Sabtu, 16 April 2016

Kenapa Sukhoi Indonesia Ditakuti?


Kemajuan dasar dan landasan pertimbangan dan pemikiran strategis serta visi dari Pimpinan TNI, khususnya TNI AU serta Kemenhan untuk memodernisasi daya pukul alutsista TNI AU membawa angin segar dalam bidang pertahanan Indonesia, yaitu kebutuhan akan Angkatan Udara yang kuat. Tentulah hal itu merupakan sebuah kesadaran dan kebersamaan yang cerdas dalam mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara, dimana upaya untuk mencapai kekuatan pokok minimum MEF (Minimum Essential Force) pertahanan masih menjadi fokus kebijakan pembangunan kekuatan dan kemampuan TNI ke depan.

Setelah melalui jalan panjang, TNI AU mulai dibenahi oleh pimpinan nasional yang melihat betapa pentingnya peran angkatan udara disebuah negara. Sebagai contoh, Amerika Serikat memainkan USAF sebagai sarana pendikte dan mementahkan kekuatan militer Libya, dalam membantu pemberontakan di Libya terhadap Kolonel Muammar Khadafi yang akhirnya tumbang dan bahkan dibunuh dengan keji oleh gabungan pasukan Amerika dan NATO.

Dengan kemajuan visi pertahanan dan strategis tersebut, TNI AU pun mulai menggunakan keluarga Sukhoi-27 pada tahun 2003 setelah batalnya kontrak pembelian 12 unit Su-30MKI pada 1996 akibat krisis keuangan dan gangguang pihak-pihak yang tidak ingin melihat militer Indonesia menjadi kuat. Kontrak tahun 2003 itu mencakup pembelian 2 unit Sukhoi-27SK dan 2 unit Sukhoi-30MK senilai 192 juta dolar AS tanpa paket senjata. Itulah awal kebangkitan kekuatan udara Indonesia dalam mengimbangi kekuatan udara negara-negara tetangga yang secara geopolitik seakan seperti didikte oleh paguyuban Amerika dan Australia, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina yang merupakan sekutu-sekutu Barat.  

Angkata Udara Indonesia pun mulai lebih disegani setelah acara MAKS 2007 di Moskow, dimana Departemen Pertahanan mengumumkan kontrak untuk pembelian 3 unit Sukhoi-27SKM dan 3 unit Sukhoi-30MK2 senilai 350 juta dolar AS. Kini TNI AU sudah memiliki 10 Sukhoi dan menjadi satu skuadron pada 2014 silam.

TNI AU MEMBACA KERISAUAN AUSTRALIA
Tentu saja, dalam meninjau ancaman, intelijen udara mengukur dari sisi kekuatan, kemampuan dan kerawanan, baik unsur penyerang maupun unsur pertahanan musuh ataupun calon musuh. Standar analisa intelijen udara di negara manapun menggunakan standar yang sama, 3K dan 1N (Niat).

Sejak Operasi Trikora-nya Bung Karno pada 1961 yang fantastis dan legendaris serta mencengangkan dan mengagetkan dunia internasional itu, Australia walaupun tidak secara langsung menempatkan Indonesia sebagai ancaman, mengatakan bahwa musuh akan datang dari Utara. Australia pun menggelar kekuatannya lebih fokus ke Utara, dan pengamatan wilayah dilakukan dengan over the horizon radar, yang mampu memonitor hingga pulau Jawa dan Kalimantan.

Sementara otu, sejak TNI AU mengikuti latihan bersamadalam Pitch Black 2012 di Australia, pemerintah Australia, khususnya RAAF merasakan kegundahan dan keterkejutan, dimana Su-30 TNI AU ternyata lebih unggul dibandingkan F-18F Super Hornet hampir di semua lini. Dari hasil latihan tersebut, Australia harus membuat pilihan, memilih rencana pengadaan 100 unit F-35 Lightning dari Amerika (joint strike fighter) atau tetap membeli dua skadron 24 F-18 Super Hornet. Dalam Pitch Black 2012 itu, yang menjadi sorotan media-media internasional adalah kehadiran Sukhoi Indonesia yang menjadi bintang utama.

The Business Spectator, misalnya, menyatakan, “Indonesia merencanakan akan membeli 180 pesawat tempur Sukhoi dari Rusia/India yaitu PAK-FA T-50 atau Su-35S. Jadi pertanyaannya lebih baik dipilih F-35 daripada Hornet. Apabila Indonesia kemudian di masa depan ikut memperkuat Angkatan Udaranya dengan Su-35S atau T-50, maka AU Australia akan menjumpai masalah besar ".

Di belahan dunia yang lain, siaran pers resmi yang ditulis harian Rossiiskaya Gazeta mengatakan bahwa T-50 akan menggabungkan fungsi dari peran sebagai pesawat serbu dan fungsi sebagai jet tempur. Pesawat ini dilengkapi dengan avionik modern yang mengintegrasikan fungsi elektronik dan array radar. Perlengkapan baru tersebut akan memberikan kesempatan kepada penerbang untuk lebih berkonsentrasi dalam melakukan tugas pertempuran.

Para pengamat militer di Australia menyatakan bahwa dalam memegang slogan RAAF (first look, first shoot, first kill’), para pejabat pertahanan harus berjuang keras mencari jalan keluar dengan tidak mempertahankan Hornet yang dianggap sudah ketinggalan jaman. Sukhoi oleh Australia dinilai terlalu hebat.

Tak cuma itu, bahkan lebih jauh analis Bussines Spectator menyatakan, “Sebagai contoh, JSF (Joint Srike Fighter) dapat beroperasi secara efektif hanya untuk ketinggian maksimal sekitar 40.000 kaki (walau masih bisa beroperasi lebih tinggi tetapi kalah di tingkat yang lebih tinggi). Sebaliknya, Sukhoi dapat beroperasi pada kapasitas penuh di tingkat yang jauh lebih tinggi dan dengan kelebihan dan keuntungan, mereka memiliki sistem dan senjata yang bisa meruntuhkan sebuah JSF Australia sebelum mereka memiliki kesempatan menerapkan slogannya.”

Business Spectator bahkan menegaskan bahwa: “Tidak ada pertempuran udara yang diperlukan, karena sejatinya pesawat Australia sudah runtuh sebelum bertempur, karena disergap jauh sebelum dia menyadarinya".

Jalan keluar yang disarankan adalah apabila Australia (RAAF) memiliki F-22 Raptor atau teknologi Raptor yang diterapkan pada pesawat tempur pilihan yang dipilih. Masalahnya adalah Amerika tidak mengijinkan F-22 dijual kepada negara lain selain untuk kepentingan pertahanan dalam negerinya.

Anehnya di dalam negeri Australia sendiri, New Australia merekomendasikan agar Pemerintah Australia justru memilih Sukhoi seperti yang dilakukan India, mendapatkan lisensi dengan ijin membangun Sukhoi Australia, baik Sukhoi Flanker Su-35S atau pesawat Su-32 Fullback. Preferensi saat ini adalah Su-35S. Saat ini Sukhoi memberikan lisensi pembuatan pesawat tempur di India dan China. Australia bisa membeli utuh pesawat Sukhoi dan membangun avioniknya, dan persenjataan lokal. Sukhoi adalah ‘open source’, demikian menurut New Asia.

Memang sudah diakui dunia internasional bahwa Sukhoi dinilai jauh lebih unggul dibandingkan JSF. Su-35, contohnya, memiliki jangkauan efektif sekitar 4.000 km dibandingkan dengan hanya 2.200 km untuk F-35. Ini berarti JSF membutuhkan dukungan pesawat tanker untuk menutup ruang (wilayah Australia) yang lebarnya 4.000km. Selain itu, kecepatan Su-35 adalah Mach 2,4 (hampir dua setengah kali kecepatan suara), sedangkan F-35 terbatas pada Mach 1.6.

Kini Australia menghadapi dilema kegundahan. RAAF terus mengikuti perkembangan modernisasi TNI AU. Dengan memiliki keluarga Flankers, maka Indonesia pada masa mendatang bukan tidak mungkin akan bisa memiliki pesawat tempur Su-35 dan sudah memesan, dan bahkan pesawat tempur T-50 generasi kelima. T-50 PAK FA jet tempur (Prospective Airborne Complex of Frontline Aviation) kini sedang mengalami uji engine di Zhukovsky Airfield, Moscow.

Berdasarkan beberapa fakta tersebut, nampaknya Australia kini berada dalam kondisi mengalami kegundahan seperti tahun 1961, dimana Tu-16 AURI mampu mencapai daratannya tanpa terdeteksi dan tidak dapat diantisipasi. Dengan memiliki gabungan alutsista tempur udara Timur dan Barat, Indonesia kini menjadi negara yang disegani negara-negara tetangganya.  

Australia menjadi lebih gundah setelah mengetahui Indonesia tertarik untuk mendirikan sebuah pusat perawatan bersama untuk pesawat fixed dan rotary wing Rusia. Victor Komardin, wakil kepala Rosoboronexport, eksportir peralatan perang Rusia, telah mengumumkan hal tersebut di Air show LIMA 2013 di Malaysia.  

Dapatlah disimpulkan bahwa dengan sudah mengawali kepemilikan keluarga Flankers (Su 27/30), Indonesia (TNI AU) menjadi negara yang sangat diperhitungkan oleh Australia dan pasti juga oleh tetangga lainnya. Alih teknologi ke pesawat yang lebih canggih hanyalah soal waktu yang tidak terlalu rumit dilakukan TNI AU apabila ada pengembangan kekuatan. Australia sangat khawatir Indonesia berpeluang memiliki Su-35 dan bukan tidak mungkin dengan ekonominya yang semakin baik, suatu saat Indonesia akan memiliki pesawat tempur T-50. Para pamen dan intelijen udara pun dituntut berfikir jauh dan strategis, memperkirakan perkembangan situasi global dan regional sehingga dapat memberikan masukan kepada pimpinan yang akurat. 


Minggu, 10 April 2016

Proyek Anti-Komunis CIA di Asia Tenggara




CIA didirikan pada 1947. Tugasnya yang utama adalah kontra-intelijen, untuk melindungi Amerika dari gangguan subversi komunis atau apa pun yang memusuhinya. Tiga huruf itu kemudian bergetar di seluruh dunia sebagai tangan-tangan hitam Amerika. Artikel ini adalah kutipan dari buku Portrait of a Cold Warrior: G.P. Putnam’s Sons karya Joseph Burkholder Smith, bekas agen Central Intelligence Agency, terbitan 1976. Dan salah satu kiprah CIA adalah mendongkel (mengkudeta) Soekarno dengan membantu gerakan separatis PRRI dan Permesta.

“Butuh waktu buat saya untuk membiasakan diri memakai papan nama yang dikalungkan ke leher. Untuk membiasakan diri menyadari bahwa kerja saya selanjutnya akan didominasi oleh lemari dengan tiga kombinasi. Setiap malam, segala sesuatu, sampai pita mesin ketik pun, mesti diamankan di dalam lemari itu. Sementara itu, tiga petugas berganti-ganti memeriksa, untuk meyakinkan segala sesuatu normal-normal saja. Siapa pun yang melanggar aturan-aturan tersebut akan dihukum: harus menempuh ulang pendidikan sekuriti selama satu minggu. Kabar burung mengatakan, tiga pelanggaran akan membawa pemecatan.

Dipikir-pikir, segala macam peraturan pengamanan yang mengatur hidup saya dengan edannya itu tak lebih sejumlah keanehan saja, bahkan seringkali lucu. Coba pikir, sudah ada pagar jangkung, ada pengawal gerbang yang melindungi dan memelihara keamanan gedung, ada seabrek aturan sekuriti, masih ada lagi akal: tak memasang papan nama. Tampaknya, tak ada yang ingat bahwa jajaran gedung CIA yang tak diberi tanda pengenal itu justru akan mengundang kecurigaan. Karena itulah satu-satunya bangunan tanpa tanda pengenal.

Aturan sekuriti pribadi tak kalah lucunya, karena bertentangan dengan aturan fisik di kantor. Para karyawan mendapat instruksi: tidak boleh mengatakan bahwa mereka bekerja buat CIA. Terutama para pejabat di Bagian Klandestin, tempat saya bekerja. Tapi anehnya, tak ada seorang pun yang berpikir untuk memperlengkapi kami dengan semacam topeng samaran. Dalam hal itu, kami jadi mengandalkan pada kelihaian masing-masing. Sementara itu, untuk hal-hal yang penting seperti referensi kredit atau referensi dalam menyewa rumah, dan membuka rekening di bank, kami hanya diberi referensi yang sama — Viola Pitts, 2430 “E” Street, N.W.

Selalu diingatkan agar kami tidak membiarkan siapa pun melihat pas kami. Dengan pas tersebut kami diperbolehkan masuk ke dalam kompleks setiap pagi. Tapi tampaknya tak ada seorang pun yang berpikir tentang masalah sekuriti di pelataran parkir. Setiap pagi serentetan orang, bagaikan parade, dengan santainya berjalan dari lapangan parkir dan masuk ke dalam gedung-gedung. Barisan kami demikian jelasnya, sehingga tak diperlukan tanda pengenal lain untuk masuk. Mata-mata Soviet pasti akan tahu siapa “barisan manusia yang masuk ke dalam gedung tak dikenal” itu.

Jam kerja di Gedung “L” dan “K” dimulai pukul 0.30, tapi persoalan mendapatkan tempat parkir menyebabkan hampir semua orang mesti datang lebih pagi. Mereka yang datang pagi biasanya berkumpul di kafetaria buat minum kopi.

Setiap pagi saya mendapat kesempatan mengamat-amati rekan-rekan sekerja. Dari kebiasaan itu, dapat saya simpulkan bahwa perubahan masa jelas sekali tergambar pada kami. Umumnya “karyawan” tipe baru sangat muda usia. Yang lebih senior selalu memasuki kafetaria dengan topi. Mereka benamkan kepalanya dalam-dalam ke topi sampai hampir kehilangan alis. Atribut itu sudah lama lenyap dari busana mereka yang lebih muda. Entah kenapa orang-orang yang lebih tua itu masih saja mempertahankannya.

Saya tak kuasa menahan diri untuk tidak mengomentari pemakaian topi itu. “Kau pasti akan melihat sendiri nanti pada waktu menjalani latihan untuk Bagian Klandestin,” kata John, seorang rekan baru saya. “Memang masih agak lama. Tapi baiklah, supaya tidak penasaran, aku ceritakan sekarang saja. Orang-orang itu adalah bekas agen FBI atau perwira dalam Bagian Kontraintelijen Tentara. Mereka biasanya diajar, betapa pentingnya seorang agen rahasia selalu memakai topi.”

“Mengapa?” tanya saya penasaran. “Kita mesti pakai topi. Itu upaya terbaik supaya sukar dikenal,” jawab John.

Menurut buku pintar latihan FBI, kata John, sebuah topi akan menyulitkan orang memandang kita, bila berpapasan. Khususnya agen rahasia musuh. Walhasil, pakailah topi, dan, simsalabim, tak akan mudah dikenal.

Lantaran kemahiran Direktur FBI J. Edward Hoover dalam bidang PR, FBI memiliki reputasi tinggi sebagai organ yang paling profesional dalam bidang rahasia-rahasiaan. Cara-cara yang digunakannya diikuti oleh Korps Intelijen Angkatan Darat. CIA pun, terutama Direktorat Klandestin, kemudian menguntitnya. Mitos topi yang aneh itu demikian hebatnya, sehingga perlu waktu sepuluh tahun bagi Direktorat Klandestin untuk menyadari kenyataan: bahwa orang yang duduk di pojok tanpa banyak omong dan memakai topi adalah manusia yang paling dlperhatikan di dalam ruangan atau jalanan.

Ada juga beberapa meja yang para penghuninya langsung bisa dilacak dengan mudah. Mereka mengenakan celana kedodoran dengan jas tak pernah sampai ke bagian belakang celananya. Pakaian mereka seperti kantung yang dibuat untuk mengepak peti, bukan melindungi tubuh manusia. Pada mulanya mereka itu agak menakutkan saya. Tapi lama-lama saya teringat pada foto-foto di koran tentang tokoh-tokoh yang sedang mengamati parade 1 Mei dari atas kuburan Lenin. Tahulah saya bahwa orang-orang itu tak lain dari para spesialis masalah-masalah Eropa Timur.

Membedakan para petugas, di bagian mana mereka bekerja dalam CIA, bukan hanya lewat cara berpakaian dan ciri-ciri ras. Juga gamblang dari pengelompokannya waktu minum kopi. Ada kelompok yang bekerja pada Biro Operasi Khusus (OSO Office of Special Operations), ada yang bekerja pada Biro Koordinasi Kebijaksanaan (Office of Policy Coordination) lebih dikenal dengan nama OPC. Mereka mengadakan pembagian kerja di antara mereka, tapi bekerja sama sesedikit mungkin. Di Divisi Timur Jauh, ketika saya mulai bekerja pada 1951, misalnya, walaupun para personel OPC dan OSO bekerja di kantor yang berdekatan, mereka tak campur.

OSO dibentuk tak lama setelah CIA didirikan pada 1947. Tugasnya yang utama adalah kontraintelijen, untuk melindungi Amerika dari gangguan subversi komunis atau apa pun yang memusuhinya. Ia juga bertugas menjalankan operasi yang berarti mengumpulkan informasi tentang aktivitas kaum komunis atau kegiatan lain yang diperintahkan pemerintah.

OPC lahir di kala keadaan dunia sedang memburuk. Rekrutan pertamanya mulai membentuk badan itu pada awal 1949. Tugas OPC demikian rahasianya, sehingga itu dengan sengaja disembunyikan di balik nama Biro Koordinasi Kebijaksanaan, yang begitu menyesatkan. Pada musim gugur 1951, digosipkan bahwa OPC dan OSO akan dilebur menjadi satu. Cerita yang beredar mengatakan bahwa semua personel OSO akan dipecat, tapi ada juga yang mengatakan justru orang-orang OPC-lah yang akan mengalami nasib seperti itu. Dua kelompok yang dinamakan “Adso” dan “Adpic” sedang mengadakan tur keliling dunia untuk mencari “data” bagaimana caranya melebur kedua biro tersebut.

Kay mengatakan kepada saya agar tak terlalu memperhatikan segala gosip itu dan menyuruh saya agar lebih memperhatikan keadaan dalam negeri enam negara Asia Tenggara. Demi kemudahan geopolitis, CIA ternyata telah mengelompokkan keenam negara itu. Padahal, kompleksitas di negara-negara itu tak semudah seperti yang dibayangkan.

Di Indocina, pemimpin komunis terkemuka yang telah aktif berjuang melawan Jepang sedang sibuk-sibuknya melakukan perlawanan terhadap kedatangan kembali Prancis. Itulah Ho Chi Minh, dulu seorang anak dari Annam yang pernah menjadi jongos pada sebuah kapal dagang Prancis. Orang itu demikian hebatnya, sehingga Legiun Asing yang begitu terkenal dalam kemiliteran Prancis dibikin tak berdaya oleh tentara Viet Minh yang dipimpin Ho Chi Minh.

Di Muangthai (Thailand), dengan rakyat yang begitu setia kepada Jepang pada 1942, keadaan tampaknya lebih baik. Pepatah “kalau kau tak bisa mengalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka” sebenarnya bukanlah peribahasa kuno orang Thai. Tapi pada 1951 mereka dengan sepenuh hati bersedia bekerja sama dengan kami untuk membendung ekspansi komunis di Asia Tenggara.

Divisi Timur Jauh Biro Koordinasi Kebijaksanaan (FE-OPC) telah membentuk suatu unit besar di bawah selimut (cover) organisasi sipil yang bergerak di bidang pembangunan dengan nama SEA Supply Company. Dari laporan-laporannya, ternyata organisasi itu terlibat dalam usaha merencanakan suatu penyerbuan ke Cina Daratan. Untuk maksud tersebut, telah digalang kerja sama antara biro CIA di Taiwan dan sisa-sisa laskar Kuomintang di perbatasan Burma-Cina.

Di Malaya orang-orang Inggris sedang berperang melawan pasukan gerilya komunis. Para pemimpin mereka telah memperoleh keahlian dalam perang berkat pengalaman mereka menentang pendudukan militer Jepang. Keadaan di sana banyak sekali persamaannya dengan apa yang sedang berkembang di kawasan Indocina. Sementara itu, Burma, yang baru saja berhasil memerdekakan diri, dipimpin oleh seorang sarjana yang penuh mistik, yakni U Nu. Ia menyatakan dirinya sedang memgembangkan suatu sistem demokrasi yang sosialistis. Sayangnya, para pemimpin Burma, termasuk U Nu sendiri, seperti tak dapat menerangkan apa sosialisme Burma itu.

Di seberang sana, Soekarno dan Mohammad Hatta, kedua pemuka nasionalis Indonesia, telah memproklamasikan kemerdekaan negara kepulauan itu pada 17 Agustus 1945. Itu terjadi hanya tiga hari setelah Jepang bertekuk lutut. Empat tahun berikutnya terjadi perundingan-perindingan yang diselingi oleh pertempuran dengan Belanda.

Problem utama yang dihadapi oleh pemerintah-pemerintah baru itu sama: mereka menghadapi ancaman kaum komunis yang tengah melancarkan perang gerilya. Dan itu semua membuat kami juga prihatin. Demikianlah yang saya baca dalam file-file tentang negeri-negeri tersebut.

Pada Februari 1948, Uni Soviet mensponsori pertemuan partai-partai komunis seluruh Asia di Kalkuta. Partai Komunis Australia juga turut hadir. Konferensi tersebut dipublikasikan dalam media massa kaum komunis. Pertemuan itu menyerukan agar “semua kekuatan anti-imperialis bersatu untuk menentang penindasan imperialis dan kaum reaksioner di setiap negeri”. Menurut laporan itu, semua kekacauan dan kesukaran yang terjadi di Burma, Malaya, Filipina, dan Indonesia bersumber pada konferensi tersebut.

Sabtu, 09 April 2016

Indonesia Menggugat

oleh Ir. Soekarno (Presiden Pertama Indonesia)

 Foto: Ir. Soekarno dan Josip Broz Tito (Presiden Yugoslavia)

Tuan-tuan Hakim yang terhormat!

Di dalam aksi kami sering-sering kedengaran kata-kata “kapitalisme” dan “imperialisme”. Di dalam proses ini, dua perkataan ini pun menjadi penyelidikan. Kami antara lain dituduh memaksudkan bangsa Belanda dan bangsa asing lain, kalau umpamanya kami berkata “kapitalisme harus dilenyapkan”. Kami dituduh membahayakan pemerintah kalau kami berseru “rubuhkanlah imperialisme”. Ya, kami dituduh berkata bahwa kpitalisme = bangsa Belanda serta bangsa asing lain, dan bahwa imperialisme = pemerintah yang sekarang!

Adakah bisa jadi benar tuduhan ini? Tuduhan ini tidak bisa jadi benar. Kami tidak pernah mengatakan, bahwa kapitalisme = bangsa asing, tidak pernah mengatakan bahwa imperialisme = pemerintah. Kami pun tidak pernah memaksudkan bangsa asing kalau berkata; kapitalisme, tidak pernah memaksudkan pemerintah atau ketertiban umum atau apa saja kalau kami berkata imperialisme. Kami memaksudkan kapitalisme kalau kami berkata kapitalisme; kami memaksudkan imperialisme kalau kami berkata imperialisme!

Maka apakah artinya kapitalisme? Tuan-tuan Hakim, di dalam pemeriksaan sudah kami katakan, Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya nilai-lebih[1] tidak jatuh di dalam tangan kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangan kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, menyebabkan akumulasi kapital, konsentrasi kapital, sentralisasi kapital, dan industrielle reserve-armée[2]. Kapitalisme mempunyai arah kepada Verelendung[3] (baca: pemelaratan).

Haruskah kami di dalam pidato ini masih lebih lebar lagi menguraikan, bahwa kapitalisme itu bukan suatu badan, bukan manusia, bukan suatu bangsa, –tetapi ialah suatu faham, suatu pengertian, suatu sistem? Haruskah kami menunjukkan lebih lanjut, bahwa kapitalisme itu ialah sistem cara produksi, sebagai yang kami telah terangkan dengan singkat itu? Ah, Tuan-tuan Hakim, kami rasa tidak. Sebab tidak ada satu intelektuil yang tidak mengetahui artinya kata itu. Tidak ada satu hal di dunia ini, yang sudah begitu banyak diselidiki dari kanan-kiri, luar dalam, sebagai kapitalisme itu. Tidak ada satu hal di dunia ini, yang begitu luas perpustakaannya, sebagai kapitalisme itu, –hingga berpuluh-uluh jilid, berpuluh-puluh ribu studi dan buku-buku standar dan brosur-brosur tentang itu.

Tetapi apa arti perkataan imperialisme? Imperialisme juga suatu faham, imperialisme juga suatu pengertian. Ia bukan sebagai yang dituduhkan kepada kami itu. Ia bukan ambtenaar binnelandsch bestuur[4], bukan pemerintah, bukan gezag[5], bukan badan apapun jua. Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri, –suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain. Ini adalah suatu “kejadian” di dalam pergaulan hidup, yang timbulnya ialah oleh keharusan-keharusan di dalam ekonomi sesuatu negeri atau sesuatu bangsa. Selama ada “ekonomi bangsa”, selama ada “ekonomi negeri”, selama itu dunia melihat imperialisme. Ia kita dapatkan dalam nafsu burung Garuda Rum (Bizantium) terbang ke mana-mana, menaklukkan negeri-negeri sekeliling dan di luar Lautan Tengah.

Ia kita dapatkan di dalam nafsu bangsa Spanyol menuduki negeri Belanda untuk bisa mengalahkan Inggris, ia kita dapatkan di dalam nafsu kerajaan Timur Sriwijaya menaklukkan negeri semenanjung Malaka, menaklukkan kerajaan Melayu, mempengaruhi rumah tangga negeri Kamboja atau Campa. Ia kita dapatkan di dalam nafsu negeri Majapahit menaklukkan dan mempengaruhi semua kepulauan Indonesia, dari Bali sampai Kalimantan, dari Sumatera sampai Maluku. Ia kita dapatkan di dalam nafsu kerajaan Jepang menduduki semenanjung Korea, mempengaruhi negeri Mancuria, menguasai pulau-pulau di Lautan Teduh.

Imperialisme terdapat di semua zaman “perekonomian bangsa”, terdapat pada semua bangsa yang ekonominya sudah butuh pada imperialisme itu. Bukan pada bangsa kulit putih saja ada imperialisme; tapi juga pada bangsa kulit kuning, juga pada bangsa kulit hitam, juga pada bangsa kulit merah sawo sebagai kami, –sebagai terbukti di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit; imperialisme adalah suatu “economische gedetermineerde noodwendigheid”, suatu keharusan yang ditentukan oleh rendah tingginya ekonomi sesuatu pergaulan hidup, yang tak memandang bulu.

Dan sebagai yang tadi kami katakan, –imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain! Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa “pengluasan negeri-daerah dengan kekerasan senjata” sebagai yang diartikan oleh van Kol[6] (Seorang anggota parlemen Belanda) –tetapi ia bisa juga berjalan hanya dengan “putar lidah” atau cara “halus-halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara “pénétration pacifique”.

Terutama dalam sifatnya mempengaruhi rumah tangga bangsa lain, imperialisme zaman sekarang sama berbuahkan “negeri-negeri mandat” alias “mandaatgebieden”, daerah-daerah pengaruh” alias “invloedssferen” dan lain-lain sebagainya, sedang di dalam sifatnya menaklukkan negeri orang lain, imperialisme itu berbuah negeri jajahan, –koloniaal-bezit.

Catatan
[1]Nilai lebih (merrwarde): kelebihan hasil yang diterima majikan, dari produksi kaum buruh.
[2] industrielle reserve-armée: barisan penganggur
[3] Verelendung: Memelaratkan kaum buruh.
[4] ambtenaar BB (binnelandsch bestuur): pegawai pamong praja kolonial belanda
[5] Gezag: kekuasaan.
[6] Van Kol Henri Hubert (1852-1925) , seorang sosialis yang turut mendirikan Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) dan pernah menjadi Menteri Jajahan. Kata-kata ini diucapkan Van Kol dalam sidang Tweede Kamer, 22 November 1901.

Sumber: Risalah “Indonesia Menggugat”, yaitu Pidato Pembelaan Bung Karno di depan pengadilan kolonial (landraad) di Bandung, 1930.

Indonesia, Persia, Bizantium



(Ilustrasi: Garuda Indonesia & Garuda Bizantium/Rusia)

Kisah ini bermula pada peristiwa sekitar tahun 600 SM, ketika Nebuchadnezzar II (King of Babylon), mengirimkan beberapa ekspedisi ke wilayah Timur, yang tujuannya untuk mengambil pohon-pohon besar serta benih-benih bunga pilihan, untuk kemudian di tanam di Taman Tergantung Babylon.

Inisiatif pembuatan Taman Bergantung ini, dilakukan dalam upaya untuk mengobati kerinduan Permaisuri Amuhia, kepada suasana kampung halamannya (Sumber: Alter Terahsia Bangsa Melayu V).

Para pakar sejarah mencatat, Queen Amuhia (630-565 SM) merupakan keluarga King Cyaxares of The Medes (690-585 SM). Memperhatikan jarak usia keduanya, sekitar 60 tahun, kuat dugaan Queen Amunia, adalah cucu dari King Cyaxares. Ayah dari Queen Amunia, adalah seorang Pangeran dari bangsa Medes, yang juga merupakan saudara King Astyages of The Medes (660-550 SM).

Untuk dipahami, wilayah Medes berada di daerah sekitar Persia (Iran), yang keadaan alamnya, kurang lebih mirip dengan Babylon (Irak). Jadi sangat mengherankan pendapat yang menyatakan, Queen Amuhia merindukan suasana di Medes, terlebih lagi lokasinya tidak seberapa jauh dari Babylon.

Lokasi kampung halaman, Queen Amuhia masih penuh misteri. Beberapa sejarawan menduga, kampung halaman yang dimaksud tidak lain adalah Tanah Jawi (Nusantara), yang berada nun jauh disana serta penuh dengan pepohonan dan beraneka ragam bunga

Mengapa ada seorang Princess dari Medes, bisa bertempat tinggal di Jawi (Nusantara)?
Mungkinkah ibunda Queen Amuhia, adalah puteri dari negeri Melayu?

Queen Amuhia (Amytis of Media), sedari kecil telah akrab dengan suasana tropis di negeri yang subur, di kampung halaman ibunya.

Prof. Giorgio Buccellati, seorang arkeolog senior dari University of California-Los Angeles (UCLA), yang saat itu terkagum-kagum dengan sebuah temuannya. Ia menemukan sebuah porselen cekung, yang di atasnya terdapat fosil sisa-sisa tumbuhan cengkeh.

Buccellati saat itu tengah melakukan penggalian di atas tanah bekas rumah seorang pedagang yang berasal dari masa 1.700 SM di Terqa, Eufrat Tengah.

Sebagai pakar, Buccelatti mengetahui jika Cengkeh hanya bisa hidup di satu tempat di muka bumi, yakni di Kepulauan Maluku. Temuan inilah yang kemudian muncul termin Clove Route atau jalur perniagaan rempah-rempah Cengkeh bangsa Nusantara hingga sampai ke Fir’aun Mesir.

Temuan tersebut membuktikan kepada kita jika di masa Sebelum Masehi, di zaman para nabi-nabi, pelaut-pelaut Nusantara telah melanglang buana menyeberangi samudera dan menjalin hubungan dengan warga dunia lainnya.

Bahkan Dick-Read meyakini jika sistem pelayaran, termasuk perahu-perahu, dari para pelaut Nusantaralah yang menjadi acuan bagi sistem dan bentuk perahu banyak negeri-negeri lain di dunia. Keyakinan ini diamini oleh sejumlah arkeolog dan sejarawan senior seperti Dr. Roland Oliver (Sumber: Moyang Indonesia Ekspor Cengkeh, Kayu Manis dan Kapur Barus ke Fir’aun)

Sebuah manuskrip Yahudi Purba menceritakan sumber bekalan emas untuk membina negara kota Kerajaan Nabi Sulaiman (sekitar tahun 950SM), diambil dari sebuah kerajaan purba di Timur Jauh yang dinamakan Ophir.

Kemungkinan Ophir berada di Pulau Sumatera, yang dikenal sebagai “Pulau Emas” atau dalam bahasa sanskrit bernama “Swarna Dwipa” (Suvarnadvipa). Bahkan menurut informasi Pusat Kerajaan Minangkabau terletak di tengah-tengah galian emas. Emas-emas yang dihasilkan kemudian diekspor dari sejumlah pelabuhan, seperti Kampar, Indragiri, Pariaman, Tikus, Barus, dan Pedir (Sumber: PULAU-PULAU PALING BERSEJARAH DI INDONESIA)

Berdasarkan data arkeologis di atas, kepulauan Nusantara pada sekitar 600 SM, telah terdapat pusat-pusat perdagangan, baik itu di pulau Sumatera sampai ke Maluku. Diduga Queen Amuhia, bertempat tinggal di salah satu Pusat Perdagangan ini, untuk menemani kedua orang tuanya, yang menjadi konsul perdagangan bangsa Medes di Nusantara.

AMUHIA, LELUHUR SERIBU RAJA
Perkawinan antara King Nebuchadnezzar II dan Queen Amuhia, melahirkan seorang putera dan tiga orang puteri. Berdasarkan penyelusuran Genealogy, melalui zuriat salah seorang cucunya, yang bernama Nidintu-Bel (Prince) of Babylon (Nebuchadnezzar III of Babylon), kelak akan lahir para penguasa baik di negeri timur maupun barat.

BEBERAPA TOKOH, ZURIAT QUEEN AMUHIA

[1] Maharaja Nusirwan ‘Adil, Leluhur Raja-Raja Melayu
Maharaja Nusirwan ‘Adil (Anushirvan/King Khosrow I “The Just” of Persia) bin Maharaja Kibad Syahriar (Kavadh I of Persia) bin Firuz II of Persia bin Yazdagird II of Persia bin Bahram V of Persia bin Yazdagird I of Persia bin Shapur III of Persia bin Shapur II “The Great” of Persia bin Ifra Hormuz binti Vasudeva of Kabul bin Vasudeva IV of Kandahar bin Vasudeva III of Kushans bin Vasudeva II of Kushans bin Kaniska III of Kushans bin Vasudeva I of Kushans bin Huvishka I of Kushans bin Kaniska of Kushanastan bin Wema Kadphises II of Kunhanas bin Princess of Bactria binti Calliope of Bactria binti Hippostratus of Bactria bin Strato I of Bactria bin Agathokleia of Bactriai binti Agathokles I of Bactriai bin Pantaleon of Bactria bin Sundari Maurya of Magadha binti Princess of Avanti binti Abhisara IV of Avanti bin Abhisara III of Pancanada bin Abhisara II of Taxila bin Abhisara I of Taxila bin Rodogune Achaemenid of Persia binti Artaxerxes II of Persia bin Darius II of Persia bin Andia (Andria) of Babylon (menikah dengan Artaxerxes I of Persia) binti Nebuchadnezzar IV of Babylon bin Nidintu-Bel (Prince) of Babylon (Nebuchadnezzar III of Babyon) bin Princess of Babylon binti Queen Amuhia.

[2] SHAHRBĀNŪ, IBUNDA IMAM ALI ZAINAL ABIDIN (BANI ALAWIYYIN)
Shahrbānū (Shahr Banu,
شهربانو, menikah dengan Imam Husein) binti Yazdigird III Sásání, King of Persia (16 June 632-651) bin Sharíyár Sásání, Sháh of Persia bin Khusraw II (Parvez) 22nd Sásání king of Persia bin Hormizd IV 21st Sásání king of Persia bin Maharaja Nusirwan ‘Adil (Anushirvan/King Khosrow I “The Just” of Persia) bin Maharaja Kibad Syahriar (Kavadh I of Persia) bin Firuz II of Persia… (lihat silsilah 1)

[3] BASIL (BASILEOS) I, EMPEROR OF THE BYZANTINE EMPIRE
Basil I of Byzantine bin Konstantinos Porphyrogenitus of Adrianople bin Hmayeak of Adrianople bin Artavazd Mamikonian bin Hmyayeak Mamikonian bin Artavazd Mamikonian bin Hamazasp III Mamikonian of Armenia bin Dawith (David) Mamikonian bin Vahan II Mamikonian of Taron bin Mousegh Mamikonian bin Hmayeak Mamikonian bin Vard Mamikonian of Armenia bin General Hmayeak Mamikonian bin Sahakanoysh of Armenia bin Isaac I of Armenia bin Narses I of Armenia bin Athenagenes bin Chosroes III of Armenia bin Tiran (Helios) of Armenia bin Khusraw II of West Armenia bin Tiridat II of Armenia bin Khusraw I “the Brave” of Armenia bin Princess of Iberia binti Pharasmenes III of Iberia bin Rhadamiste I of Iberia bin Pharasmenes II of Iberia bin Amazaspus I of Iberia bin Mithradates I of Iberia bin Pharasmenes I of Iberia bin Princess of Iberia binti Pharnabazus I of Iberia bin Artaces I of Iberia bin Artaxias I of Iberia bin Artavasdes I of Iberia bin Tigranes I of Iberia bin Artaxias I of Armenia bin Zariadres I of Sophene bin Xerses I of Armenia bin Arsames I of Armenia bin Samos I of Armenia. bin Aroandes III of Armenia bin Mithranes I of Armenia bin Aroandes II of Armenia bin Rodogune Achaemenid of Persia binti Artaxerxes II of Persia bin Darius II of Persia bin Andia (Andria) of Babylon (menikah dengan Artaxerxes I of Persia) binti Nebuchadnezzar IV of Babylon bin Nidintu-Bel (Prince) of Babylon (Nebuchadnezzar III of Babyon) bin Princess of Babylon binti Queen Amuhia.