Hak
cipta ©Sulaiman Djaya (2007)
Di
sore hari, ada capung-capung selepas hujan, juga riap sejumlah kupu-kupu yang
adakalanya terbang dan adakalanya singgah di kelopak bunga. Getaran-getaran
sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkan kita tentang
kegembiraan. Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang
kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput,
dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan. Seakan-akan
mereka asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca.
Sementara
itu, di barisan pohon-pohon, masih terdengar kicau burung-burung yang merasa
kedinginan, dingin yang meresap pada bulu-bulu mereka. Tentulah di saat-saat
seperti itu matahari sudah enggan menampakkan diri. Di saat-saat seperti itu,
sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu. Dalam
cuaca seperti itu sebenarnya kita tak hanya dapat memandangi capung-capung yang
yang dapatlah kita umpamakan sebagai para peri mungil, sesekali juga kupu-kupu
atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang terbang.
Dan
ketika saya menulis diari ini, saya tergoda untuk membayangkan getaran-getaran
sayap-sayap mereka yang tipis itu adalah kiasan dari kematian yang menyamar
sebagai keindahan dan kelembutan. Saya tergoda untuk mengandaikan mereka adalah
maut yang bermain-main itu sendiri. Saya akan menyebut capung-capung itu
sebagai peri-peri kecil yang tengah mencandai kematian, sosok kematian yang
memang tidak terlihat oleh mata telanjang dan hanya bisa dipahami oleh
keintiman bathin kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar