Senin, 30 Mei 2016

Melepaskan Ketakutan


oleh Neale Donald Walsch

“Jadikanlah dirimu sebagai timbangan dalam hubunganmu dengan orang lain, dan cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri” (Ali son of Abi Thalib, the Hero of Islam)

Ketika saya pernah hidup sebagai tunawisma, di bawah langit terbuka dan di dalam cuaca yang dingin, ketika itu saya memahami, berdasarkan pengalaman, mengenai rasa takut. Saya juga belajar bagaimana mengatasinya. Dan saat ini saya sangat sedikit memiliki ketakutan ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan menarik: Apakah ini pertama akibat, hilangnya rasa takut, atau karena saya telah menikmati kehidupan tersebut? Apakah dengan menikmati kehidupan itu menyebabkan hilangnya rasa takut, atau justru hilangnya rasa takut yang menghasilkan kehidupan yang baik?

Saya sekarang menjadi jelas bahwa adalah hilangnya rasa takut yang dapat menghasilkan kehidupan yang baik. Sayangnya, saya telah berjuang sepanjang hidup saya untuk menghilangkan rasa takut saya. Dalam kasus saya, saya harus benar-benar kehilangan segalanya terlebih dahulu sebelum saya bisa sampai ke tempat di mana saya tidak merasa takut lagi terhadap kehilangan! Saya sendiri telah mengalami situasi yang paling rendah, melepaskan semua yang saya kasihi, melepaskan semua harta benda fisik saya, melihat semua mimpi dan tujuan hidup saya menguap begitu saja, dan rasa tak percaya ketika saya menemukan diri saya sendiri menjadi tunawisma.

Hanya ketika saya sampai di tempat di mana saya telah merasa ”nothing to lose” saya bisa menghilangkan satu hal yang saya selalu mencoba menghilangkannya: rasa takut saya. Di luar sana, di jalan, pikiran saya melihat ke segala sesuatu yang saya harus mendapatkan –dan saya kemudian mendapatkan segalanya. Kemana pikiran Anda tertuju, akan ada masa depan yang Anda bisa capai.

Saya tidak menyarankan proses ini kepada orang lain. Saya yakin ada cara yang lebih mudah untuk memahaminya, seperti Franklin Roosevelt mengatakan, “tidak ada yang harus ditakuti, kecuali rasa takut itu sendiri.” Beberapa kali sebelumnya dalam hidup saya, saya telah mencoba untuk mengajarkan pada diri sendiri pelajaran ini, untuk selalu mengingat kebenaran ini. Banyak sekali sebelumnya dalam hidup saya, saya telah mengalami kerugian yang saya yakin akan membuat saya tidak bahagia selamanya, hanya untuk kemudian menemukan bahwa sukacita dan kebahagiaan tidaklah sukar untuk dipahami hampir sama seperti dengan membayangkan hal itu akan terjadi, dan bahwa saya bisa bahagia tanpa hal yang berada di luar diri saya.

Apa yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa hidup saya telah menunjukkan kepada saya berkali-kali bahwa saya dapat bertahan terhadap kehilangan yang sangat besar dan masih bisa mempertahankan kedamaian dan kebahagiaan bathin saya. Dan sekarang, setelah pengalaman Percakapan dengan Tuhan, saya benar-benar sangat jelas tentang hal ini, karena saya telah memahami bahwa damai dan sukacita dan kebahagiaan yang saya cari bukan berasal dari luar diri saya sendiri. Tetapi dari dalam diri ini.

Kedengarannya seperti klise ketika saya mengatakan sesuatu seperti semua orang mengatakan “kegembiraan harus datang dari dalam.” Tapi itu benar adanya. Setiap kali saya menempatkan sumber kebahagiaan di luar diri saya, saya menjadi kecewa. Setiap kali saya menempatkan sumber kebahagiaan dalam diri saya, saya menjadi terpenuhi. Saya ingin berbagi dengan Anda teknik yang telah saya digunakan dengan efektivitas yang luar biasa dalam kehidupan saya sendiri dengan menyadari bahwa kebahagiaan sejati dan suka cita yang terbesar terletak di dalam diri saya dan saya mengalami kebahagiaan ketika saya membawa kebahagiaan tersebut pada orang lain.

Semua yang harus saya lakukan untuk mengalami semua kedamaian, semua kebijaksanaan, semua pengertian, semua kebahagiaan, dan semua kebahagiaan yang terletak di dalam diri saya (dan yang secara inheren adalah bagian dari ke-alami-an saya) adalah memutuskan untuk memberikan semuanya ini –untuk menjadi sumber bagi orang lain. Ketika saya memberikan kepada orang lain, saya menjadi merasa bahwa saya telah memilikinya.

Cara tercepat untuk mengalami bahwa Anda memiliki sesuatu –cara tercepat untuk mengalami bahwa Anda ADALAH sesuatu –adalah dengan memberikan apa yang Anda miliki sepenuhnya kepada orang lain. Itulah sebabnya telah dikatakan oleh hampir semua master spiritual yang telah berjalan di planet ini: “Adalah lebih diberkati dengan memberi daripada menerima.”

Ini bukanlah karena “memberi” adalah “baik untuk dilakukan,” tetapi karena “memberi” adalah jalur tercepat menuju harta karun yang ada di dalam diri masing-masing.  Ini adalah kombinasi yang membuka kunci. Ini adalah kunci yang bisa membuka. Ini adalah bagaimana kita masuk ke ruang tempat tinggal Diri Sejati kita. Begitu kita berada di ruang itu, kita menyadari berasal dari ruang itu. Dan itu adalah rahasia terbesar.

Ketika Anda datang dari tempat dimana Diri Sejati berada, Anda secara alamiah akan mengirimkan keluar –Anda benar-benar akan memancarkan dari dalam diri Anda sendiri –Pusat Energi yang ditemukan pada inti dari keberadaan Anda. Energi ini disebut, oleh beberapa orang, sebagai Cinta. Ini-lah diri Anda yang sesungguhnya. Dan tidak ada yang lebih cepat atau lebih mendalam untuk mengalami ini daripada membiarkan energi ini mengalir melalui Anda kepada orang lain.

Hal yang menarik adalah bahwa dalam pilihan ini Anda tidak hanya menemukan diri Anda Sendiri, tetapi Anda memberitahu orang lain untuk kembali ke dalam diri mereka sendiri. Untuk apa yang orang lain telah lihat pada diri Anda, mereka akan mulai melihat dalam diri mereka sendiri. Anda berdiri sebagai teladan dan pilihan yang lebih baik bagi orang lain.

Dan, tentu saja, ketika Anda membawa kebahagiaan dan kegembiraan dan kedamaian ini kepada orang lain, mereka akan mengalami diri mereka sebagai lebih dari Siapa Mereka Sesungguhnya. Mereka kembali berhubungan dengan diri mereka sendiri. Jadi terjadi dua hal sekaligus: Mereka melihat diri  mereka di dalam diri Anda, dan mereka mengalami Diri Sejati mereka dalam diri mereka sendiri.

Ketika Anda membawa kebahagiaan pada seseorang, mereka menjadi bahagia. Ketika Anda membawa suka-cita pada seseorang, mereka menjadi gembira. Ketika Anda membawa kebijaksanaan pada seseorang, mereka menjadi bijaksana. Yang Anda lakukan adalah menempatkan mereka untuk berhubungan dengan apa yang sudah ada dalam diri mereka. Ini adalah wawasan dari setiap master. Ini adalah pemahaman dari setiap guru besar. Kita tidak melakukan apa pun di sini sehubungan dengan pekerjaan spiritual kita tapi membuat orang kembali kepada diri mereka sendiri.

PERTAMA, kita mulai dengan diri kita sendiri. Kemudian kita beralih ke orang lain. Pada akhirnya, seluruh umat manusia kembali ke Hakikat dirinya masing masing. Bisakah ini terjadi? Dapatkah ini benar-benar terjadi? Apakah transformasi dari seluruh spesies memungkinkan? Tentu saja. Ini disebut pertumbuhan. Ini adalah cara di mana suatu spesies berevolusi.

Kita sekarang sedang bergerak pada fase cepat dalam proses ini. Proses itu sendiri sedang mempercepat diri, secara eksponensial. Pertanyaannya bukanlah apakah hal ini akan terjadi, pertanyaannya adalah, apa yang akan Anda perankan dalam membuat semuanya ini terjadi? Apakah ini adalah sesuatu yang akan terjadi PADA Anda, atau sesuatu yang terjadi MELALUI Anda? Itulah satu-satunya pertanyaannya.

Agar itu terjadi melalui kita, kita harus melepaskan diri kita dari ketakutan-ketakutan. Salah satu ketakutan terbesar dalam hidup, seperti yang saya amati, adalah ketakutan untuk ditolak.  Tentu saja, saya telah mengalami ketakutan ini dalam hidup saya. Saya percaya bahwa sebagian besar dari kita memiliki ketakutan itu. Saya telah menemukan obat penawar yang kuat untuk ketakutan ini. Saya tidak menolak siapa pun untuk alasan apa pun sama sekali.

Ketika saya memberikan pada orang lain penerimaan total saya, sesuatu yang sangat luar biasa terjadi. Dua hal, sebenarnya. Pertama, ketika saya memberi orang lain penerimaan total saya, saya memberi diri saya total penerimaan. Kedua, ketika saya memberi orang lain total penerimaan saya mereka memberi saya total penerimaan mereka. Apa yang terjadi di sekitar, datang di sekitar. Hidup memberikan kepada kita apa yang kita berikan ke sana. Sederhananya seperti ini, ketika saya berbicara di sini, saya merasa tidak berbicara kepada seseorang. Kebenarannya adalah, saya sesungguhnya sedang berbicara pada diri sendiri. Saya mengingatkan diri saya sendiri tentang apa yang saya sudah ketahui.

Percakapan dengan Tuhan telah memberitahukan pada kita bahwa hanya ada dua tempat berasal ketika kita bergerak melalui kehidupan kita. Apakah itu berasal dari Cinta atau berasal dari rasa Takut dalam segala sesuatu yang kita pikirkan, katakan dan lakukan. Saya telah belajar untuk memeriksa dalam bathin saya dari mana asal semua pikiran, kata-kata, dan tindakan penting saya. Dan ketika saya merasa bahwa hal itu datang dari rasa takut, saya mencoba bergerak lebih dekat ke inti dari keberadaan saya, ke Hakikat Energi saya, ke Diri Sejati saya.

Kadang-kadang terasa berbahaya bagi saya untuk melakukan hal ini. Kadang-kadang terasa seakan-akan saya mempertaruhkan segalanya. Hanya ketika saya terus memahami bahwa saya tidak akan kehilangan apapun saya merasa mudah untuk berdiri dalam kebenaran, untuk mengatakan apa yang saya rasakan, untuk mengekspresikan diri otentik saya setiap saat, dan untuk melepaskan tameng yang saya pegang di depan saya ketika membayangkan bahwa saya harus melindungi diri saya dari Anda.

Saat ini jelas bagi saya bahwa saya tidak perlu untuk melindungi diri saya dari siapapun. Anda tidak terpisah dari siapapun. Dalam realitas Kesatuan kita, kita akan menemukan kebebasan sejati dari rasa takut.

Saya harap Anda baik untuk hari ini. Saya berharap Anda berhasil di perjalanan Anda. Saya berharap Anda menemukan kedamaian dan sukacita dan cinta dan kebahagiaan di jalan Anda. Saya berjanji akan memberikan bantuan sepanjang jalan kapan saja dan bagaimanapun saya bisa. Saya memilih untuk tidak pernah merasa terpisah dari kehidupan lagi, dalam setiap bentuk-bentuk yang nyata. Saya terbebas. Terbebas dari rasa takut pada akhirnya. Di dalam Kesatuan saya terbebas.

Jumat, 27 Mei 2016

Imam Ali Al-Murtadha dan Musafir Non Muslim


Hari itu seorang musafir bergerak ke arah kota Kufah, Irak. Ia telah melewati perjalanan yang jauh untuk mencapai suatu tempat di sekitar Kufah dan kini ia merasa kelelahan. Dia berpikir alangkah baik dan menyenangkan bila ia mempunyai teman seperjalanan. Satu jam kemudian, tampak sesosok orang dari kejauhan. Sang musafir merasa gembira dan berkata sendirian, ”Aku akan bersabar sampai orang itu datang menghampiriku. Mungkin saja dia bisa menjadi teman seperjalananku.”

Sosok dari kejauhan itu akhirnya mendekat. Ternyata dia adalah seorang lelaki yang berwajah menarik dan bercahaya. Terlihat senyum terukir di bibir lelaki itu. Ketika keduanya berdekatan, mereka saling bertanya kabar. Ternyata, lelaki itu juga akan pergi ke Kufah. Sang musafir yang kesepian tadi merasa gembira karena kini dia telah memiliki teman seperjalanan. Lelaki yang baru tiba itu ternyata tidak lain adalah Imam Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, Imam Ali menyembunyikan identitasnya.

Keduanya akhirnya bersama-sama melanjutkan perjalanan. Mereka lalui perjalanan itu sambil berbincang-bincang. Tak lama kemudian, Imam Ali mengetahui bahwa teman seperjalanannya itu adalah seorang non-muslim. Dan Imam Ali memperlakukannya dengan sangat baik layaknya seorang sahabat bagi si musafir, sampai-sampai lelaki non-muslim itu merasakan kecintaan terhadap Imam Ali yang kala itu adalah seorang khalifah.

Si musafir itu lalu berhenti sejenak dan berkata kepada Imam Ali, “Sungguh menakjubkan, kebetulan satu jam yang lalu aku memohon teman seperjalanan untuk menemaniku agar beratnya perjalanan ini tidak terasa olehku, Lihatlah betapa Tuhan telah mengabulkan permintaanku. Sampai kini, aku tidak pernah menemui orang sebaik dan sepandai engkau dalam berbicara.”

Imam Ali hanya tersenyum ketika mendengar kata-kata lelaki itu dan mereka kembali meneruskan perjalanan mereka. Hingga sampailah mereka berdua itu pada sebuah persimpangan jalan. Satu jalan ke kota Kufah yang menjadi tempat tujuan Imam Ali bin Abi Thalib dan jalan lainnya merupakan arah yang dituju oleh si lelaki non-muslim (si musafir). Imam Ali tidak mengambil jalan ke arah Kota Kufah dan terus berjalan mengikuti teman seperjalanannya.

 Lelaki itu sibuk berbicara sehingga tidak menyadari hal tersebut. Beberapa saat kemudian, ketika dia mulai menyadarinya, ia kemudian bertanya, “Sahabatku, engkau telah salah memilih jalan, sewaktu di persimpangan tadi engkau seharusnya memilih jalan ke Kufah.” Imam Ali menjawab, “Aku tahu. Tetapi aku ingin mengiringimu sampai engkau menyelesaikan pembicaraanmu.” Lelaki itu merasa takjub mendengar ucapan Imam Ali tersebut, lalu berkata, “Budi pekertimu sungguh baik sekali. Aku ingin mengetahui lebih banyak tentang dirimu. Sebutkanlah namamu dan apakah pekerjaanmu?”

Imam Ali menjawab, “Sahabatku, aku adalah Ali bin Abi Thalib.” Lelaki non muslim itu yang sudah sering mendengar nama Ali dan mengetahui dia adalah pemimpin umat Islam, amat terkejut. Kebimbangan menyelimuti dirinya.  Dia berkata sendirian, “Ya Tuhanku, sejak tadi hingga kini, ternyata aku sedang bersama khalifah umat Islam dan aku tidak mengetahuinya sama sekali. Lalu, dia berkata kepada Imam Ali bin Abi Thalib, ”Kerendahhatian dan kebaikan perilaku Anda memang layak mendapat pujian. Apakah mereka yang dididik dengan ajaran Islam juga memiliki budi pekerti seperti Anda?”

Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menyampaikan sebuah pesan dari Nabi Muhammad saw kepada beliau, sebuah ajaran akhlak dari Rasulullah saw yang berbunyi, “Berlaku baiklah kepada sesama manusia sehingga mereka menyukai kalian selagi kalian hidup dan menangisi kalian ketika kalian meninggalkan dunia ini.” 


KENAPA ARAK HARAM DAN BUAH ANGGURNYA TIDAK HARAM?

Acapkali, para pemimpin (para rabbi) Yahudi ingin mengetahui seberapa kuat dasar agama di luar agama Yahudi, dan karena itu mereka seringkali juga senang menguji ‘kecerdasan’ ummat lain serta kekuatan argumentasi orang-orang religius di luar komunitas mereka, semisal yang sering mereka lakukan terhadap kaum muslim di jaman Rasulullah dan para imam ahlul-bait dan terhadap umat Kristiani di jaman Isa Al-Masih putra Maryam yang disucikan.

Suatu hari Imam Ali bin Abi Thalib diundang seorang pemipin Yahudi untuk mengahadiri acara jamuan di rumahnya. Kepada Imam Ali, pemimpin Yahudi itu menyuguhkan buah anggur. Imam Ali pun memakannya. Lalu pemimpin Yahudi itu memberi segelas khamr (arak) kepada Imam Ali (mungkin untuk mencobai Imam Ali, sebab dalam Yahudi pun khamr diharamkan). "Maaf, khamr diharamkan bagi kami kaum muslimin", kata Imam Ali. "Sungguh aneh sekali kalian ini wahai muslim", kata pemimpin Yahudi itu, "kalian menghalalkan anggur tapi mengharamkan khamr, padahal khamr berasal dari anggur".

"Apakah engkau memiliki istri?", tanya Imam Ali. "Punya!" Jawab pemimpin Yahudi itu. "Datangkanlah ia kemari". Pemimpin Yahudi itu pun memanggil istrinya. "Apakah kamu memiliki seorang putri?", tanya Imam Ali lagi. "Punya!", jawab pemimpin Yahudi itu. "Datangkan dia ke sini!" Pemimpin Yahudi itu pun memanggil putrinya. Dan setelah istri dan putri pemimpin Yahudi itu hadir, Imam Ali pun berkata kepadanya: "Bukankah Allah menghalalkan kepadamu istrimu dan mengharamkan putrimu untukmu, padahal putrimu berasal dari istrimu?"

Jumat, 20 Mei 2016

Tugas Ganda Filsuf


Bagi siapa pun yang ingin berkenalan dengan filsafat, biasanya pertanyaan yang mungkin paling pertama muncul dalam pikiran adalah: apakah filsafat? Dan justru memang pertanyaan filsafat yang paling mendasar inilah yang diajukan oleh Bryan Magee kepada filsuf Inggris, Sir Isaiah Berlin dari Oxford, penulis biografi Karl Marx itu.

Diskusi dengan Sir Isaiah Berlin yang diberi judul 'Pengantar ke Dalam Filsafat' ini berkisar pada berbagai permasalahan yang mendasar dalam filsafat. Landasan titik tolak yang diambil oleh filsafat sebagaimana secara panjang lebar dibentangkan oleh Isaiah Berlin, kurang lebih dapat kita simpulkan dengan mengatakan bahwa di tengah perjuangan mencari pengetahuan tentang manusia, mereka pada umumnya mengajukan dua jenis pertanyaan.

PERTAMA, berbagai pertanyaan mengenai dunia semesta. Manusia sepanjang masa mencoba menemukan serta menguasai lingkungannya, atau menaklukkan lingkungannya. Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut alam semesta ini, menurut Isaiah Berlin, hanya bisa terjawab pada akhirnya dengan meninjau pertanyaan-pertanyaan itu sendiri, menyelidiki, mengamati, menguji, melakukan percobaan terhadap semesta dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan itu bersifat faktual, atau sebagaimana yang dikatakan oleh para filsuf: bersifat empiris. Atau jelasnya, pertanyaan pertanyaan yang berpaut dengan pengalaman.

Pertanyaan yang Kedua bersifat lebih abstrak dan formal. Misalnya pertanyaan-pertanyaan dalam bidang matematika atau logika. Pertanyaan jenis ini berkaitan dengan hubungan timbal-balik antara berbagai kesatuan dengan sistem formal, dan oleh karena itu tidak dapat dijawab hanya dengan meninjau alam semesta. Dengan mengatakan hal ini, menurut Isaiah Berlin lagi, tidaklah dimaksudkan bahwa pertanyaan itu berada pada jarak yang jauh dari perhatian kita sehari-hari.

Satu sistem formal yang sudah sangat biasa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari adalah aritmatik. Sistem itu kita pergunakan setiap hari untuk menghitung sesuatu, menentukan waktu, membilang uang dan sebagainya. Suatu sistem niskala memang bisa sangat berguna dan penting dalam kehidupan praktis kita sehari-hari. Dengan demikian, terdapat dua golongan besar pertanyaan: berbagai pertanyaan empiris yang melibatkan ikhtiar meninjau berbagai fakta dan pertanyaan-petanyaan formal yang melibatkan upaya menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Hampir seluruh pertanyaan, dan karena itu seluruh pengetahuan, termasuk ke dalam salah satu dari golongan pertanyaan tadi. Namun tidaklah demikian halnya dengan pertanyaan pertanyaan yang bersifat filosofis. Hampir seluruh pertanyaan yang menunjukkan tanda-tanda pertanyaan filosofis tidak termasuk ke dalam dua golongan pertanyaan tadi.

Pertanyaan seperti apakah yang dimaksudkan dengan hak, keindahan, dan keadilan, tidak dapat sekadar dijawab hanya dengan meneliti ikatan suatu sistem formal atau meninjau fakta-fakta. Oleh sebab itu kita tidak mengetahui apa yang harus diperbuat untuk menemukan jawabannya. Timbulnya pertanyaan yang menuntut jawaban tanpa suatu pengertian yang jelas tentang bagaimana menemukan jawabannya adalah awal dari langkah filsafat.

Anggapan keliru yang terlanjur meluas di tengah masyarakat adalah perkiraan bahwa filsafat dapat memberikan petunjuk-petunjuk moral tentang bagaimana semestinya kehidupan ini harus dijalani, atau berharap bahwa filsafat dapat menyodorkan penjelasan tantang manusia dan alam semesta, tentang rahasia kehidupan. Atau, dengan lain perkataan, orang mencoba menghampiri filsafat untuk menemukan jawaban-jawaban yang serba pasti.

Seorang filsuf memang bisa bicara tentang moral, tapi dalam hal ini kedudukannya hanya sebagai penasehat filosofis. Bukanlah tugasnya untuk berkhotbah, mengutuk atau memuji, atau memberi berbagai petunjuk tentang bagaimana orang harus hidup. Tugas seorang filsuf, menurut Isaiah Berlin, hanyalah menempatkan arah dari satu tindakan dalam hubungan moralnya. Menentukan posisinya berdasarkan suatu peta moral, menghubungkan sifat, motif, tujuannya pada kaitan seluk-beluk nilai ke dalam mana tindakan itu tergolong. Menarik garis dari berbagai akibatnya yang mungkin terjadi serta berbagai implikasinya yang berpautan atau relevan, memberikan berbagai argumen yang pro atau menentangnya dengan seluruh pengetahuan, pengertian, kecakapan logika dan kedalaman moral yang dimiliki oleh sang filsuf.

Dengan demikian, maka ia telah menjalankan tugasnya bukan sebagai seorang pengkhotbah atau juru mudi kehidupan, melainkan sekadar sebagai seorang penasehat filosofis. Seorang filsuf tidak dapat berbuat lebih jauh dari itu atau melampaui batas tugasnya sebagai seorang penasehat filosofis.

Berpijak pada pandangan tadi, Isaiah Berlin menyuarakan keberatannya pada sebagian besar filsuf moral dan politik, mulai dari Plato dan Aristoteles sampai pada Immanuel Kant, Stuart Mill, Moore, serta kebanyakan para pemikir kontemporer. Menurut Isaiah Berlin, para filsuf itu justru berbuat sebaliknya. Mereka berusaha mengajarkan bagaimana membedakan antara yang buruk dengan yang baik, menganjurkan penerapan pola-pola yang benar ke dalam tingkah laku manusia.

Kendati demikian, diakui pula oleh Berlin bahwa filsafat mengemban tugas ganda: menyelidiki, khususnya mengecam pra-anggapan atas ketentuan-ketentuan nilai yang ditetapkan atau dirumuskan oleh manusia dengan pikiran maupun tindakannya. Sedangkan tugas lain adalah menampung atau melayani berbagai pertanyaan yang tidak termasuk ke dalam golongan formal maupun ke dalam golongan empiris yang telah disinggung di permulaan tadi.