Hak Cipta (c)Sulaiman Djaya (2010-2013)
Gerimis Saatku Bangun
Saatku
terbangun dengan nyala api di hatiku –gerimis telah meninggalkanku dalam sedih.
Daun-daun tersenyum lembut –burung-burung membacakanku sebuah puisi. Mataku
yang lembab kembali membara oleh gairah riang kanak-kanak. Aku tak ingat lagi
apa yang dulu Kau titipkan –yang kini kugenggam. Aku tak ingat dengan apa Kau
mencipta bara sepasang mataku –yang kadang membuatku tak dapat melihat mereka
yang padam –bila hati-ku terlampau membara karena cinta. Kutahu setiap gerak
adalah langkah dan tangan karena keriangan yang tak pernah lelah –kutahu Kaulah
yang menyulut gairah siang-malamku.
(2010)
Ketika Gerimis Terus
Berbisik
Dik, jika kaudengar
gerimis berbisik, buatlah secangkir kopi
dan bayangkan aku
membacakan baris-baris puisi untukmu
tentang apa saja. Tentang
betapa sepi
sebenarnya hanya alegori
bagi sepasang bibirmu
yang mungil.
Sepasang matamu adalah
kawah rimbun bagi rindu,
dan sebelum maut
menjemput, tak ada salahnya
kita bayangkan sejenak
engkau dan aku
seumpama Ariadne dan
Theseus
saling menerka hari-hari
kita
di lembar-lembar kertas.
Segala tentangmu adalah
anugerah bagi kata-kata,
sungguh aku ingin selalu
jatuh cinta pada rambutmu,
tanganmu, dan sepasang
misteri di dadamu.
Engkau adalah perumpamaan
senja
yang rindang, sebelum
malam
direbut kegundahan.
Ketika sepi jadi teramat
runcing, dan gerimis terus saja
berbisik, duh Adik, aku
hanya membayangkan
kau membuatkanku secangkir
kopi,
dan aku menulis sebuah
kegembiraan
seorang lelaki yang jatuh
cinta
sekali lagi.
(2013)
Amsal Sajak
Jika kau adalah bahasa
purba
yang menyimpan malapetaka,
aku adalah hujan
yang tak beranjak.
Jika kau adalah
bayang-bayang
dari pepohonan dan cuaca,
aku adalah sebuah umpama.
Jika kau adalah laut dan
tanjung
yang diceraikan ombak
dan karang, aku adalah
seekor camar
yang riang melambung
dan membentang
sehabis gerimis siang
di antara gugusan bakau
dan pantai.
Jika kau adalah kesedihan
dan do’a
perempuan jalang
di sebuah sudut
metropolitan,
aku adalah selampu bohlam
yang jadi tungku bagi
lembab.
Bagi sepasang matamu,
aku adalah sebentang
ingatan.
Di sejumlah sajak,
kau dan aku menjadi tiada.
(2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar