar
yang berdiri kokoh kembali keesokan harinya setelah dirobohkan.
Pohon
besar itulah yang oleh orang-orang dipercaya sebagai jelmaan Nyi Randa
bertahun-tahun kemudian setelah ia melarikan diri ke rawa-rawa dan gugusan
hutan belukar ketika seorang jawara membunuh suaminya tak lama setelah
dilangsungkan resepsi pernikahan Nyi Randa dan suaminya yang terbunuh itu.
Sebab, setelah kejadian itu, seperti cerita orang-orang di sekitar sungai
Ciujung, Nyi Randa tak lagi ditemukan.
Mendapati
pohon besar yang telah dirobohkan dengan menggunakan alat berat itu berdiri
kokoh kembali keesokan harinya, pihak perusahaan pun merobohkan lagi pohon
besar itu. Tetapi hasilnya tetap sama, pohon besar itu kembali berdiri seperti
semula.
Kejadian
itu pun segera menyebar luas di masyarakat, dan memunculkan dua pendapat: pihak
perusahaan tetap ngotot untuk melenyapkan pohon tersebut, sementara sebagian
masyarakat menginginkan agar pohon besar tetap ada di tempatnya seperti telah
bertahun-tahun ada.
Butuh
waktu berhari-hari bagi pihak perusahaan untuk mewujudkan keinginan mereka
sebelum akhirnya mereka berhasil membayar para dukun dan beberapa orang untuk
melenyapkan pohon besar tersebut dengan bayaran yang cukup besar bagi
orang-orang yang tak memiliki pekerjaan resmi.
Namun
ceritanya tak hanya sampai di situ saja. Beberapa hari setelah pohon besar itu
berhasil dilenyapkan, pihak perusahaan dikagetkan dengan banyaknya kehadiran
ular-ular yang datang tiba-tiba entah dari mana ke setiap sudut dan tempat di
kawasan pabrik kertas yang sedang dibangun itu, hingga beberapa pekerja pun
meninggal karena serangan ular-ular tersebut. Sementara, di waktu malam, para
pekerja seolah selalu mendengar suara seorang perempuan tengah bersenandung dan
beberapa pekerja terjatuh dari konstruksi bangunan karena efek teror nyanyian
gaib tersebut.
Dan
seperti pada kejadian-kejadian sebelumnya, orang-orang pun mempercayai bahwa
perempuan yang selalu bersenandung di waktu malam itu adalah Nyi Randa yang
tengah merana dan merasakan kesepian karena telah terusir untuk kedua kalinya. Saya
jadi teringat kembali tentang kisah Nyi Randa itu ketika memandangi lampu-lampu
pabrik kertas, yang dulunya adalah rawa-rawa dan habitat para unggas,
burung-burung, dan binatang-binatang Tuhan lainnya.
Sejumlah
burung-burung dan para unggas, yang ketika terbang melintasi cakrawala pagi
atau senja, membuat saya membayangkan diri ingin seperti mereka yang dapat
pergi dan terbang kapan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar