Gerakan Substansial dan Hubungannya dengan Penjelasan
Tentang Waktu, Serta Prinsipalitas Eksistensi
Oleh M.T.
Misbah Yazdi (Imam Khomeini Education and Research Institute, Iran)
Tulisan ini ingin
menyinggung tentang dua isu penting dalam filsafat Sadrian. Bahasan pertama
ingin menjelaskan tentang sifat-sifat gerak di dalam substansi dalam
hubungannya dengan waktu. Semua wujud korporeal mempunyai dimensi keempat yang
dipersepsi oleh indra secara tidak langsung, sebagai tambahan terhadap tiga
dimensi indrawi yang nisbatnya adalah volume. Eksistensi dimensi keempat ini
dapat ditunjukkan secara rasional. Itulah dimensi waktu.
Tulisan ini akan
menjelaskan hubungan antara waktu dan gerak di dalam doktrin Wujud Mulla Sadra.
Selanjutnya, dalam bahasan kedua akan dipaparkan teori gerakan substansial
dengan mengkaji prinsipalitas Wujud di dalam kontingen dan wujud korporeal.
Sebelum memasuki isu utama
dalam tulisan ini, pertama-tama kita akan membahas konsep gerak terlebih
dahulu. Gerak biasanya didefenisikan sebagai ‘pergeseran suatu objek dari satu
titik ke titik yang lain’.[1] Juga
bisa dianggap sebagai suatu gerak jika konstituen suatu objek, dan bukan objek
itu sendiri, berubah kedudukannya seperti perputaran pada suatu kincir angin. [2]
Namun, di dalam istilah
filsafat, gerak mempunyai pengertian yang lebih luas: pada sebuah apel,
perubahan warna dari hijau menjadi kuning yang berubah lagi menjadi merah juga
disebut sebagai gerak yaitu ‘gerak kualitatif’ (harakah kayfiyyah), demikian
juga pertumbuhan sebuah pohon dari kecil menjadi pohon yang besar disebut gerak
kuantitatif (harakah kamiyyah).
Dengan dasar ini, gerak
kemudian dapat dikategorikan menjadi empat jenis: gerak spasial (harakah intiqaliyyah),
perputaran (harakah wad’iyyah), gerak kuantitatif (harakah kamiyyah), dan gerak
kualitatif (harakah kayfiyyah).[3]
Akan tetapi, harus
diperhatikan bahwa di dalam istilah filsafat, tidak semua perubahan dapat
disebut gerak. Pergeseran atau perubahan keadaan suatu objek dapat disebut
sebagai gerak jika dua syarat gerak terpenuhi. Kedua syarat itu adalah: Pertama, perubahan itu tidak boleh
‘tiba-tiba’ (daf’i) tetapi harus gradual (tadriji), juga bahwa perubahan itu
harus mempunyai ekstensi temporal walaupun hanya sesaat saja. Kedua, perubahan itu harus mempunyai
ekstensi yang dapat dibagi secara tak terbatas, bukan kumpulan atom-atom yang
tidak dapat dibagi (seperti dalam pahaman atomisme).[4]
Juga harus ditambahkan
bahwa seperti pada setiap garis, dan bukan bagian-bagian garis yang mempunyai
ujung dan pangkal, ekstensi setiap gerak tidak boleh mempunyai bagian-bagian
aktual apapun yang menunjukkan titik atau kumpulan titik tertentu.[5] Jika tidak, keadaan pada point 4 di
atas tidak akan menghasilkan suatu gerak.
Dengan kata lain, sebuah
gerak sama dengan sebuah garis dan bukan kumpulan bagian-bagian garis yang
dibatasi oleh titik-titik (pada garis tersebut).
Sekarang, setelah memahami
beberapa defenisi di atas, marilah kita mendiskusikan topik utama dalam tulisan
ini.
Catatan Singkat Sejarah Teori Gerak Substansial
Filosof-filosof awal yang
mempercayai adanya wujud gerak (berbeda dengan mazhab Eleatik ) yang menolaknya,
membatasi defenisi gerak hanya dalam empat kategori aksidental yang telah kita
sebutkan sebelumnya, dan menganggap bahwa gerak pada kategori lainnya,
khususnya gerak di dalam substansi, adalah tidak mungkin.[6]
Argumen mereka tentang
ketidakmungkinan adanya gerak di dalam substansi adalah bahwa mereka
mempercayai gerak sebagai keadaan yang dinisbatkan kepada sebuah subjek dengan
substansi yang konstan. Jika substansi subjek tersebut mengalami fluks atau
perubahan, kita tidak punya lagi subjek yang kepadanya gerak tersebut dapat
dinisbatkan. Dengan kata lain mereka percaya bahwa, hipotesis gerak substansial
adalah hipotesis tentang ‘sebuah gerak tanpa objek yang bergerak’ atau ‘sebuah
karakteristik tanpa sebuah objek yang dikarakteristikkan.’[7]
Pendapat ini kemudian
diterima oleh filosof-filosof Muslim baik dari mazhab peripatetik maupun mazhab
iluminasi. Selama beberapa abad, pendapat ini menjadi rujukan tanpa pernah
dipermasalahkan sampai akhirnya muncul Mulla Sadra (W. 1641) dengan doktrinnya
yang original dan sangat terkenal tentang gerak substansial (harakah
jawhariyyah).[8]
Sadra membantah argumen
para pendahulunya dan memperlihatkan kelemahan-kelemahan mereka. Di dalam studi
ringkas ini, pertama-tama kita akan menjelaskan salah satu argumen Mulla Sadra
tentang gerak substansial, yakni argumen yang juga menjelaskan tentang
kebenaran waktu, dan selanjutnya kita akan melakukan kritik terhadap pendapat
yang menolak adanya gerak substansial tersebut.
Bukti Tentang Adanya Gerak
Substansial Sebagai tambahan terhadap tiga dimensi objek-objek indrawi yang
disebut sebagai volume, semua wujud korporeal mempunyai dimensi keempat yang
dipersepsi oleh indra secara tidak langsung, tetapi wujud dimensi keempat ini
ditunjukkan melalui suatu argumen bahwa dimensi keempat itu adalah dimensi
waktu wujud-wujud korporeal tersebut. Sebagai contoh, sebuah tanaman tumbuh
dalam beberapa hari tertentu, mulai dari mekarnya biji dan munculnya
bunga-bunga, kemudian suatu saat nanti tanaman tersebut akan musnah dan mati
dalam beberapa hari, demikianlah seterusnya ia akan mengikuti suatu siklus dan
akan hidup lagi sampai ratusan hari.
Periode ini adalah suatu
ekstensi wujud tanaman yang tidak dapat dibagi yang menjadi dimensi keempat.
Artinya, waktu dalam hal ini adalah ekstensi (atau bagian dari wujud) itu
sendiri. Dengan menilai hubungan ekstensi ini dengan objek yang lain, kita akan
dapat menentukan rentang waktu yang tertentu untuk objek tersebut, sebagaimana
halnya kita dapat mengetahui tempat suatu objek dari penilaian serta penentuan
volume dan ukuran objek tersebut.
Perbedaan utama antara
ekstensi waktu dan ekstensi ukuran adalah bahwa pada ekstensi waktu,
bagian-bagian waktu yang potensial akan mewujud satu demi satu secara
berurutan. Untuk perwujudan salah satu bagiannya, bagian yang lain harus
berakhir terlebih dahulu. (Kita harus memahami bahwa ekstensi-ekstensi itu
memiliki bagian-bagian potensial, sebab tidak ada ekstensi yang memiliki wujud actual.[9]
Oleh karena itu, waktu
adalah suatu dimensi dan karakteristik wujud korporeal. Berbeda dengan
pengertian umum yang kita pahami, waktu bukanlah entitas bebas yang mengandung
objek-objek. Ketika kita mengatakan bahwa waktu adalah salah satu dimensi wujud
korporeal, maksudnya adalah bahwa eksistensi wujud korporeal tersebut memiliki
ekstensi yang bisa dilalui dengan pembagian tanpa batas. Setiap konstituen wujud
tersebut berada di lintasan, mengalir, kemudian habis.
Sistem itu adalah suatu
transisi, pemusnahan konstituen partikular, yang selanjutnya membuat konstituen
baru. Dengan kata lain, setiap wujud korporeal mempunyai durasi tertentu yang
selalu mengalami perubahan yang terus-menerus (fluks). Caranya adalah, semua
konstituen potensial wujud korporeal tersebut secara gradual mewujud dan
kemudian musnah lagi. Inilah yang di dalam istilah filsafat disebut ‘gerak
substansial.’[10]
Di dalam banyak kasus,
gerak substansial ini terjadi bersama-sama dengan proses evolusi objek yang
bergerak, seperti halnya setitik sperma yang berevolusi menjadi seekor binatang
atau seorang manusia secara utuh.[11]
Namun jelas salah jika ekstrapolasi (perhitungan) durasi dan realisasi gradual
ini juga dinisbatkan kepada wujud-wujud yang dapat dipisahkan (separable
beings) serta Wujud Mutlak Allah Yang Maha Suci.
Memang, beberapa filosof
bahkan telah melakukan generalisasi ini dengan mengatakan bahwa Allah Yang Maha
Kuasa juga mengalami evolusi.[12]
Tetapi, generalisasi ini hanyalah hasil dari suatu reproduksi pikiran
imajinatif – seperti ketika kita berfikir secara salah bahwa semua wujud
menempati suatu ruang tertentu – yakni pikiran yang tidak dapat diterima oleh
akal dan pembuktian logis. Setiap wujud yang dapat dipisahkan tidak mempunyai
dimensi temporal seperti halnya ia juga tidak memiliki dimensi lokal.
Allah adalah wujud yang
meliputi seluruh ruang (omnipresent) dan karenanya Allah memiliki pengaruh yang
sama terhadap segala sesuatu di segala tempat di setiap waktu. Mensifatkan
suatu defisiensi atau berfikir tentang transformasi, evolusi, atau degenerasi
yang dinisbatkan kepada Allah, hanyalah karena kecacatan pengetahuan dalam
mengenal Esensi Allah Yang Maha Agung. [Bersambung ke Bagian Kedua]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar