Hak
cipta ©Sulaiman Djaya (2008)
Di
tahun 80-an, di mana ketika itu saya masih kanak-kanak, kami biasa menggunakan
penerangan untuk rumah-rumah kami dengan menggunakan lampu-lampu minyak. Di
keluarga saya sendiri, yang setiap hari melakukan tugas menyediakan lampu-lampu
minyak untuk kami itu adalah ibu kami.
Setiap
menjelang malam, kira-kira beberapa menit sebelum adzan magrib berkumandang,
ibu kami mulai mengisi tabung lampu-lampu minyak kami dengan minyak tanah atau
minyak kelapa buatan ibu kami sendiri. Antara dua minggu atau satu bulan,
karena saya tak lagi ingat dengan tepat, ibu kami juga akan mengganti sumbu
lampu-lampu minyak yang terbuat dari kain-kain bekas itu.
Lampu-lampu
minyak itu, bila kami sedang menjalani malam-malam kami di musim hujan, harus
bertarung dengan hembusan angin ketika hujan turun di waktu malam. Biasanya,
ibu kami akan melindungi nyala-nyala apinya dengan menggunakan pelindung dari plastik
yang dibuat oleh ibu kami sendiri.
Pada
saat itu, saya yang tengah belajar di meja belajar saya, diberi anugerah untuk
mendengarkan pecahan-pecahan hujan di halaman dan di genting-genting rumah.
Mungkin, saat itu, saya membayangkan pecahan-pecahan hujan itu sebagai para
peri yang tengah riang menari dan bernyanyi di hening malam.
Kadang-kadang,
sebagaimana angan-angan saya merekonstruksinya saat ini, saya berhenti sejenak
untuk sekedar menyimak suara-suara riuh angin dan gerak dedaunan yang diombang-ambing
angin dan hujan. Sesekali saya juga membiarkan saja tetes air hujan yang
menitik di ruangan saya, hingga ibu saya kecewa dengan sikap diam saya itu.
Di
masa-masa itu, saya sendiri hanya boleh bermain dengan teman-teman saya sampai
jam delapan malam saja. Berbeda dengan sekarang ini, ketika itu jam delapan
malam sudah terasa sangat sunyi dan hening sekali. Apalagi dengan keberadaan
pepohonan rindang sepanjang jalan dan sungai.
Sebagai
seorang perempuan yang dihidupi oleh tradisi dan kepercayaan tradisional
masyarakat kami, ibu kami yang mendekati puritan, terbilang seorang perempuan
yang saleh dan sabar. Maklum, sebelum berhenti, ibu kami dikenal sebagai
seorang guru ngaji bagi para perempuan dan ibu-ibu di kampung kami, bahkan di
kampung tetangga. Tugas itu dilakukannya setelah selama beberapa tahun
menjalani pendidikan keagamaan di pesantren tradisional di Cilegon, Banten, tepatnya
di Cibeber.
Sementara
itu, untuk saya sendiri, masa-masa itu adalah masa-masa ketika saya sedemikian
akrabnya dengan kesunyian dan keheningan malam. Terlebih di bulan-bulan selama
musim hujan, ketika hujan adakalanya turun di waktu subuh atau tengah malam.
Sedemikian akrabnya dengan selampu minyak yang asap hitamnya menghitamkan
bilahan-bilahan bambu penyangga genting-genting rumah kami.
Dan,
bila hujan malam itu usai, kini giliran binatang-binatang malam, semisal para
serangga dan katak, mengambil alih keheningan yang dingin itu dengan
suara-suara riuh mereka. Namun anehnya, suara-suara mereka itu malah semakin
menambah keheningan itu sendiri sedemikian nyata dan akrab. Bahkan, saya
adakalanya membayangkan, suara-suara mereka tak ubahnya sebuah orkestrasi yang
tengah digelar di sebuah tempat yang jauh, meski mereka hanya beberapa meter
jaraknya dari belakang rumah. Suara-suara konser yang datang dari
pematang-pematang kegelapan malam itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar