ABSTRAK
Kajian dan telisik ini adalah upaya yang sabar untuk meneliti, 'Apakah yang dikurbankan Ibrahim as itu adalah Ismail ataukah Ishak?'. Pembahasan dan kajian ini memang disengajakan memulai dirinya dengan membaca ulang Perjanjian Lama itu sendiri sebelum mengkomparasikannya dengan teks-teks Al-Qur'an.
Kajian dan telisik ini adalah upaya yang sabar untuk meneliti, 'Apakah yang dikurbankan Ibrahim as itu adalah Ismail ataukah Ishak?'. Pembahasan dan kajian ini memang disengajakan memulai dirinya dengan membaca ulang Perjanjian Lama itu sendiri sebelum mengkomparasikannya dengan teks-teks Al-Qur'an.
Banyak
para ahli, peneliti, sejarahwan, arkeolog, dan para filolog yang menyatakan
bahwa Bangsa Arab lebih tua ketimbang Bangsa Israel. Mereka menyatakan bahwa
bahasa-bahasa yang digunakan orang-orang Israel Kuno adalah bahasa-bahasa dari
rumpun suku-suku Arab kuno.
PEMBAHASAN
Adalah William G. Dever,
seorang Profesor bidang Arkeologi Timur Dekat dan antropologi di Universitas
Arizona, yang menyatakan bahwa sumber-sumber Biblikal diedit pada era Persia
belakangan (abad ke5-ke-4 S.M.) dan Helenistik (abad ke-3-ke-2 S.M.). Dan
masih ada banyak para ilmuwan lain seperti Tom Thompson dari Copenhagen
(Denmark), dan koleganya Niels Peter Lemche, Philip Davies dari Sheffield,
"dan sejumlah pakar (para ahli dan para peneliti) yang lain, baik yang
berkebangsaan Amerika maupun Eropa, yang meyakini bahwa Bible yang berbahasa
Ibrani tidak hanya diedit pada periode Persia/Helenistik tapi memang ditulis
pada masa itu."
Hal senada juga
disampaikan oleh Profesor Frederick Cryer dari Copenhagen, Denmark, di mana ia
menyimpulkan bahwa Bible yang berbahasa Ibrani "tidak dapat dibuktikan
memiliki kandungan-kandungan yang sekarang ini sebelum periode
Helenistik." Sebuah bangsa yang kita sebut Israel tidak menggunakan
istilah itu buat diri mereka, dan sebelum abad keempat Sebelum Masehi, riwayat-riwayat
(narasi-narasi) Saul dan David, misalnya, ditulis di bawah "kemungkinan
pengaruh" dari literatur Helenistik tentang Iskandar. Bahwa teks-teks
Biblikal ini disusun begitu terlambat "yang secara niscaya memaksa kita
untuk merendahkan estimasi kita terhadapnya sebagai sumber sejarah."
Sementara itu seorang
sarjana dan peneliti yang lain, yaitu Niels Lemche, bahkan berpendapat lebih
jauh lagi, atau katakanlah lebih ekstrim ketimbang para sarjana yang lain, di
mana ia menemukan penciptaan Israel kuno pada "historiografi Jerman abad
ke-19 yang memandang semua peradaban dari segi konsep negara-kebangsaan (the
nation-state)-nya masing-masing." Dengan demikian, menurutnya, konsep
politis dan sosial sebuah Israel kuno adalah merupakan suatu ideal yang aneh
dan tidak karuan, yang dilahirkan sebagai akibat dari keasyikan Eropa sendiri
dengan ‘konsep’ dan ‘imajinasi’ Negara-kebangsaan (the nation-state) pada
tahun 1800-an alias di abad ke-19.
BAHASA ASLI PERJANJIAN LAMA TIDAK DISEBUT SEBAGAI
IBRANI
Selanjutnya yang juga
penting diketahui dan diinformasikan adalah bahasa masa
pra-pengasingan (pre-exilic language) yang digunakan oleh Yahudi
adalah dialek Kanaan dan tidak dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang
Funisia (atau lebih tepatnya, orang-orang Kanaan) menemukan alfabet yang benar
pertama kali ± 1500 S.M., berdasarkan huruf-huruf ketimbang gambar-gambar
deskriptif. Semua alfabet yang berturut-turut seterusnya adalah berutang budi
pada, dan berasal dari, pencapaian Kanaani ini.
Perlu juga ditambahkan,
banyak sejarawan yang menyatakan bahwa jazirah Funisia kuno itu sesungguhnya
yang saat ini masuk kawasan Libanon. Dalam budaya umum, bangsa Kanaan (Funisia)
tidaklah kalah hebat, dan tidak sedikit dari budaya Kanaan itu telah diambil
alih oleh orang-orang Ibrani.
Orang-orang Ibrani
bukanlah pembangun yang besar, juga bukan juga bangsa yang cerdas dalam seni
dan keahlian. Akibatnya mereka dalam bidang ini, begitu juga hal-hal yang lain,
harus bergantung berat pada orang-orang Kanaan (Funisia). Singkat kata,
bahasa apa pun yang digunakan orang-orang Ibrani sebelum menetap di Palestina,
adalah dialek bahasa Kanaan yang kemudian menjadi bahasa mereka setelah
menetap.
Dalam hal ini perlu juga
dipertimbangkan ketika banyak ilmuwan, para peneliti, sejarahwan, dan para
filolog berpendapat bahwa bahasa Ibrani dan Aramaik merupakan dua dialek bahasa
Kanaan (Funisia). Dan pada kenyataannya, tulisan-tulisan Yahudi pra-pengasingan
(pre exile) adalah berbahasa Kanaan, bukan Ibrani, meski saat ini secara keliru
dianggap sebagai bahasa Ibrani lama atau paleo-Ibrani.
Di sini, penting untuk
ditegaskan bahwa Abraham (Nabi Ibrahim) dan anak cucunya (keturunannya)
merupakan suatu marga yang terlalu kecil di Kanaan untuk dapat menciptakan
bahasa mereka sendiri, dan dengan terpaksa mereka harus menggunakan bahasa
Kanaan yang predominan, sangat tidak mungkin bahwa orang-orang Israel, dalam
jumlah yang demikian kecil dan terpaksa menanggung penderitaan dan perbudakan
di Mesir, adalah dalam posisi yang kondusif untuk menciptakan sebuah bahasa
baru. Sejauh yang mungkin dilakukan hanyalah mengadopsi sebuah dialek bahasa
Kanaan tertentu pada tahap (fase) tertentu, tetapi tentu saja tidak ada yang
berbeda dan unik. Dan kenyataannya Perjanjian Lama itu sendiri tidak pernah
merujuk pada bahasa Yahudi sebagai bahasa Ibrani, sebagaimana yang
diilustrasikan oleh dua ayat dari Yesaya 36:
[11] Lalu kata Elyakim, Sebna dan Yoah kepada Rab-Syakih,
"Tuan, bicara saja dalam bahasa Siria dengan budak-budakmu; karena kami
memahaminya: Jangan memakai bahasa Yahudi (Jew's language), nanti
dimengerti rakyat di atas tembok kota itu."
[13] Kemudian Rab-Syakih berdiri dan berteriak dalam bahasa Yahudi,
dan berkata, "Dengarlah apa yang dikatakan raja besar, raja Asyur."
Demikianlah terjemahan
dalam versi King James (King James Version), dan frasa yang sama juga
ditemukan dalam versi New World Translation, versi Holy Bible from
the Ancient Eastern Text, Revised Standard Version, serta edisi bahasa Arab.
Ketiga versi yang terakhir ini mengganti `bahasa Aram' dengan `bahasa Suriah',
tapi tak satu pun menganggap yang lain sebagai bahasa Ibrani.
2 Raja-raja 18:26 dan 2
Tawarikh 32:18 mencatat rentetan kejadian yang sama dan menggabungkan ekspresi
yang sama. Dalam bab yang lain dari Yesaya kita membaca: Pada waktu itu bahasa
Kanaan akan dipakai dalam lima kota Mesir, dan mereka akan mengangkat sumpah
demi Tuhan para penjamu mereka; salah satu kota itu akan dinamakan "Kota
Kehancuran".
Terjemahan-terjemahan yang
telah dikutip di atas secara sepakat menyetujui kesimpulan berikut ini:
Jika bahasa Ibrani telah
ditemukan pada waktu itu, tentu saja Perjanjian Lama akan memberikan kesaksian
tentang hal itu, dan bukannya malah membuat istilah atau susunan
kata-kata (wordings) yang kabur tentang `bahasa orang-orang
Yahudi' (Jews' language) atau bahasa Kanaan (language of Canaan).
Dengan kenyataan bahwa
teks secara generik merujuk pada bahasa Kanaan yang secara sederhana bisa
dikatakan berbahasa Kanaan, kita dapat menyimpulkan bahwa bangsa Israel tidak
mempunyai sebuah bahasa yang khusus pada waktu terpecahnya Kerajaan menjadi
Israel dan Yehuda.
Sesungguhnya kata-kata
`bahasa Ibrani' memang benar-benar ada, tapi ia mendahului bangsa Israel, dan
tidak merujuk pada sesuatu yang berhubungan secara jauh dengan Yahudi.
Kata-kata `ibri (Habiru) dan`ibrani (Hebrew) telah lama dipakai
bahkan sebelum 2000 Sebelum Masehi, dan merujuk pada sebuah grup dari suku-suku
Arab di daerah-daerah bagian utara Jazirah Arabia, di padang pasir Suriah.
Sebutan itu menyebar ke suku-suku Arab yang lain di daerah itu hingga menjadi
sinonim dengan `son of the desert' (anak padang pasir).
Teks-teks
Cuneiform dan Fir'aunis semenjak sebelum bangsa Israel pun menggunakan
kata-kata seperti `Ibri, Habiri, Habiru, Khabiru, dan
`Abiru. Dalam hal ini istilah `Ibrani, seperti dianggap berasal dari
Abraham dalam Bibel, berarti seorang anggota dari `Abiru (atau suku-suku Arab
nomad), yang dia sendiri merupakan salah satu anggotanya. Frase `Ibrit,
yang menunjukkan orang-orang Yahudi, diciptakan belakangan oleh para rabi di
Palestina. (Bersambung)
Foto-foto: Ummat Kristiani
Orthodoks Suriah oleh Getty Images
Tidak ada komentar:
Posting Komentar