Jumat, 01 April 2016

Partai Kerajaan Saudi & Ideologi Ekstrim Wahabi




Di tahun 2006, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono memberi peringatan akan adanya penyusupan gerakan radikal (Zionis-Wahabi) ke dalam partai-partai Islam. Menurut Juwono Sudarsono, gerakan radikal itu bernaung di parpol yang mengatasnamakan Islam sambil menunggu momentum radikalisasi.

Atas pernyataannya itu, Menhan Juwono Sudarsono menerima badai protes dari kalangan partai, salah satunya Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring. Dia menyebut pernyataan Menhan itu hanya memberi stigma negatif partai-partai Islam (untuk kita bisa mengartikannya sebagai partai-partai yang membajak dan mengatasnamakan Islam). 

Dia (Tifatul Sembiring) menyebut Menhan telah menggunakan cara-cara Orde Baru. “Kalau memang punya bukti, langsung tunjuk hidung partai mana yang dimaksud,” tantang Tifatul Sembiring menanggapi pernyataan Menhan Juwono Sudarsono. Tak heran jika mantan presiden PKS, yang pernah menjabat sebagai Menkominfo di pemerintahan SBY tersebut, bersikap sangat keras terhadap peringatan Menhan Juwuno Sudarsono di tahun 2006 itu.

Bersama Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring adalah peletak dasar ideologi PKS. Keduanya berasal dari gerakan Tarbiyah, yang ingin mentransplantasi ideologi politik Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan ideologi keagamaan Wahabi dari Arab Saudi.

Berdirinya PKS berawal dari kelompok keagamaan (tepatnya gerakan Wahabisme) yang berbasis di kampus-kampus negeri (utamanya kampus-kampus sekuler yang mahasiswanya minim pengetahuan agama) pada awal 1980-an. Kelompok ini kerap disebut gerakan Tarbiyah (pendidikan) atau Usroh (keluarga). Gerakan ini disebut tarbiyah karena dibangun dengan kegiatan mentoring atau pendidikan keagamaan oleh kelompok-kelompok yang dibentuk di sekitar kampus.

Setiap kelompok terdiri dari 5-7 orang yang dibimbing seorang murabbi (mentor) dengan kewajiban saling menjaga satu sama lain, tak hanya dalam aktivitas belajar tapi juga dalam aspek kehidupan sehingga seperti keluarga (usroh). Bahkan, seorang murabbi juga bertugas mencarikan jodoh bagi anggotanya, tentu saja itu dilakukan dengan motif semakin mempersolid usroh tersebut, karena mereka berpendapat, jika menikah dengan selain Wahabi dapat dikatakan sesat. 

Tak mengherankan, jika dalam banyak kasus, seorang anggota usroh lebih mendengarkan seorang murabbi daripada orang tuanya sendiri. Dan belakangan, mereka pandai berpura-pura untuk dapat masuk di kalangan Nahdhiyyin dan lain sebagainya.

Perkembangan gerakan Tarbiyah Wahabi itu di Indonesia terbilang cukup pesat, sehingga dalam tempo sepuluh tahun sejak 1980, telah menyebar ke seluruh kampus-kampus ternama di Indonesia seperti UI, IPB, ITB, UGM, Unair, Brawijaya, Unhas dan lain-lain. 

Kelahiran dua majalah Tarbiyah Wahabi, yang terbit akhir tahun 1986, yakni Ummi dan Sabili, yang menyebarkan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin Mesir dan Wahabisme Rezim Saud Saudi Arabia, menjadi wahana pembinaan juga sebagai media informasi dan komunikasi pemikiran Tarbiyah di Indonesia. Gerakan tarbiyah itu berjalan secara samar-samar selama rezim Orde Baru yang terkenal otoriter dan “diktator”. Pola gerak itu mencapai titik balik pada momentum politik 1998, di mana semua kekuatan membuka diri menyambut perubahan iklim politik Indonesia, tak terkecuali kelompok tarbiyah Wahabi. 

Dalam iklim keterbukaan politik yang permisif terhadap semua bentuk ekspresi ideologi, para aktivis tarbiyah Wahabi memutuskan untuk mendirikan Partai Keadilan (PK). Partai berlambang bulan sabit dan pedang ini dideklarasikan 9 Agustus 1998 di Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru dengan diikuti puluhan ribu pendukungnya.

Namun, jangan Anda salah sangka bahwa keterlibatan mereka dalam pemilu demokratis adalah bentuk penerimaan terhadap demokrasi. Sama sekali bukan. Cita-cita paling tinggi mereka adalah model Rezim Politik Wahabi yang sangat keras. Bagi mereka, sistem kepartaian, nasionalisme, atau pun demokrasi, hanyalah alat sementara, cara yang bisa ditunggangi untuk mencapai tujuan membentuk negara model Rezim dan Politik dalam ideal benak dan pemikiran Wahabisme. 

Mereka menunggangi demokrasi atau pemilihan umum hanya untuk merebut kekuasaan, sampai mereka berhasil membuat misi mereka terwujud, yaitu mewujudkan Daulah atau Khilafah model Wahabi dan Bani Umayyah, meski banyak dari mereka yang tidak sadar bahkan tidak paham bahwa cita-cita daulah atau khilafah itu tidak dikenal dalam Islam.

Bagaimana tidak? Azas Pancasila saja mereka tolak, dianggap sebagai azas sekuler dan kafir, dan jika ada anggotanya yang tetap menerima Pancasila, dicap futur (demoralisasi ideologi) hingga murtad bagi yang benar-benar menentang keras. Tentu kita masih ingat ketika beberapa oknum PKS melecehkan Sang Saka Merah Putih dan Pancasila.

Niat PKS dengan ideologi politik Ikhwanul Muslimin dan paham Wahabi ini memainkan peranan “playing as friend” (Berpura-pura menjadi teman atau mitra), awalnya terlihat ramah terhadap Pancasila dan Indonesia, namun tujuan mereka sejalan dengan Hizbut Tahrir. Toh, memang penggagas Hizbut Tahrir adalah sempalan Ikhwanul Muslimin dan kaum Wahabi yang merasa gemas dengan pola ‘berpura-pura’ yang dianggap lambat mencapai tujuan politik mereka.

Kedekatan PKS dan ideologi Ikhwanul Muslimin memang tak bisa dipungkiri, walau pun belakangan beberapa petinggi mereka pandai berpura-pura untuk menepis hal itu. Lihat saja reaksi mereka ketika pimpinan Ikhwanul Muslimin, Mohammed Mursi digulingkan dari kursi kepresidenan di Mesir, respon solidaritas PKS sangat massif melebihi solidaritas mereka terhadap berbagai kekerasan atas umat Islam di tanah air.

Anis Matta, yang menjadi presiden PKS saat itu juga terang-terangan menyatakan bahwa inspirasi-inspirasi Ikhwanul Muslimin memberi kekuatan pada PKS. Dari Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, hingga Anis Matta yang terang-terangan memuja Al-Qaeda yang buatan CIA-Amerika, yang ironisnya banyak anggota PKS sendiri tidak tahu bahwa Al-Qaeda adalah buatan dan binaan CIA-Amerika, sebagaimana ISIS saat ini yang juga buatan dan binaan CIA-Amerika dan Mossad-Israel.

Seperti telah sama-sama kita ketahui, Wahabi mengasosiasikan diri sebagai kaum salaf yang mengharamkan semua bid’ah dan memahami ajaran Islam secara harfiah (peringatan Maulid, tahlilan, atau ziarah kubur diharamkan) dan menganggap yang bertentangan dengan mereka adalah kafir, meski kenyataannya mereka justru terputus dari sanad salaf. Sedangkan ikhwanul muslimin bergerak di bidang politik. Karena tujuan untuk mendirikan negara versi mereka tak lagi dapat dilakukan seperti cara NII melalui pemberontakan, tapi dengan merebut kekuasan politik.

Jadi jangan heran jika dalam tubuh PKS ada Hilmi Aminuddin, putera Danu Muhammad Hasan, salah satu pemimpin gerakan Negara Islam Indonesia, Panglima NII Jawa dan Madura. Dan perkembangan mutakhir saat ini adalah mereka berusaha masuk dan mempengaruhi basis Nahdhiyyin dengan jalan pernikahan atau dengan berpura-pura tidak masalah dengan tradisi Nahdhiyyin, karena tujuan mereka adalah melakukan ideologisasi di dalam rumah tangga dan kepada istri dari basis Nahdhiyyin yang mereka nikahi.

Belajar dari kegagalan cara-cara pemberontakan mereka itu, kalangan Wahabi ini memanfaatkan alam demokrasi untuk mendirikan parpol dan merangsek masuk ke dalam birokrasi dan pemerintahan. Mereka memaksakan aturan paham mereka secara ketat hingga melanggar hak azasi warga negara yang berbeda keyakinan.

Yang lebih mendekatkan Wahabi dengan Ikhwanul Muslimin adalah ketidaktundukan mereka terhadap pemerintahan negara, atas nama nasional. Mereka hanya akan tunduk pada negara dan pemerintahan versi mereka, dan setiap upaya mereka adalah untuk mewujudkan tujuan tersebut.

Dalam mengembangkan sayap dan pengaruhnya, PKS melakukan infiltrasi ke berbagai ormas, lembaga pendidikan, instansi pemerintahan dan swasta. Bahkan di kampus-kampus, mereka memaksakan mentoring dan liqa’ untuk menyebarkan paham mereka, membuat kesepakatan dengan pihak kampus, agar mahasiswa tingkat awal mendapatkan mata kuliah dan materi dari mereka, dan minta diwajibkan untuk liqa’. Jika tidak mengikuti, maka ancaman nilai Agama Islam akan buruk dan mempengaruhi masa depan kelulusan karena mata kuliah wajib.

Sebagai contoh, dalam kasus Muhammadiyah, PKS menuggangi amal usaha, masjid, lembaga pendidikan, dan fasilitas lainnya demi tujuan politiknya. Penolakan Muhammadiyah terhadap PKS diwujudkan dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah Nomor: 149/Kep/I.0/B/2006. SKPP menyebut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai politik yang memanfaatkan Muhammadiyah demi kekuasaan politik.

Karena itu SKPP menyerukan para anggota dan pimpinan Muhammadiyah agar membebaskan diri dari misi dan tujuan PKS. Dan pada 2006 pula, sebuah TK milik Aisyiyah Muhammadiyah di Prambanan yang telah berdiri 20 tahun hendak diubah menjadi TK Islam Terpadu. Di belakang rencana itu, ada Hidayat Nur Wahid yang saat itu menjabat Ketua MPR dan Dewan Pembina dan Pengurus Yayasan Islamic Centre yang berafiliasi dengan PKS. 

Tentu saja Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah keberatan dengan rencana itu. Kasus lain menunjukkan di mana PKS mengambil alih tanah masjid wakaf Muhammadiyah ketika Hidayat Nur Wahid membantu membangun fisik masjid di atasnya.

Keberadaan Kelompok Tarbiyah Ikhwanul Muslimin (PKS) di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai terkuak tatkala Farid Setiawan, pengurus Muhammadiyah wilayah Yogyakarta, menulis sebuah artikel opini di Majalah Suara Muhammadiyah. Dalam artikel berjudul “Tiga Upaya Mu’alimin dan Mu’alimat” itu Farid Setiawan mensinyalir penyusupan agen-agen garis keras di Madrasah Mualimin dan Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta. Kedua lembaga pendidikan menengah ini dikenal sebagai tempat pengkaderan ulama Muhammadiyah yang langsung dikelola oleh Pimpinan Pusat.

Di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), gerakan penyusupan paham Wahabi-Ikhwanul Muslimin demikian kuatnya, terutama lewat Fakultas Teknik, Agama Islam, dan Program Magister Agama Islam, di mana ketuanya adalah Dewan Syuro PKS, Dr. Muinudinillah, Lc., lulusan King Abdul Aziz University Arab Saudi. Yang menarik adalah, kira-kira tiga perempat mahasiswa S2 Studi Islam itu merupakan kader PKS yang dibawa oleh direkturnya dan mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Arab Saudi yang sangat gencar menyebarkan Wahabisme.

Penyusupan ideologi PKS di forum-forum pengajian kantor pemerintah pernah menggegerkan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok dan Bogor pada tahun 2006, yang saat itu dipimpin Walikota Nur Mahmudi Ismail, mantan Presiden PKS. Hasbullah Rachmad, ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Depok, mengungkapkan hal tersebut pada Desember 2006.

Hasbullah memberi contoh bahwa pengajian rutin yang dibawakan guru ngaji dari Fraksi PKS di kalangan birokrasi Pemkot Depok merupakan bentuk pemaksaan. “Mereka yang ingin karirnya naik diwajibkan ikut pengajian PKS. Itu benar-benar terjadi,” kata Hasbullah. Banyak sekali kasus pemaksaan atas cara beragama dan ibadah orang lain, sesuai dengan prinsip Wahabi. Alangkah mengherankan dan sangat patut dipertanyakan, mengapa PKS dengan Ikhwanul Muslimin ala Mesir dan paham Wahabi ala Rezim Saud ini dapat lestari di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar