Sabtu, 30 Januari 2016

Raja Dawud & Hilangnya Torah (Bagian Kedua)



Kala itu Jalut (Goliath) tampak membawa baju besinya bersama pedangnya, menantang siapa saja untuk berduel dengannya. Semua tentara Thalut merasa takut untuk menghadapinya. Namun di saat-saat yang mencekam itu, muncullah dari pasukan Thalut seorang pengembala kambing yang kecil, yaitu Dawud.

Dawud pun maju dan meminta kepada raja Thalut agar mengizinkannya berduel dengan Jalut (Goliath). Hanya saja, sang raja pada hari pertama itu menolak permintaan Dawud. Alasannya tak lain karena Dawud bukanlah seorang tentara, ia hanya sekadar pengembala kambing yang masih kecil dan remaja. Dawud tidak memiliki pengalaman dalam peperangan. Ia tidak memiliki pedang, senjatanya adalah potongan batu bata yang digunakan untuk mengusir kambingnya. Meskipun demikian, Dawud mengetahui bahwa Allah Yang Maha Besar dan Yang Maha Tinggi adalah sumber kekuatan yang hakiki di dunia ini. Karena ia seorang yang beriman kepada Allah, maka ia merasa lebih kuat daripada Jalut.

Kemudian, pada hari kedua, ia kembali meminta izin agar diberi kesempatan untuk memerangi Jalut (Goliath). Kali ini sang raja memberikan izin kepadanya. Sang Raja berkata kepadanya: "Seandainya engkau berani memeranginya, maka engkau menjadi pemimpin pasukan dan akan menikahi anak perempuanku." Dawud tidak peduli dengan iming-iming tersebut. Ia hanya ingin berperang dan memenangkan iman-nya dan mengalahkan kezaliman. Ia ingin mengalahkan Jalut (Goliath), seorang lelaki yang sombong dan lalim dan tidak mempercayai Allah Yang Maha Tinggi.

Kala itu Dawud maju dengan membawa tongkatnya dan lima buah batu serta katapel. Sementara itu Jalut (Goliath) maju dengan baju perang, yaitu baju besi. Saat itu Jalut (Goliath) mengejek Dawud dan meremehkannya. Tetapi saat itu, Dawud meletakkan batu yang kuat di atas katapelnya, dan segera ia pun melepaskannya di udara sehingga batu itu pun meluncur dengan keras. Angin menjadi sahabat Dawud karena ia cinta kepada Allah Yang Maha Tinggi, sehingga angin itu membawa batu itu menuju ke dahi (jidat) Jalut (Goliath). Singkat cerita, batu pun itu menumbangkan tubuh Jalut (Goliath) yang besar hingga akhirnya ia meregang nyawa. Jalut (Goliath) yang dibekali senjata yang lengkap itu tersungkur ke tanah, dan mati.

Dawud, sang pengembala yang baik itu, mengambil pedang Jalut (Goliath). Dan berkecamuklah peperangan di antara kedua pasukan. Peperangan dimulai saat pemimpinnya terbunuh dan rasa ketakutan menghinggapi seluruh pasukannya, sedangkan pasukan yang lain dipimpin oleh seorang pengembala kambing yang sederhana.

Allah SWT berfirman: "Tatkala mereka tampak oleh Jalut dan tentaranya, mereka pun berdoa: 'Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami terhadap orang-orang kafir.' Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah memberinya kepadanya (Dawud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam" (QS. Al-Baqarah: 250-251).

Setelah Dawud membunuh Jalut (Goliath) itu, ia mencapai puncak ketenaran di tengah-tengah kaumnya sehingga ia menjadi seorang lelaki yang paling terkenal di kalangan Bani Israil. Beliau menjadi pemimpin pasukan dan suami dari anak perempuan raja. Namun Dawud tidak begitu gembira dengan semua ini. Beliau tidak bertujuan untuk mencapai ketenaran atau kedudukan atau kehormatan, tetapi beliau berusaha untuk menggapai cinta Allah SWT.

Daud telah diberi suatu suara yang sangat indah dan mengagumkan. Dawud bertasbih kepada Allah SWT dan mengagungkan-Nya dengan suaranya yang menarik dan mengundang decak kagum. Oleh karena itu, setelah mengalahkan Jalut (Goliath), Dawud pun bersembunyi. Beliau pergi ke gurun dan gunung. Beliau merasakan kedamaian di tengah-tengah makhluk-makhluk yang lain. Di saat mengasingkan diri, beliau bertaubat kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Dawud karunia Kami. (Kami berfirman): 'Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud', dan Kami telah melunakkan besi padanya. (Yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan" (QS. Saba': 10-11).

"Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Dawud, dan Kamilah yang melakukannya. Dan telah Kami ajarkan kepada Dawud membuat baju besi kepada kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah)" (QS. al-Anbiya': 79-80)

Ketika Dawud duduk, maka ia bertasbih kepada Allah SWT dan memuliakan-Nya. Allah SWT memilih Dawud sebagai Nabi dan memberinya Kitab Zabur. Allah SWT berfirman: "Dan Kami berikan Kitab Zabur kepada Dawud" (QS. Al-Isra': 55).

Zabur adalah kitab suci seperti Kitab Taurat. Dawud membaca kitab tersebut dan bertasbih kepada Allah SWT. Saat beliau bertasbih, gunung-gunung juga ikut bertasbih, dan burung-burung pun berkumpul bersama beliau.

Allah SWT berfirman: "Dan ingatlah hamba Kami Dawud yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan). Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Dawud) di waktu pagi dan petang, dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masing amat taat kepada Allah. Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan" (QS. Shad: 17-20).

Gurun terbentang sehingga mencapai ufuk. Ini adalah hari puasa Dawud. Nabi Dawud berpuasa pada suatu hari dan berbuka pada hari yang lain. Inilah yang disebut dengan Shiam ad-Dahr. Dawud membaca Kitab Zabur dan merenungkan ayat-ayatnya. Gunung-gunung bertasbih bersamanya. Gunung menyempurnakan pembacaan ayat tersebut, dan terkadang beliau diam sementara gunung itu menyempurnakan tasbihnya.

Bukan hanya gunung yang bertasbih bersama beliau, burung-burung pun ikut bertasbih. Ketika Daud mulai membaca Kitab Zabur yang suci maka burung-burung, binatang-binafang buas, dan pohon-pohon pun berkumpul di sisinya, bahkan gunung-gunung ikut bertasbih. Bukan hanya karena ketulusan Dawud yang menjadi penyebab bertasbihnya gunung-gunung atau burung-burung bersama beliau; bukan hanya keindahan suaranya yang menjadi penyebab bertasbihnya makhluk-makhluk yang lain bersama beliau, namun ini adalah mukjizat dari Allah SWT kepadanya sebagai Nabi yang memiliki keimanan yang agung, yang cintanya kepada Allah SWT sangat tulus.

Bukan hanya ini mukjizat yang diberikan kepada beliau, Allah SWT juga memberinya ilmu atau kemampuan untuk memahami bahasa burung dan hewan-hewan yang lain.

Dan pada suatu hari, beliau merenung dan mendengarkan ocehan burung yang berdialog satu sama lain. Lalu beliau mengerti apa yang dibicarakan burung-burung itu. Allah SWT meletakkan cahaya dalam hatinya sehingga ia memahami bahasa burung dan bahasa hewan-hewan yang lain. Dawud sangat mencintai hewan dan burung. Beliau berlemah lembut kepada hewan-hewan itu, bahkan beliau merawatnya ketika hewan-hewan itu sakit sehingga burung-burung dan binatang yang lain pun mencintainya.

Di samping kemampuan memahami bahasa burung, Allah SWT juga memberinya hikmah (ilmu pengetahuan). Ketika Dawud memperoleh ilmu dari Allah SWT atau ketika ia mendapatkan mukjizat maka bertambahlah rasa cintanya kepada Allah SWT dan bertambah juga rasa syukumya kepada-Nya, begitu juga ibadahnya semakin meningkat. Oleh karena itu, beliau berpuasa pada suatu hari dan berbuka pada hari yang lain.


Allah SWT sangat mencintai Dawud dan memberinya kerajaan yang besar. Dan masalah yang dihadapi oleh kaumnya adalah, banyaknya peperangan di zaman mereka. Karena itu, pembuatan baju besi sangat penting. Baju besi yang dibuat oleh para ahli sangat berat sehingga seorang yang berperang tidak mudah bergerak dengan bebas ketika memakai baju besi itu. (Bersambung)

Raja Dawud & Hilangnya Torah (Bagian Pertama)



Berlalulah tahun-tahun yang cukup panjang dari wafatnya Musa. Setelah Musa, datanglah para nabi dan mereka telah mati dan anak-anak Israil setelah Musa telah kalah. Kitab suci mereka pun telah hilang, yaitu Taurat, yang ditaati sebagian orang dan diinkari sebagian lainnya. Ketika Taurat telah hilang dari dada mereka, anak-anak Israil yang acapkali durhaka dan aniaya, maka ia pun tercabut dari tangan mereka. Musuh-musuh mereka menguasai Peti Perjanjian (The Ark) yang di dalamnya terdapat peninggalan keluarga Musa dan Harun.

Anak-anak Israil keturunan Ya’kub pun terusir dari keluarga mereka dan dari rumah mereka ke negeri-negeri asing. Di negeri-negeri asing itu, keadaan mereka acapkali sungguh sangat tragis. Kenabian telah terputus dari cucu Lawi (Levi), dan tak tersisa dari mereka kecuali seorang wanita yang hamil yang berdoa kepada Allah agar Dia memberinya anak laki-laki. Kemudian ia, wanita itu, melahirkan anak laki-laki dan menamainya dengan nama Asymu'il yang dalam bahasa Ibrani berarti Ismail, ‘yakni Allah mendengar doaku’.

Tatkala anak itu tumbuh dewasa, sang ibu tercinta mengirimnya ke tempat ibadat, dan menyerahkannya kepada seorang lelaki saleh agar belajar kebaikan dan ibadah darinya. Anak itu berada di sisinya. Pada suatu malam—ketika ia tidur, ia mendengar ada suara yang datang dari sisi tempat ibadat tersebut.

Ia pun lau terbangun dan terjaga dalam keadaan ketakutan dan mengira bahwa syaikh atau gurunya memanggilnya. Ia segera menuju gurunya dan bertanya: "Apakah engkau memang memanggilku?" Guru itu tidak ingin menakut-nakutinya maka ia berkata: "Ya, ya." Dan sang anak itu pun tidur kembali. Namun kemudian suara itu lagi-lagi memanggilnya untuk kedua kalinya dan ketiga kalinya hingga ia pun kembali terbangun, dan saat itulah ia melihat malaikat Jibril memanggilnya:

"Tuhanmu telah mengutusmu kepada kaummu."

Dan pada suatu hari, Bani Israil menemui nabi yang mulia ini. Mereka bertanya kepadanya: "Tidakkah kami orang-orang yang teraniaya?" Dia menjawab: "Benar." Mereka berkata: "Tidakkah kami orang-orang yang terusir?" Dia menjawab: "Benar." Mereka mengatakan: "Kirimkanlah untuk kami seorang raja yang dapat mengumpulkan kami di bawah satu bendera (panji) agar kita dapat berperang di jalan Allah dan agar kita dapat mengembalikan tanah kita dan kemuliaan kita."

Nabi mereka itu berkata kepada mereka, dan tentu ia lebih tahu daripada mereka: "Apakah kalian yakin akan menjalankan peperangan jika diwajibkan peperangan atas kalian?"

Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak berperang di jalan Allah sedangkan kami telah terusir dari negeri kami, dan anak-anak kami pun terusir serta keadaan kami makin memburuk."

Nabi mereka pun kembali berkata: "Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi telah mengutus Thalut sebagai penguasa bagi kalian." Mereka berkata: "Bagaimana ia menjadi penguasa atas kami sedangkan kami lebih berhak mendapatkan kekuasaan itu daripadanya. Lagi pula, ia bukan seorang yang kaya, sedangkan di antara kami ada orang yang lebih kaya daripadanya."

Nabi mereka berkata: "Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi memilihnya atas kalian karena ia memiliki keutamaan dari sisi ilmu dan fisik. Dan Allah memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki."

Mereka berkata: "Apa tanda kekuasaan-Nya?" Nabi mereka menjawab: "Kitab Taurat yang dirampas musuh kalian akan kembali kepada kalian. Kitab itu akan dibawa oleh para malaikat dan diserahkan kepada kalian. Ini adalah tanda kekuasaan-Nya."

Mukjizat tersebut benar-benar terjadi di mana pada suatu hari Taurat kembali kepada mereka.

Pembentukan pasukan Thalut pun dimulai. Kala itu Thalut telah menyiapkan tentaranya untuk memerangi Jalut (Goliath). Tak ragu lagi, Jalut (Goliath) adalah seseorang yang perkasa dan penantang yang hebat di mana tak seorang pun mampu mengalahkannya. Pasukan Thalut telah siap. Pasukan berjalan dalam waktu yang lama di tengah-tengah gurun dan gunung sehingga mereka merasakan kehausan.

Raja Thalut berkata kepada tentaranya: "Kita akan menemui sungai di jalan. Barangsiapa yang meminumnya maka hendaklah ia akan keluar dari pasukan dan barangsiapa yang tidak mencicipinya dan hanya sekadar membasahi kerongkongannya maka ia akan dapat bersamaku dalam pasukan."

Akhirnya, mereka mendapati sungai dan sebagian tentara minum darinya dan kemudian mereka keluar dari barisan tentara. Thalut telah menyiapkan ujian ini untuk mengetahui “siapa di antara mereka yang menaatinya dan siapa yang membangkangnya, siapa di antara mereka yang memiliki tekad yang kuat dan mampu menahan rasa haus dan siapa yang memiliki keinginan yang lemah dan gampang menyerah”.

Thalut berkata kepada dirinya sendiri: "Sekarang kami mengetahui orang-orang yang pengecut sehingga tidak ada yang bersamaku kecuali orang-orang yang berani."

Tentu saja, dalam peperangan, jumlah pasukan memang berpengaruh, tetapi yang paling penting dalam pasukan adalah sifat keberanian dan iman (tekad dan rasa percaya diri yang kokoh dan kuat), bukan semata-mata jumlah dan senjata.

Kemudian datanglah saat-saat yang menentukan bagi pasukan Thalut. Mereka berdiri di depan pasukan musuhnya, Jalut (Goliath). Jumlah pasukan Thalut sedikit sekali tetapi pasukan musuh sangat banyak dan kuat.

Sebagian orang-orang yang lemah dari pasukan Thalut berkata: "Bagaimana mungkin kita dapat mengalahkan pasukan yang perkasa itu?" Kemudian orang-orang mukmin (yang kuat iman dan tekad serta kepercayaan dirinya) dari pasukan Thalut menjawab: "Yang penting dalam pasukan adalah keimanan dan keberanian. Berapa banyak kelompok yang sedikit mampu mengalahkan kelompok yang banyak dengan izin Allah Yang Maha Tinggi." Allah SWT berfirman:


"Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka: 'Angkatlah untuk kami seorang raja agar kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah. Nabi mereka menjawab: 'Mungkin sekali jika kamu diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.' Mereka menjawab: 'Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal kami sesungguhnya telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami.' Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang yang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang lalim. Nabi mereka mengatakan kepada mereka: 'Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.' Mereka menjawab: 'Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalihan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?' (Nabi mereka) berkata: 'Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahi ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.' Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: 'Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya Tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; Tabut itu dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman. Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: 'Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku. Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: 'Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut (Goliath) dan tentara-nya.' Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: 'Berapa banyak yang terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.'" (QS. Al-Baqarah: 246-249). (Bersambung


Haman Sang Seniman & Arsitek Mesir yang Dinarasikan Al-Qur’an & Tidak Dinarasikan Al-Kitab



“Benarkah Al-Qur’an mencontek Bibel (semisal mencontek Perjanjian Lama)? Sebab, dalam banyak tempat dan konteks, Al-Qur’an justru mengoreksi dan membantah Bible dan menarasikan apa yang tidak dinarasikan Bible, yang bahkan justru melengkapi Bible itu sendiri. Pertanyaan ini diajukan terkait dengan mereka yang mengkomparasi Al-Qur’an dan Bible dan lalu kemudian menuduh Al-Qur’an sebagai contekan Bible, ketimbang bersikap adil untuk mengkritisi Bible itu sendiri sembari membaca Al-Qur’an.”

Dahulu kala, para arkeolog dan orientalist Barat, khususnya Prancis dan Jerman, karena prasangkanya terhadap Al-Qur’an, berusaha mencari evidensi terkait dengan narasi-narasi historis dalam Al-Qur’an yang tidak dinarasikan Bibel.

Tulisan singkat ini berkenaan dengan seorang seniman Mesir bernama Haman di mana hanya Al-Qur’an yang menginformasikannya kepada kita dan kemudian terbukti berkat penggalian arkeologi para arkeolog, peneliti, dan sejumlah sejarahwan.

Nama “Haman” tidaklah diketahui hingga dipecahkannya huruf hiroglif Mesir di abad ke-19. Kala itu, ketika hiroglif terpecahkan, diketahui bahwa Haman adalah seorang pembantu dekat Fir’aun, dan “pemimpin pekerja batu pahat”.

Hal teramat penting di sini adalah bahwa Haman disebut dalam Al-Qur’an sebagai orang yang mengarahkan pendirian bangunan atas perintah Fir’aun. Ini berarti bahwa keterangan yang tidak bisa diketahui oleh siapa pun di masa itu telah diberikan oleh Al Qur’an, satu hal yang paling patut dicermati.

Al-Qur’an mengisahkan kehidupan Nabi Musa as dengan sangat jelas dan detil, yang bahkan sejumlah fase yang tak dinarasikan Bibel malah dinarasikan Al-Qur’an.

Begitulah, tatkala memaparkan perselisihan dengan Fir’aun dan urusannya dengan Bani Israil, Al-Qur’an menyingkap berlimpah keterangan tentang Mesir kuno. Pentingnya banyak babak (fase-fase) bersejarah yang tidak dinarasikan oleh Bibel ini hanya baru-baru ini menjadi perhatian para pakar dunia.

Ketika seseorang memperhatikan babak-babak bersejarah ini dengan pertimbangan yang adil, cermat, dan matang, niscaya baginya seketika itu pula akan menjadi jelas bahwa Al-Qur’an, dan sumber pengetahuan yang dikandungnya, bersesuaian langsung dengan seluruh penemuan besar di bidang ilmu pengetahuan, sejarah dan kepurbakalaan atawa arkeologi di masa kini.

Itulah kenapa, Al-Qur’an acapkali mengandung sisi historis manusia yang banyak darinya telah dilupakan sejarah panjang ummat manusia itu sendiri. Teks-teks Al-Qur’an memang acapkali tidak memaparkan detil, tetapi menjadi semacam petunjuk untuk upaya penggalian dan penelitian, semacam menginformasikan kode-kode historis.

Dapatlah disebutkan, satu contoh pengetahuan ini dapat ditemukan dalam paparan Al-Qur’an tentang Haman: seorang pelaku yang namanya disebut di dalam Al-Qur’an, bersamaan dengan Fir’aun. Ia disebut di enam tempat yang berbeda dalam Al-Qur’an, di mana Al-Qur’an memberitahu kita bahwa ia adalah salah satu dari sekutu terdekat Fir’aun.

Anehnya, nama “Haman” tidak pernah disebutkan dalam bagian-bagian Taurat (Torah) yang berkaitan dengan kehidupan Nabi Musa as. Memang, penyebutan Haman dapat ditemukan di bab-bab terakhir Perjanjian Lama sebagai pembantu Raja Babilonia yang melakukan banyak kekejaman terhadap Bani Israil kira-kira 1.100 tahun setelah Nabi Musa as, sebuah informasi yang justru menyesatkan dan mengingkari validitas historis berkaitan dengan fase-fase Mesir itu sendiri.

Dalam hal ini, Al-Qur’an, yang jauh lebih bersesuaian dengan penemuan-penemuan kepurbakalaan masa kini, benar-benar memuat kata “Haman” yang merujuk pada masa hidup Nabi Musa as, yang justru diabaikan Bibel.

Persis di sinilah, tuduhan-tuduhan yang dilontarkan terhadap Islam sebagai contekan belaka tak lebih sebagai prasangka, persis tatkala naskah hiroglif dipecahkan, sekitar 200 tahun silam, dan nama “Haman” ditemukan di naskah-naskah kuno itu.

Rasa-rasanya penting juga diingat bahwa hingga abad ke-18, tulisan dan prasasti Mesir kuno tidak dapat dipahami oleh para peneliti, arkeolog dan kalangan filolog budaya dan sejarah.

Bahasa Mesir kuno tersusun atas lambang-lambang dan bukan kata-kata, yakni berupa sejumlah warisan dan peninggalan hiroglifik yang tak ragu lagi lebih merepresentasikan dirinya sebagai lambang dan simbol-simbol naratif.

Gambar-gambar hiroglif ini, yang memaparkan kisah dan membukukan catatan peristiwa-peristiwa penting sebagaimana kegunaan kata di zaman modern, biasanya diukir pada batu dan banyak contoh masih terawetkan berabad-abad.

Bersamaan dengan tersebarnya agama Nasrani dan pengaruh budaya lainnya di abad ke-2 dan ke-3, di kawasan Alexandria dan Mesir secara umum, peradaban Mesir meninggalkan kepercayaan kunonya beserta tulisan hiroglif yang berkaitan erat dengan tatanan kepercayaan yang kini telah mati itu.

Contoh terakhir penggunaan tulisan hiroglif yang diketahui adalah sebuah prasasti dari tahun 394 Masehi. Bahasa gambar dan lambang yang telah terlupakan dan terabaikan, dan menyisakan tak seorang pun yang dapat membaca dan memahaminya. Sudah tentu hal ini menjadikan pengkajian sejarah dan kepurbakalaan nyaris mustahil. Keadaan ini tidak berubah hingga sekitar 2 abad silam.

Temuan ini mengungkap kebenaran sangat penting: Berbeda dengan pernyataan keliru yang menuduh Al-Qur’an sebagai contekan Bibel, contekan Perjanjian Lama contohnya, Haman adalah seseorang yang hidup di Mesir pada zaman Nabi Musa as. Ia dekat dengan Fir’aun dan terlibat dalam pekerjaan membuat bangunan, persis sebagaimana dipaparkan dalam Al-Qur’an.

Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta” (QS. Al-Qashas, 28:38)


Ayat dalam Al-Qur’an tersebut yang mengisahkan peristiwa di mana Fir’aun meminta Haman, sang seniman dan arsitek Mesir yang dinarasikan Al-Qur’an itu, mendirikan menara bersesuaian sempurna dengan penemuan purbakala ini. 


Jumat, 29 Januari 2016

Membaca Lagi Perjanjian Lama (Tradisi Yahudi Bersumber dari Kultur & Bahasa Persia & Arab)


Penting untuk diketahui, tulisan Yahudi masa pra-pengasingan (pre exile) adalah berbahasa Kanaan (Funisia/Fenisia). Ketika bahasa Aram menjadi bahasa dominan kawasan Timur Dekat kuno, orang­-orang Yahudi mengadopsi bahasa ini dan segera mengambil tulisannya juga ­yang saat itu dikenal sebagai bahasa Asyur.

`Tulisan Asyur' ini disebut demikian karena asalnya merupakan bentuk Aram dari `Tulisan berbahasa Funisia (Fenisia)' yang telah jamak digunakan dan dipraktikkan sebagai bahasa dan budaya dominan sejak abad ke-8 Sebelum Masehi, dan kemudian dibawa kembali oleh orang-­orang Yahudi kala pulang dari Pengasingan. Square script (tulisan persegi)  adalah berasal dari bentuk alfabet ini.

Hal penting lainnya untuk diperhatikan dan dicermati adalah tulisan persegi ini secara formal tidak dianggap sebagai tulisan Ibrani hingga terjadi karya-karya Bin Sira (Ben Sirah atau Putra Sirah) dan Josephus (Yosefus) pada abad pertama Masehi, dan di dalam Mishna (Mishnah) dan Talmud, yang kesemuanya merupakan perkembangan-perkembangan yang terjadi sangat belakangan (perkembangan selanjutnya kemudian).
 
Persis dalam hal inilah kita layak mengajukan pertanyaan: “Ditulis dalam bahasa apakah Perjanjian Lama itu secara asali dan pada mulanya?” Dari informasi yang telah dipaparkan di atas, kita telah melihat ada sebuah proses evolusi penulisan yang cukup panjang dan mengalami fase-fase selama ratusan tahun atau memakan waktu berabad-abad, dari bahasa Kanaan (Funisia/Fenisia), Aram (Asyur), dan akhirnya square, yang kemudian belakangan dianggap sebagai bahasa Ibrani.

Walhasil, kita bisa menyimpulkan bahwa, menjelang kepulangan mereka dari Pengasingan Bibel pada tahun 538 Sebelum Masehi, orang-orang Yahudi tidak mempunyai alat komunikasi tertulis apa pun yang secara khas milik mereka sendiri, melainkan menggunakan dan mempraktikkan bahasa dan kultur dominan dari suku-suku dan imperium-imperium kuno. Dan menariknya, sebagai contoh, Wurthwein menggabungkan alphabet Kanaan ini seraya menegaskan, "Ini adalah tulisan Funisia-Ibrani kuno, pendahulu setnua alfabet yang terdahulu maupun kini."
 
SUMBER-SUMBER YANG BERASAL DARI YAHUDI
Sebagaimana kebiasaan untuk mencari pengaruh dari sumber-sumber yang tersembunyi dalam Al-Qur'an (suatu topik yang akan  dibicarakan kemudian) melalui esai dan tulisan panjang ini, perlu dikemukakan bahwa para sarjana Barat di masa lalu telah sibuk mencari sumber-sumber Taurat (Biblikal).

Julius Welhausen (1844-1918), sebagai misal, menjelaskan empat asal yang utama: J (narasi Profetik Yahwistik, ± 850 S.M.); E (narasi Profetik Elohistik, ± 750 S.M.); D (Deuteronomy dan catatan-catatan Deuteronomik di lain tempat, ± 600 S.M.); dan P (the Priestly Code, Kode Imam, ter­presentasikan secara khusus dalam Imamat dan dalam pembaruan-pembaruan di lain tempat, ± 400 S.M.). Pada saat yang sama, sumber-sumber yang lain juga sudah ditemukan, dan kesemuanya menurut dugaan (anggapan), berasal Yahudi.
 
SUMBER-SUMBER YANG BERASAL DARI NON-YAHUDI
Berdasarkan sejumlah kenyataan tersebut, bagaimana pun, dilema terbesar yang kita hadapi adalah ditemukannya tulisan-tulisan (karya-karya serupa) di dalam sumber-sumber non-Yahudi, yang sebagiannya (tak jarang dalam prosentase yang signifikan) mendahului Perjanjian Lama, tidak kurang dari lima abad sebelumnya. Menurut Keluaran 20, Tuhan secara verbal memproklamasikan Sepuluh Perintah (The Ten Commandments) dan menuliskannya di atas dua lempengan batu, dan menyerahkannya kepada Musa di Gunung Sinai.

Di sini, yang tak boleh kita lupakan adalah kumpulan tulisan-tulisan yang sangat serupa adalah, tentu saja, Kode Hammurabi (The Code of Hammurabi), tertanggal kurang lebih pada tahun 1700 S.M.), di mana penting untuk diperhatikan bahwa yang begitu mencolok adalah kesamaan yang terdapat pada pernyataan-pernyataan awal yang menunjukkan bahwa Kode Perjanjian (The Covenant Code) diambil atau dipinjam dari hukum Hammurabi (Kode Hammurabi) tersebut.

Singkat kata, yang dalam hal ini anggaplah sebagai sebuah kesimpulan historis dan tekstual, bisa dipahami bahwa kedua kode tersebut (Ten Commandments dan Kode Hammurabi) berasal dari sebuah latar-belakang legislasi yang sama yang tersebar luas, di mana Kode Hammurabi telah lebih dulu dipraktikkan secara politis dan kultural yang disokong (dipaksakan) oleh imperium yang berkuasa).

Meskipun kode Ibrani (Ten Commandments) ini tanggalnya lebih belakangan, dalam hal-hal tertentu kode ini dalam karakternya lebih simpel dan primitif daripada kode Ham­murabi. Ketika tentu tidak boleh lupa, bahwa orang-orang Yahudi selama berabad-abad hidup dalam sejumlah imperium Mesopotamia, Assyria, dan bahkan Persia. Terakhir, penting juga dikemukakan contoh lain yang mengundang kuriositas tersendiri adalah yang bersumber dari tulisan-tulisan yang ditemukan di Ras Syamra (kini di Suriah, yang saat ini tengah diganyang aliansi Amerika, Israel, Turki, Rezim Al-Saud dkk itu).


(Foto: Orang Yahudi, Lukisan: Orang-orang Yahudi menghadap Raja Cyrus II The Great atau Zulkarnain dari Dinasti Achamenid Persia, Film: Pernikahan Esther dengan Raja Xerxes atau Kaisar Ahasveros di Persia). 


Ezra: Membaca Lagi Perjanjian Lama (Apakah Ibrahim Orang Arab Atau Yahudi?)



ABSTRAK 
Kajian dan telisik ini adalah upaya yang sabar untuk meneliti, 'Apakah yang dikurbankan Ibrahim as itu adalah Ismail ataukah Ishak?'. Pembahasan dan kajian ini memang disengajakan memulai dirinya dengan membaca ulang Perjanjian Lama itu sendiri sebelum mengkomparasikannya dengan teks-teks Al-Qur'an.

Banyak para ahli, peneliti, sejarahwan, arkeolog, dan para filolog yang menyatakan bahwa Bangsa Arab lebih tua ketimbang Bangsa Israel. Mereka menyatakan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan orang-orang Israel Kuno adalah bahasa-bahasa dari rumpun suku-suku Arab kuno.

PEMBAHASAN
Adalah William G. Dever, seorang Profesor bidang Arkeologi Timur Dekat dan antropologi di Universitas Arizona, yang menyatakan bahwa sumber-sumber Biblikal diedit pada era Persia belakangan (abad ke­5-ke-4 S.M.) dan Helenistik (abad ke-3-ke-2 S.M.). Dan masih ada banyak para ilmuwan lain seperti Tom Thompson dari Copenhagen (Denmark), dan koleganya Niels Peter Lemche, Philip Davies dari Sheffield, "dan sejumlah pakar (para ahli dan para peneliti) yang lain, baik yang berkebangsaan Amerika maupun Eropa, yang meyakini bahwa Bible yang berbahasa Ibrani tidak hanya diedit pada periode Persia/Helenistik tapi memang ditulis pada masa itu."
 
Hal senada juga disampaikan oleh Profesor Frederick Cryer dari Copenhagen, Denmark, di mana ia menyimpulkan bahwa Bible yang berbahasa Ibrani "tidak dapat dibukti­kan memiliki kandungan-kandungan yang sekarang ini sebelum periode Helenistik." Sebuah bangsa yang kita sebut Israel tidak menggunakan istilah itu buat diri mereka, dan sebelum abad keempat Sebelum Masehi, ri­wayat-riwayat (narasi-narasi) Saul dan David, misalnya, ditulis di bawah "kemungkinan pengaruh" dari literatur Helenistik tentang Iskandar. Bahwa teks­-teks Biblikal ini disusun begitu terlambat "yang secara niscaya memaksa kita untuk merendahkan estimasi kita terhadapnya sebagai sumber sejarah."
 
Sementara itu seorang sarjana dan peneliti yang lain, yaitu Niels Lemche, bahkan berpendapat lebih jauh lagi, atau katakanlah lebih ekstrim ketimbang para sarjana yang lain, di mana ia menemukan pen­ciptaan Israel kuno pada "historiografi Jerman abad ke-19 yang memandang semua peradaban dari segi konsep negara-kebangsaan (the nation-state)-nya masing-masing." Dengan demikian, menurutnya, konsep politis dan sosial sebuah Israel kuno adalah merupakan suatu ideal yang aneh dan tidak karuan, yang dilahirkan sebagai akibat dari keasyikan Eropa sendiri dengan ‘konsep’ dan ‘imajinasi’ Negara-­kebangsaan (the nation-state) pada tahun 1800-an alias di abad ke-19.
 
BAHASA ASLI PERJANJIAN LAMA TIDAK DISEBUT SEBAGAI IBRANI
Selanjutnya yang juga penting diketahui dan diinformasikan adalah bahasa masa pra-pengasingan (pre-exilic language) yang digunakan oleh Yahudi adalah dialek Kanaan dan tidak dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang Funisia (atau lebih tepatnya, orang-orang Kanaan) menemukan alfabet yang benar pertama kali ± 1500 S.M., berdasarkan huruf-huruf ketimbang gambar-­gambar deskriptif. Semua alfabet yang berturut-turut seterusnya adalah ber­utang budi pada, dan berasal dari, pencapaian Kanaani ini.

Perlu juga ditambahkan, banyak sejarawan yang menyatakan bahwa jazirah Funisia kuno itu sesungguhnya yang saat ini masuk kawasan Libanon. Dalam budaya umum, bangsa Kanaan (Funisia) tidaklah kalah hebat, dan tidak se­dikit dari budaya Kanaan itu telah diambil alih oleh orang-orang Ibrani.

Orang-orang Ibrani bukanlah pembangun yang besar, juga bukan juga bangsa yang cerdas dalam seni dan keahlian. Akibatnya mereka dalam bidang ini, begitu juga hal-hal yang lain, harus bergantung berat pada orang-orang Kanaan (Funisia). Singkat kata, bahasa apa pun yang digunakan orang-orang Ibrani sebelum menetap di Palestina, adalah dialek bahasa Kanaan yang kemudian menjadi bahasa mereka setelah menetap. 

Dalam hal ini perlu juga dipertimbangkan ketika banyak ilmuwan, para peneliti, sejarahwan, dan para filolog berpendapat bahwa bahasa Ibrani dan Aramaik merupakan dua dialek bahasa Kanaan (Funisia). Dan pada kenyataannya, tulisan-tulisan Yahudi pra-pengasingan (pre exile) adalah berbahasa Kanaan, bukan Ibrani, meski saat ini secara keliru dianggap sebagai bahasa Ibrani lama atau paleo-Ibrani.

Di sini, penting untuk ditegaskan bahwa Abraham (Nabi Ibrahim) dan anak ­cucunya (keturunannya) merupakan suatu marga yang terlalu kecil di Kanaan untuk dapat menciptakan bahasa mereka sendiri, dan dengan terpaksa mereka harus menggunakan bahasa Kanaan yang predominan, sangat tidak mungkin bahwa orang-orang Israel, dalam jumlah yang demikian kecil dan terpaksa me­nanggung penderitaan dan perbudakan di Mesir, adalah dalam posisi yang kondusif untuk menciptakan sebuah bahasa baru. Sejauh yang mungkin di­lakukan hanyalah mengadopsi sebuah dialek bahasa Kanaan tertentu pada tahap (fase) tertentu, tetapi tentu saja tidak ada yang berbeda dan unik. Dan kenyata­annya Perjanjian Lama itu sendiri tidak pernah merujuk pada bahasa Yahudi sebagai bahasa Ibrani, sebagaimana yang diilustrasikan oleh dua ayat dari Yesaya 36: 

[11] Lalu kata Elyakim, Sebna dan Yoah kepada Rab-Syakih, "Tuan, bicara saja dalam bahasa Siria dengan budak-budakmu; karena kami memahaminya: Jangan memakai bahasa Yahudi (Jew's language), nanti dimengerti rakyat di atas tembok kota itu." 

[13] Kemudian Rab-Syakih berdiri dan berteriak dalam bahasa Yahudi, dan berkata, "Dengarlah apa yang dikatakan raja besar, raja Asyur."

Demikianlah terjemahan dalam versi King James (King James Version), dan frasa yang sama juga ditemukan dalam versi New World Translation, versi Holy Bible from the Ancient Eastern Text, Revised Standard Version, serta edisi bahasa Arab. Ketiga versi yang terakhir ini mengganti `bahasa Aram' dengan `bahasa Suriah', tapi tak satu pun menganggap yang lain sebagai bahasa Ibrani.

2 Raja-raja 18:26 dan 2 Tawarikh 32:18 mencatat rentetan kejadian yang sama dan menggabungkan ekspresi yang sama. Dalam bab yang lain dari Yesaya kita membaca: Pada waktu itu bahasa Kanaan akan dipakai dalam lima kota Mesir, dan mereka akan mengangkat sumpah demi Tuhan para penjamu mereka; salah satu kota itu akan dinamakan "Kota Kehancuran".
 
Terjemahan-terjemahan yang telah dikutip di atas secara sepakat menyetujui kesimpulan berikut ini:

Jika bahasa Ibrani telah ditemukan pada waktu itu, tentu saja Perjanjian Lama akan memberikan kesaksian tentang hal itu, dan bukannya malah membuat istilah atau susunan kata-kata (wordings) yang kabur tentang `bahasa orang-orang Yahudi' (Jews' language) atau bahasa Kanaan (language of Canaan).

Dengan kenyataan bahwa teks secara generik merujuk pada bahasa Kanaan yang secara sederhana bisa dikatakan berbahasa Kanaan, kita dapat menyimpulkan bahwa bangsa Israel tidak mempunyai sebuah bahasa yang khusus pada waktu ter­pecahnya Kerajaan menjadi Israel dan Yehuda.

Sesungguhnya kata-kata `bahasa Ibrani' memang benar-benar ada, tapi ia mendahului bangsa Israel, dan tidak merujuk pada sesuatu yang berhubungan secara jauh dengan Yahudi. Kata-kata `ibri (Habiru) dan`ibrani (Hebrew) telah lama dipakai bahkan sebelum 2000 Sebelum Masehi, dan merujuk pada sebuah grup dari suku-suku Arab di daerah-daerah bagian utara Jazirah Arabia, di padang pasir Suriah. Sebutan itu menyebar ke suku-suku Arab yang lain di daerah itu hingga menjadi sinonim dengan `son of the desert' (anak padang pasir).

Teks-teks Cuneiform dan Fir'aunis semenjak sebelum bangsa Israel pun menggunakan kata-kata seperti `Ibri, Habiri, Habiru, Khabiru, dan `Abiru. Dalam hal ini istilah `Ibrani, seperti dianggap berasal dari Abraham dalam Bibel, berarti seorang anggota dari `Abiru (atau suku-suku Arab nomad), yang dia sendiri merupakan salah satu anggotanya. Frase `Ibrit, yang menunjukkan orang-orang Yahudi, diciptakan belakangan oleh para rabi di Palestina. (Bersambung)


Foto-foto: Ummat Kristiani Orthodoks Suriah oleh Getty Images



Ezra: Membaca Lagi Perjanjian Lama (Al-Qur’an Versus Al-Kitab Bagian Kedua)



ABSTRAK
“Mungkinkah Perjanjian Lama hanya fiksi karangan para sarjana dan para Imam Yahudi belaka? Dalam artian, Perjanjian Lama bukanlah Torah atau Taurat, sebagaimana diklaim kemudian. Benarkah Dawud as ‘menzinahi’ Batsheba sebagaimana dinarasikan Perjanjian Lama?”

PEMBAHASAN
Dalam The Way of Torah halaman 81, Jacob Neusner menulis: “Di langit, Tuhan dan para malaikat belajar Taurat persis, seperti para rabi (pemimpin agama Yahudi) mempelajarinya di bumi. Tuhan mengenakan jubah layaknya seorang Yahudi dan bersembahyang menurut cara para rabi. Dia melakukan tindakan-tindakan kasih sayang yang dianjurkan etika Yahudi. Dia mengatur urusan-urusan dunia sesuai dengan aturan-­aturan Taurat, persis seperti yang dilakukan seorang rabi di pengadilan­nya. Satu tafsir legenda penciptaan mengajarkan bahwa Tuhan mengkaji Taurat dahulu dan kemudian menciptakan dunia darinya.”

Namun, berdasarkan narasi dan riwayat Ezra (Uzair as), pada peristiwa perang Bukhtunnashri, Taurat dibakar dan tidak ada yang tersisa, kecuali dalam ingatan ‘Uzair, sementara narasi Uzair (Ezra) sendiri lebih utuh dalam rekaman Al-Qur’an.

Sementara itu, pada saat yang sama, membuktikan eksistensi Taurat dan penggunaannya pada masa Rumah Tuhan yang Pertama adalah sangat sulit. Aaron Demsky berkata: Ciri lain tentang Tahun Sabbat adalah pembacaan Taurat secara publik sewaktu hari raya Booth ..., yang mengakhiri tahun itu (Ulangan 31: 10­13). Tidak terdapat bukti tekstual yang memperlihatkan perayaan tahun-­tahun Sabbat dan Jubilee pada masa Rumah Tuhan yang Pertama. Pada kenyataannya, pengarang Tawarikh... menyatakan bahwa 70 tahun Sabbat dari penaklukan Kanaan oleh bangsa Israel sampai runtuhnya Rumah Tuhan tidak pernah ditaati.

Sedangkan menurut dokumen Damsyik atau Damaskus (yang tujuh kopi darinya ditemukan dalam Kertas Gulungan Laut Mati -The Dead Sea Scrolls) Tuhan memberikan Taurat kepada Musa as secara keseluruhan dalam bentuk tertulis, yang artinya tidak dalam masa dan fase parsial yang selama ini menjadi pertentangan di kalangan para sarjana Perjanjian Lama.

Bersamaan dengan itu semua, masalah apakah dulunya Taurat diletakkan di dalam Peti (The Ark) atau hanya di sampingnya, sangatlah pelik dan membingungkan. Sebabnya tak lain karena peti itu sendiri hilang selama tujuh bulan sewaktu terjadi iInvasi Palestina sekira 1050-1020 S.M., dan pada saat ditemukan kembali, 50.070 orang Israel dari kota Bet-Semes dimusnahkan Tuhan karena berani coba-coba menengok di dalam Peti.

Tatkala Raja Salomo (Sulaiman bin Dawud) memerintahkan agar Peti diipindahkan ke Rumah Tuhan yang Pertama, 1 Raja-raja 8: 9 memberitahukan kita bahwa di dalamnya tak ada satu pun kecuali dua tablet (lempengan batu) yang dibawa Musa dari Sinai, tidak seluruh Hukum Tuhan.

Bahkan jika saja seandainya Taurat disimpan terpisah dari Peti, itu pun tampaknya Taurat juga telah hilang seluruhnya dari kehidupan bangsa Yahudi selama berabad-abad. Selama tujuh puluh tahun Sabbat (lima abad), jika tidak malah lebih, berlalu tanpa ada pembacaan Hukum Tuhan secara publik, yang berpuncak pada pengenalan tuhan-tuhan asing dan ritus-ritus pagan kepada rakyat Israel.

Bagi kita saat ini, tentu hal ini merupakan indikasi jelas bahwa Taurat sejak itu telah terhapus dari memori kolektif bangsa (Israel) ini. Baru sampai tahun kedelapan belas dari pemerintahan Raja Yosia (640-609 S.M.) Taurat ini `secara ajaib ditemukan kembali, yaitu bertepatan dengan pembaruan menyeluruh yang dicanangkan Yosia melawan praktik kurban anak dan ritual-ritual pagan yang lain.

Namun di kala itu pun Taurat masih tidak dipergunakan secara umum untuk waktu dua abad lagi. Tampaknya Taurat ini menghilang dari kesadaran orang-­orang Yahudi secara tiba-tiba persis seperti kemunculannya.

Dalam hal ini, ada bukti yang bagus untuk mengatakan bahwa pembacaan dan penjelasan Hukum Tuhan pertama kali dilakukan secara publik (setelah masa Musa) hanyalah terjadi pada saat pengumumannya oleh Ezra ± 449 S.M. Perlu dicatat bahwa terdapat gap (keterputusan) yang sangat besar yang melebihi 170 tahun antara masa ditemukannya kembali Hukum Tuhan (621 S.M.) dan masa Ezra membacakannya secara publik. (Bersambung



Ismail Atau Ishak? (Bagian Pertama: Versi Islam)



'Wahai putraku! Aku melihat dalam mimpiku bahwa aku mempersembahkanmu dalam pengorbanan. Sekarang apa pendapatmu!' (Putranya) berkata 'Wahai ayahku! Lakukanlah sebagaimana engkau diperintahkan untuk melakukannya. Engkau akan mendapati aku, insya Allah termasuk orang-orang yang sabar! (QS. Al-Shaffat[37]:102).

Ahmad bin Hasan Qaththan meriwayatkan bahwa Ahmad bin Muhammad bin Sa'id Kufi telah meriwayatkan dari Ali bin Hasan bin Fadhdhal, dari ayahnya mengatakan, “Saya bertanya kepada Abul Hasan Ali Ridha bin Musa as tentang makna dari pernyataan Rasulullah saw, 'Aku adalah putra dari dua pengurbanan.'

Imam Ridha as bersabda. 'Itu bermakna bahwa Rasulullah saw adalah keturunan dari Ismail bin Ibrahim Khalilullah dan Abdullah bin Abdul Muthalib. Ismail adalah putra yang sabar yang Allah berikan berita gembira tentang kelahirannya kepada Ibrahim as.

Kemudian, ketika putranya itu telah mencapai usia mampu bekerja bersamanya, dia berkata, 'Wahai putraku! Aku melihat dalam mimpiku bahwa aku mempersembahkanmu dalam pengorbanan. Sekarang apa pendapatmu!' (Putranya) berkata 'Wahai ayahku! Lakukanlah sebagaimana engkau diperintahkan untuk melakukannya. Engkau akan mendapati aku, insya Allah termasuk orang-orang yang sabar! (QS. Al-Shaffat[37]:102)

Ketika dia memutuskan untuk mempersembahkannya sebagai kurban, Allah menggantikannya dengan seekor domba yang bagus. Domba ini telah dipelihara di area hijau segar, dan telah digembalakan di Taman Surga selama empat puluh tahun. Dia tidak memiliki induk. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berkata kepadanya, 'Jadi' dan dia pun tercipta untuk digantikan dengan Ismail, Kami hanya berkata 'Jadi' dan jadilah ia (QS. Al-Nahl[16]:40).

Apa pun yang dikorbankan di Mina hingga Hari Kiamat akan dikorbankan atas nama Ismail. Ini adalah salah satu dari 2 pengorbanan tersebut.

Adapun yang lainya adalah Abdul Muthalib. Ketika itu dia bergelantungan di pintu Ka`bah dan berdoa kepada Allah Azza wa jalla untuk diberikan sepuluh orang anak. Dia bernazar kepada Allah Azza wa jalla bahwa dia akan mempersembahkan (mengurbankan) salah seorang dari mereka sebagai kurban jika doanya dikabulkan.

Ketika jumlah dari anak-anaknya menjadi sepuluh, dia membawa mereka semua di dalam Ka`bah dan menarik undian-undian bagi nama-nama mereka. Undian tersebut jatuh pada nama Abdullah –ayahanda Nabi Muhammad saw-- yang beliau sangat cintai. Beliau menarik undian lagi, dan jatuh pada nama Abdullah. Maka beliau membawanya, menahannya dan memutuskan untuk mempersembahkannya sebagai kurban.

Semua orang dari suku Quraisy lain juga berkumpul bersama sambil menangis. Putri Abdul Muththalib yang bernama Atikah berkata, 'Wahai ayah! Mintalah kepada Allah Azza wa jalla untuk memaafkanmu dari mempersembahkan putramu sebagai kurban.' Abdul Muththalib berkata, 'Wahai putriku! Bagaimana aku bisa meminta ampun untuk ini? Engkau sudah dewasa dan cerdas.'

Atikah berkata, ' Batalkan undian-undian mengenai putramu, dan gantilah dengan unta-untamu yang berada di sekitar Ka`bah. Tambahkanlah jumlah unta sebanyak mungkin hingga Tuhanmu menjadi rida dan undian jatuh pada nama unta-unta.'

Maka Abdul Muththalib mengutus orang untuk mengambil unta-untanya. Mereka membawa unta-unta itu semuanya ke hadapan beliau. Beliau memilih sepuluh dan menarik undian-undiannya. Undian jatuh pada nama Abdullah. Beliau menambah sepuluh lagi dan menarik undian-undian lagi. Dan tetap jatuh pada nama Abdullah hingga sampai mencapai seratus unta.

Kemudian undian jatuh pada nama unta. Orang-orang Quraisy menjadi sangat bahagia dan mengucapkan 'Allahhu Akbar! dengan begitu keras hingga bukit bukit Tihamah bergetar.

CATATAN TAMBAHAN: 

"Jika Abdul Muthalib bukan merupakan hujjah Allah dan tekad beliau mengorbankan anaknya Abdullah berbeda dengan tekad Ibrahim as tentang putranya Ismail as, niscaya Rasulullah saw tidak akan bangga menisbatkan dirinya dengan kedua datuknya (Ibrahim dan Abdul Muthalib) dan beliau saw tidak akan mengatakan 'Aku adalah putra dua pengurbanan'. Alasan Allah mencegah Ismail dari dikorbankan merupakan alasan yang sama seperti Dia mencegah Abdullah dari dikorbankan.  

Dengan demikianlah sunnah (tradisi) mempersembahkan seorang anak laki-laki sebagai kurban tidak ada di antara manusia. Jika tidak, itu akan menjadi wajib bagi manusia untuk mempersembahkan putra-putra mereka sebagai kurban pada perayaan Idul Adha setiap tahun hingga Hari Kiamat untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa jalla. Segala sesuatu yang dikorbankan pada Idul Adha untuk mendekatkan diri pada Allah maka itu fidyah (kurban) untuk Ismail as. 

Lihat 'Uyun Al-Akhbar Ar-Ridha 'alayhis-salam Hadits 18-1 




Ezra: Al-Qur’an Versus Al-Kitab (Bagian Pertama)



Abstrak: “Benarkah Al-Qur’an mencontek Bible (semisal mencontek Perjanjian Lama)? Sebab, dalam banyak tempat dan konteks, Al-Qur’an justru mengoreksi dan membantah Bible dan menarasikan apa yang tidak dinarasikan Bible, yang bahkan justru melengkapi Bible itu sendiri. Pertanyaan ini diajukan terkait dengan mereka yang mengkomparasi Al-Qur’an dan Bible dan lalu kemudian menuduh Al-Qur’an sebagai contekan Bible, ketimbang bersikap adil untuk mengkritisi Bible itu sendiri sembari membaca Al-Qur’an. Tulisan bagian pertama ini hanya sebagai contoh pertama untuk membandingkan narasi Al-Qur’an dan Al-Kitab terkait masalah tersebut.”
Top of Form

“Kami mendengar dari ayah-ayah kami dan kakek-kakek kami bahwa Uzair as adalah seorang Nabi dan ia mampu menghafal Taurat. Sungguh Taurat telah hilang dari kita dalam peperangan Bukhtunnashr di mana mereka membakarnya dan membunuh para ulama dan para pembaca Kitab suci itu. Ini terjadi seratus tahun lalu yang engkau katakan bahwa engkau menjalani kematian atau engkau tidur. Seandainya engkau menghafal Taurat, niscaya kami akan percaya bahwa engkau adalah Uzair as.”

Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?’, maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, ‘Berapa lama kamu tinggal di sini?’ Ia menjawab, ‘Aku tinggal di sini sehari atau setengah hari.’ Allah berfirman, ‘Sebenarnya kamu tinggal di sini selama seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah; dan lihatlah kepada keledaimu itu (yang telah menjadi tulang-belulang): Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.’ Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: ‘Aku yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’ (Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 259).

Dikatakan bahwa Uzair as adalah seorang Nabi dari nabi-nabi Bani Israil. Dia-lah yang menjaga Taurat, lalu terjadilah peristiwa yang sangat mengagumkan padanya. Allah SWT telah mematikannya selama seratus tahun kemudian ia dibangkitkan kembali. Selama Uzair as tidur satu abad penuh, terjadilah peperangan yang didalangi oleh Bakhtansir di mana ia membakar Taurat. Tidak ada sesuatu pun yang tersisa kecuali yang dijaga oleh kaum lelaki. Mukjizat yang terjadi pada Nabi Uzair as adalah sumber fitnah yang luar biasa di tengah kaumnya.

Pada suatu hari, tampak bahwa cuaca sangat panas dan segala sesuatu merasa kehausan. Sementara itu, desa yang ditinggali oleh Uzair hari itu tampak tenang karena sedang melalui musim panas di mana sedikit sekali aktivitas di dalamnya. Uzair berpikir bahwa kebunnya butuh untuk diairi. Kebun itu cukup jauh dan jalan menuju ke sana sangat berat dan disela-selai dengan kuburan. Sebelumnya, tempat itu adalah kota yang indah dan ramai di mana penghuninya cukup asyik tinggal di dalamnya lalu ia menjadi kota mati.

Uzair as berpikir dalam hatinya bahwa pohon-pohon di kebunnya pasti merasakan kehausan lalu ia menetapkan untuk pergi memberinya minum. Hamba yang saleh dan salah seorang nabi dari Bani Israil ini pergi dari desanya. Matahari tampak masih baru memasuki waktu siang. Uzair as menunggang keledainya dan memulai perjalanannya. Beliau tetap berjalan hingga sampai di kebun. Beliau mengetahui bahwa pohon-pohonnya tampak kehausan dan tanahnya tampak terbelah dan kering. Uzair menyirami kebunnya dan ia memetik dari kebun itu buah tin (sebagian buah tin) dan mengambil pohon anggur. Beliau meletakkan buah tin di satu keranjang dan meletakkan buah anggur di keranjang yang lain. Kemudian ia kembali dari kebun sehingga keledai yang dibawanya berjalan di tengah-tengah terik matahari.

Di tengah-tengah perjalanan, Uzair berpikir tentang tugasnya yang harus dilakukan esok hari. Tugas pertama yang harus dilakukannya adalah mengeluarkan Taurat dari tempat persembunyiannya dan meletakkannya di tempat ibadah. Beliau berpikir untuk membawa makanan dan memikirkan tentang anaknya yang masih kecil, di mana beliau teringat oleh senyumannya yang manis, dan beliau pun terus berjalan dan semakin cepat. Beliau menginginkan keledainya untuk berjalan lebih cepat.

Lalu Uzair as sampai di suatu kuburan. Udara panas saat itu semakin menyengat dan keledai-nya tampak kepayahan. Tubuhnya diselimuti dengan keringat yang tampak menyala karena tertimpa sinar matahari. Keledai itu pun mulai memperlambat langkahnya ketika sampai di kuburan. Uzair as berkata kepada dirinya: Mungkin aku lebih baik berhenti sebentar untuk beristirahat, dan aku akan mengistirahatkan keledai. Lalu aku akan makan siang. Uzair as turun dari keledainya di salah satu kuburan yang rusak dan sepi.

Semua desa itu menjadi kuburan yang hancur dan sunyi. Uzair mengeluarkan piring yang dibawanya dan duduk di suatu naungan. Ia mengikat keledai di suatu dinding, lalu ia mengeluarkan sebagian roti kering dan menaruhnya di sampingnya. Selanjutnya, ia memeras di piringnya anggur dan meletakkan roti yang kering itu di bawah perasan anggur. Uzair as menyandarkan punggungnya di dinding dan agak menjulurkan kakinya. Uzair as menunggu sampai roti itu tidak kering dan tidak keras.

Kemudian Uzair mulai mengamati keadaan di sekelilingnya dan tampak keheningan dan kehancuran meliputi tempat itu: rumah-rumah hancur berantakan dan tampak tiang-tiang pun akan hancur, pohon-pohon sedikit saja terdapat di tempat itu yang tampak akan mati karena kehausan, tulang-tulang yang mati yang dikuburkan di sana berubah menjadi tanah. Alhasil, keheningan menyeliputi tempat itu. Uzair as merasakan betapa kerasnya kehancuran di situ dan ia bertanya dalam dirinya sendiri: “Bagaimana Allah SWT menghidupkan semua ini setelah kematiannya? Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?”

Uzair as bertanya: Bagaimana Allah SWT menghidupkan tulang-tulang ini setelah kematiannya, di mana ia berubah menjadi sesuatu yang menyerupai tanah. Uzair as tidak meragukan bahwa Allah SWT mampu menghidupkan tulang-tulang ini, tetapi ia mengatakan yang demikian itu karena rasa heran dan kekaguman. Belum lama Uzair as mengatakan kalimatnya itu sehingga ia mati. Allah SWT mengutus malaikat maut padanya lalu rohnya dicabut, sementara keledai yang dibawanya masih ada di tempatnya ketika melihat tuannya sudah tidak lagi berdaya.

Keledai itu tetap di tempatnya sehingga matahari tenggelam lalu datanglah waktu Subuh. Keledai itu berusaha berpindah dari tempatnya tetapi ia terikat. Ia pun masih ada di tempatnya dan tidak bisa melepaskan ikatannya sehingga ia mati kelaparan.

Kemudian penduduk desa Uzair as merasa gelisah dan mereka ramai-ramai mencari Uzair as di kebunnya, tetapi di sana mereka tidak menemukannya. Mereka kembali ke desa dan tidak menemukannya. Lalu mereka menetapkan beberapa kelompok untuk mencarinya. Akhirnya, kelompok-kelompok ini mencari ke segala penjuru tetapi mereka tidak menemukan Uzair as dan tidak menemukan keledainya. Kelompok-kelompok ini melewati kuburan yang di situ Uzair as meninggal, namun mereka tidak berhenti di situ. Tampak bahwa di tempat itu hanya diliputi keheningan.

Seandainya Uzair as ada di sana niscaya mereka akan mendengar suaranya. Kemudian kuburan yang hancur ini sangat menakutkan bagi mereka, karena itu mereka tidak mencari di dalamnya.

Lalu berlalulah hari demi hari, dan orang-orang putus-asa dari mencari Uzair as, dan anak-anaknya merasa bahwa mereka tidak akan melihat Uzair as kedua kalinya dan istrinya mengetahui bahwa Uzair as tidak mampu lagi memelihara anaknya dan menuangkan rasa cintanya kepada mereka sehingga istrinya itu menangis lama sekali.

Sesuai dengan perjalanan waktu, maka air-mata pun menjadi kering dan penderitaan makin berkurang. Akhirnya, manusia mulai melupakan Uzair as dan mereka tetap menjalankan tugas mereka masing-masing. Dan berjalanlah tahun demi tahun dan masyarakat mulai melupakan Uzair as kecuali anaknya yang paling kecil dan seorang wanita yang bekerja di rumah mereka di mana Uzair as sangat cinta kepadanya. Usia wanita itu dua puluh tahun ketika Uzair as keluar dari desa.

Berlalulah sepuluh tahun, dua puluh tahun, delapan puluh tahun, sembilan puluh tahun sehingga sampai satu abad penuh. Allah SWT berkehendak untuk membangkitkan Uzair as kembali. Allah SWT mengutus seorang malaikat yang meletakkan cahaya pada hati Uzair as sehingga ia melihat bagaimana Allah SWT menghidupkan orang-orang mati. Uzair as telah mati selama seratus tahun. Meskipun demikian, ia dapat berubah dari tanah menjadi tulang, menjadi daging, dan kemudian menjadi kulit. Allah SWT membangkitkan di dalamnya kehidupan dengan perintah-Nya sehingga ia mampu bangkit dan duduk di tempatnya dan memperhatikan dengan kedua matanya apa yang terjadi di sekelilingnya.

Uzair as bangun dari kematian yang dijalaninya selama seratus tahun. Matanya mulai memandang apa yang ada di sekelilingnya lalu ia melihat kuburan di sekitarnya. Ia mengingat-ingat bahwa ia telah tertidur. Ia kembali dari kebunnya ke desa lalu tertidur di kuburan itu. Inilah peristiwa yang dialaminya. Matahari bersiap-siap untuk tenggelam sementara ia masih tertidur di waktu Dzuhur.

Uzair as berkata dalam dirinya: Aku tertidur cukup lama. Barangkali sejak Dzuhur sampai Maghrib. Malaikat yang diutus oleh Allah SWT membangunkannya dan bertanya: “Berapa lama kamu tinggal di sini?”

Malaikat bertanya kepadanya: “Berapa jam engkau tidur?” Uzair menjawab: “Aku tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Malaikat yang mulia itu berkata kepadanya: “Sebenarnya kamu tinggal di sini selama seratus tahun lamanya. ” Engkau tidur selama seratus tahun. Allah SWT mematikanmu lalu menghidupkanmu agar engkau mengetahui jawaban dari pertanyaanmu ketika engkau merasa heran dari kebangkitan yang dialami oleh orang-orang yang mati. Uzair as merasakan keheranan yang luar biasa sehingga tumbuhlah keimanan pada dirinya terhadap kekuasaan Al-Khaliq (Sang Pencipta). Malaikat berkata sambil menunjuk makanan Uzair: “Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah.”

Uzair melihat buah tin itu lalu ia mendapatinya seperti semula di mana warnanya tidak berubah dan rasanya pun tidak berubah. Telah berlalu seratus tahun tetapi bagaimana mungkin makanan itu tidak berubah? Lalu Uzair as melihat piring yang di situ ia memeras buah anggur dan meletakkan di dalamnya roti yang kering, dan ia mendapatinya seperti semula di mana minuman anggur itu masih layak untuk diminum dan roti pun masih tampak seperti semula, di mana kerasnya dan keringnya roti itu dapat dihilangkan ketika dicampur dengan perasan anggur.

Uzair as merasakan keheranan yang luar biasa, bagaimana mungkin seratus tahun terjadi sementara perasan anggur itu tetap seperti semula dan tidak berubah. Malaikat merasa bahwa seakan-akan Uzair masih belum percaya atas apa yang dikatakannya. Karena itu, malaikat menunjuk keledainya sambil berkata: “Dan lihatlah kepada keledaimu itu (yang telah menjadi tulang-belulang).”

Uzair as pun melihat ke keledainya tetapi ia tidak mendapati kecuali ia tanah dari tulang-tulang keledainya. Malaikat berkata kepadanya: “Apakah engkau ingin melihat bagaimana Allah SWT membangkitkan orang-orang yang mati? Lihatlah ke tanah yang di situ terletak keledaimu.”

Kemudian malaikat memanggil tulang-tulang keledai itu lalu atom-atom tanah itu memenuhi panggilan malaikat sehingga ia mulai berkumpul dan bergerak dari setiap arah lalu terbentuklah tulang-tulang. Malaikat memerintakan otot-otot syaraf daging untuk bersatu sehingga daging melekat pada tulang-tulang keledai. Sementara itu, Uzair as memperhatikan semua proses itu. Akhirnya, terbentuklah tulang dan tumbuh di atasnya kulit dan rambut.

Alhasil, keledai itu kembali seperti semula setelah menjalani kematian. Malaikat memerintahkan agar roh keledai itu kembali kepadanya dan keledai pun bangkit dan berdiri. Ia mulai mengangkat ekornya dan bersuara. Uzair as menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah SWT tersebut terjadi di depannya. Ia melihat bagaimana mukjizat Allah SWT yang berupa kebangkitan orang-orang yang mati setelah mereka menjadi tulang belulang dan tanah. Setelah melihat mukjizat yang terjadi di depannya, Uzair as berkata: “Aku yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.“
           
Uzair as bangkit dan menunggangi keledainya menuju desanya. Allah SWT berkehendak untuk menjadikan Uzair as sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya kepada masyarakat dan mukjizat yang hidup yang menjadi saksi atas kebenaran kebangkitan dan hari kiamat. Uzair memasuki desanya pada waktu Maghrib. Ia tidak percaya melihat perubahan yang terjadi di desanya di mana rumah-rumah dan jalan-jalan sudah berubah, begitu juga manusia dan anak-anak yang ditemuinya.

Tak seorang pun di situ yang mengenalinya. Sebaliknya, ia pun tidak mengenali mereka. Uzair as meninggalkan desanya saat beliau berusia empat puluh tahun dan kembali kepadanya dan usianya masih empat puluh tahun. Tetapi desanya sudah menjalani waktu seratus tahun sehingga rumah-rumah telah hancur dan jalan-jalan pun telah berubah dan wajah-wajah baru menghiasi tempat itu.

Uzair berkata dalam dirinya: Aku akan mencari seorang lelaki tua atau perempuan tua yang masih mengingat aku. Uzair as terus mencari sehingga ia menemukan pembantunya yang ditinggalnya saat berusia dua puluh tahun. Kini, usia pembantu itu mencapai seratus dua puluh tahun di mana kekuatannya sudah sangat merosot dan giginya sudah ompong dan matanya sudah lemah.

Uzair as bertanya kepadanya: “Wahai perempuan yang baik, di mana rumah Uzair as.” Wanita itu menangis dan berkata: “Tak seorang pun yang mengingatnya. Ia telah keluar sejak seratus tahun dan tidak kembali lagi. Semoga Allah SWT merahmatinya.” Uzair as berkata kepada wanita itu: “Sungguh aku adalah Uzair as. Tidakkah engkau mengenal aku? Allah SWT telah mematikan aku selama seratus tahun dan telah membangkitkan aku dari kematian.”

Wanita itu keheranan dan tidak mempercayai omongan itu. Wanita itu berkata: “Uzair as adalah seseorang yang doanya dikabulkan. Kalau kamu memang Uzair as, maka berdoalah kepada Allah SWT agar aku dapat melihat sehingga aku dapat berjalan dan mengenalmu.” Lalu Uzair as berdoa untuk wanita itu sehingga Allah SWT mengembalikan penglihatan matanya dan kekuatannya. Wanita itu pun mengenali Uzair as. Lalu ia segera berlari di negeri itu dan berteriak: “Sungguh Uzair as telah kembali.”

Mendengar teriakan wanita itu, masyarakat bingung dan merasa heran. Mereka mengira bahwa wanita itu telah gila.

Kemudian diadakan pertemuan yang dihadiri orang-orang pandai dan para ulama. Dalam majlis itu juga dihadiri oleh cucu Uzair as di mana ayahnya telah meninggal dan si cucu itu telah berusia tujuh puluh tahun sedangkan kakeknya, Uzair as, masih berusia empat puluh tahun. Di majelis itu mereka rnendengarkan kisah Uzair as lalu mereka tidak mengetahui apakah mereka akan mempercayainya atau mengingkarinya.

Salah seorang yang pandai bertanya kepada Uzair as: “Kami mendengar dari ayah-ayah kami dan kakek-kakek kami bahwa Uzair as adalah seorang Nabi dan ia mampu menghafal Taurat. Sungguh Taurat telah hilang dari kita dalam peperangan Bukhtunnashr di mana mereka membakarnya dan membunuh para ulama dan para pembaca Kitab suci itu. Ini terjadi seratus tahun lalu yang engkau katakan bahwa engkau menjalani kematian atau engkau tidur. Seandainya engkau menghafal Taurat, niscaya kami akan percaya bahwa engkau adalah Uzair as.”

Uzair mengetahui bahwa tak seorang pun dari Bani Israil yang mampu menghafal Taurat. Uzair as telah menyembunyikan Taurat itu dari usaha musuh untuk menghancurkannya. Uzair as duduk di bawah naungan pohon sedangkan Bani Israil berada di sekitarnya. Lalu Uzair as menghapusnya huruf demi huruf sampai selesai lalu ia berkata dalam dirinya: Aku sekarang akan mengeluarkan Taurat yang telah aku simpan.

Uzair as pergi ke suatu tempat lalu ia mengeluarkan Taurat di mana kertas yang terisi Taurat itu telah rusak. Ia mengetahui mengapa Allah SWT mematikannya selama seratus tahun dan membangkitkannya kembali. Kemudian tersebarlah berita tentang mukjizat Uzair as di tengah-tengah Bani Israil. Mukjizat tersebut membawa fitnah yang besar bagi kaumnya. Sebagian kaumnya mengklaim bahwa Uzair as adalah anak Allah. Allah SWT berfirman:

“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair adalah anak Allah’” (Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 30). Mula-mula mereka membandingkan antara Musa as dan Uzair as dan mereka berkata: “Musa tidak mampu mendatangkan Taurat kepada kita kecuali di dalam kitab sedangkan Uzair as mampu mendatangkannya tanpa melalui kitab (tanpa dicetak).”

Setelah perbandingan yang salah ini, mereka menyimpulkan sesuatu yang keliru di mana mereka menisbatkan kepada nabi mereka hal yang sangat tidak benar. Mereka mengklaim bahwa dia adalah anak Tuhan. Maha Suci Allah dari semua itu: “Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia” (Al-Qur’an Surah Maryam ayat 35).


(Silahkan bandingan riwayat dan narasi Ezra ini dengan Bible, dan silahkan lihat mana yang utuh dan mana yang cacat).