Jumat, 13 November 2015

Husain Pewaris Adam –Sketsa Biografis Ali Syari’ati



Kesadaran, kepekaan, keberanian berpikir, keluhuran jiwa serta kekuatan kalbu –semua ini adalah sifat-sifat agung manusia yang ditemukannya pada pribadi ‘Ain al-Quzat dan didambakannya sendiri. Dan dengan ketajaman rasanya dia sadar bahwa dia pun akan mengalami nasib seperti ‘Ain al-Quzat, mati dini dalam usia muda. Karena itu, tidak mengherankan, dia sudah siap menghadapi setiap kemungkinan dan tidak pernah gentar mengemukakan pendapatnya. Tetapi dia tahu, bahwa dalam masyarakat yang terdiri atas golongan tertindas dan terhina, dalam masa kejahilan, di tengah gurun kealpaan atau lebih tepat lagi, dalam masa di mana orang mengambil sikap melupakan dan mengabaikan kebenaran ―kesadaran dan kepekaan tidak lagi identik dengan keberanian berpikir dan kekuatan kalbu. Sebaliknya, mutu intelektualitas telah jadi identik dengan ambisi dan hasrat akan kedudukan. Keadaan ini justru menyebabkan penindasan dan penghinaan terhadap mereka yang sadar.

Dia (Ali Syari’ati), dengan senyum pahit, mengecam para intelektual yang tidak memiliki keberanian, bahkan malah turut serta dalam korupsi; mereka senantiasa menanti bingung di persimpangan jalan dan tidak berani maju menghadapi ujian karena takut gagal.

Baginya, jalan yang telah dipilihnya bukan merupakan “langkah pertama”, melainkan seluruh hidupnya. Sedangkan sikap bimbang ragu adalah sikap penghambaan intelektual, yang secara metaforis kita sebut sebagai “intelektualisme”.

Seluruh hidupnya yang singkat tetapi berarti telah digunakannya untuk berjuang secara berani, dan dengan segenap daya dan kemampuan menentang lawan pikiran dan kemanusiaan yang kawakan ini. 

Sementara itu, dia melancarkan perlawanan terhadap kebiasaan untuk menganggap sesuatu yang aktual sebagai hal yang normal dan wajar sehingga dirasakan tidak perlu menggantinya dengan yang ideal; terhadap pandangan bahwa hidup manusia adalah sia-sia dan tanpa arti; terhadap kedangkalan dan kesombongan; terhadap candu yang bukan saja telah merasuk sebagian terbesar umat, tetapi bahkan sekelompok pengawal agama tauhid, melenakan mereka dalam keadaan antara tidur dan jaga, dalam lamunan hampa dan telah menyelewengkan mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan yang ditandai oleh jatuh-bangun ―jalan yang menuntut keyakinan serta hati-nurani yang waspada.

Dia melancarkan jihad terus-menerus terhadap kekejian zaman dan masyarakat kita, masyarakat yang telah layu akarnya. Maka untuk menyirami akar yang telah layu itu seruannya harus dikorbankan, termasuk hidup sendiri, dengan cara menjadi syahid!

“Aku tidak bisa tinggal diam dan tidak mengatakan sesuatu. Bila aku diam, rasanya aku bagaikan seorang yang sedang sekarat yang tahu bahwa kedamaian dan keselamatan sedang menantinya, yang telah jemu akan kesukaran hidup, yang tidak dapat berbuat lain terkecuali menanti sepanjang hayat...Tidakkah kau lihat betapa nikmat dan damainya kematian seorang syahid? Bagi mereka yang terbiasa akan rutin harian, kematian merupakan tragedi yang seram, penghentian yang dahsyat dari segalanya: lenyap dalam ketiadaan. Alangkah agungnya mereka yang memperhatikan amar yang menakjubkan ini dan mengamalkannya ― “Matilah sebelum engkau mati” (Kavir, hal. 55).

Setiap orang yang mengenal Dr. Syari’ati tahu benar bahwa mempelajari dan membaca karya serta buah pikirannya bukan saja bermanfaat tetapi juga bahwa cara hidupnya merupakan refleksi pandangan dunianya yang tepat dan mendalam, seberkas sinar yang memancar dari imannya. Berikut ini akan kami kemukakan sekadar garis besar saja, suatu sketsa kehidupan yang sarat dengan amal, kegiatan, keyakinan, cinta serta tanggungjawab ―kehidupan seorang manusia yang sadar dan penuh bakti. Atas penyajian kami yang kurang memadai ini kami mohon maaf kepadanya dan kepada sahabat-sahabatnya.

SKETSA HIDUP ALI SYARI’ATI
Sungguh, yang menjadi masalah baginya bukanlah hidup itu sendiri, melainkan bagaimana melangsungkannya dan apa tujuannya. Karena itulah sejak awal dia sudah bergulat untuk memberi bentuk dan arti bagi hidupnya. Selain itu dia pun menyadari benar, betapa berat amanah yang diwarisinya dari leluhurnya. Dia ingin memikul amanah itu sebaik-baiknya sampai ke tempat tujuan, dan sebagaimana tercatat dalam surat terakhirnya, sekejap pun dia tidak pernah menyia-nyiakan atau membiarkan waktunya berlalu tanpa manfaat dan hasil: 

“Berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, yang kasih ajaib-Nya menimbulkan malu dan perih dalam hatiku dan hampir membuat batinku guncang meledak, karena kukira aku tidak pantas untuk itu, telah kutempuh jalan itu sehingga aku tidak dapat membiarkan sekejap pun dari hidupku untuk kesenangan pribadi. Kiranya Allah melimpahkan kurnia pertolongan-Nya kepadaku dalam mengatasi kelemahanku, dan adakah nikmat yang lebih besar dari ini, bahwa hidupku yang tadinya tidak akan karuan, ditakdirkan harus begini?” (Dari surat terakhir Syari’ati kepada ayahandanya). 

Hidupnya tidak hanya untuk mendukung amanah yang diwarisinya dan leluhurnya, tetapi juga untuk menuntut kebenaran dan keadilan yang sepanjang sejarah di setiap zaman merupakan amanah mereka yang tertindas, terhina dan teraniaya, amanah yang telah dimanifestasikan sepenuhnya oleh Husain, pewaris Adam, beban yang telah dibawa oleh Zainab ke dalam istana Yazid di Damsyik (Damaskus, Suriah), beban yang semakin hari terasa semakin berat di pundak para pengabdi Allah.

Kesepian, keterasingan, kegagalan, kekecewaan dan penderitaan jelas terlihat di gurun itu berlumur darah; di angkatnya kepalanya di atas gelimang merah syuhada, dan tegak senyap, seorang diri (Husain Pewaris Adam, hal. 16-17). 

Dia meyakininya sebagai warisan filsafat dan iman Islam untuk membangun suatu kesinambungan yang terarah dan mengaliri aneka peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi di berbagai waktu dan tempat. Satu sama lain para syuhada itu dihubungkan oleh kesinambungan ini; mereka lahir dan mereka mati akibat suatu sebab logis dan hukum ilmiah; mereka saling meneruskan serta saling mempengaruhi; dan masing-masing menjadi mata rantai dari suatu rangkaian yang merentang sejak awal kemanusiaan, Adam, hingga berakhirnya sistem kontradiksi dan pertarungan di akhir zaman. Kesinambungan yang logis ini, gerakan maju yang pasti ini, dikenal sebagai sejarah. 

Tidak pernah sekejap pun dia melupakan amanah sejarah yang berat ini, yang diwarisinya dari leluhurnya dan menyinari seluruh hayatnya. Hidupnya bermula di gurun pasir dan berakhir pada saat dia menemukan ideologi historis dan sosial yang utuh, suatu risalah yang merupakan panduan intelektual bagi angkatan muda, suatu usaha menemukan kembali “jalan tengah” yang didambakan zaman kita. Secara sadar dia melangkah sepanjang garis nasib mereka yang menderita kepedihan zaman, maka bertambahlah seorang lagi bilangan para syuhada dalam sejarah ―Suatu esensi suci pantaslah menerima kurnia Allah; Tidak setiap batu dan bungkal bisa menjadi marjan dan mutiara. 

Tidaklah kebetulan, sebagaimana halnya banyak tokoh besar di bidang ilmu dan agama, hidup Syari’ati berakar di pedesaan. Dia benar-benar bangga akan leluhurnya, yang merupakan ulama-ulama terkemuka pada masa mereka, karena mereka telah memilih jalan hidup menyepi di gurun Kavir, menghindari hingar-bingar kehidupan kota. Marilah kita ikuti kata-katanya sendiri: 

“Lebih kurang delapan puluh lima tahun yang lalu, sebelum bermulanya Revolusi Konstitusional, kakekku belajar ilmu kalam, filsafat dan fiqh pada pamannya dari pihak ibu, Allamah Bahmanabadi, dan dia biasa terlihat dalam perdebatan filsafat dengan Hakim Asrar. Meskipun tinggalnya jauh dan terpencil di desa Bahmanabad dekat Mazinan, dia terkenal di kalangan terpelajar Teheran, Masyhad, Isfahan, Bukhara dan Najaf. Terutama di Teheran dia dianggap sebagai seorang genius, sehingga Nasiruddin Syah lalu mengundangnya ke ibukota. Di sana dia mengajar filsafat di madrasah Sipahsalar. Tetapi rupanya hasratnya untuk menyendiri dan menyepi menggetar kuat dalam kalbunya menariknya pulang kembali ke Bahmanabad. Padahal sebenarnya kedudukannya sudah mantap di ibukota, sehingga kalau mau dia bisa memperoleh jabatan, kekuasaan, menjadi tokoh masyarakat serta menikmati kemasyhuran dan pengaruhnya. Namun secara sadar semua itu ditinggalkannya”. 

Banyak yang diperoleh Syari’ati dari leluhurnya; dia belajar filsafat untuk tetap menjadi manusia di tengah-tengah kehidupan yang telah tercemar, di kala terasa sekali betapa sukarnya untuk tetap menjadi manusia, di kala seruan jihad perlu diulang setiap hari, dan di kala jihad tidak mungkin dilancarkan. 

“Akhund Hakim ialah kakekku dari pihak ibu. Alangkah mengasyikkan cerita mereka tentangnya kepadaku. Dari cerita-cerita inilah berasal perasaan yang dalam serta tanpa sadar di lubuk jiwaku...Seakan-akan dapat kulihat diriku hidup dalam dirinya limapuluh atau delapanpuluh tahun yang lalu...dan aku berterima kasih kepadanya karena apa adanya dan karena apa yang dilakukannya” (Kavir, hal. 9, dan seterusnya).

Pamannya dari pihak ibu pun merupakan salah seorang murid terkemuka dari ulama termasyhur, Adib Nisyapuri. Tetapi, setelah belajar fiqh, filsafat dan sastra, dia mengikuti jejak leluhurnya, kembali ke Mazinan. Syari’ati mengambil alih seluruh amanah kemanusiaan dan intelektual yang diwariskan leluhurnya. Dia merasa bahwa mereka tetap hidup dalam dirinya dan menerangi jalan yang ditempuhnya. Namun, ayahandanyalah yang sebenarnya menjadi guru ruhaninya yang utama. Maka jadilah sang anak refleksi yang benderang dari esensi ayahandanya.

“Ayahku merombak tradisi dan tidak pulang kembali ke desa setelah menyelesaikan pelajarannya. Dia tinggal di kota dan berjuang gigih mempertahankan dirinya dengan ilmu, cinta-kasih dan jihad di tengah-tengah gelimang noda kehidupan kota...Diriku adalah hasil keputusannya untuk tetap di kota, dan akulah satu-satunya yang mewarisi semua kekayaan yang ditinggalkannya, harta yang berupa kemiskinan...Akulah pendukung amanah kinasihnya yang teramat berat...(Kavir, hal. 19).

Terutama yang menjadi perhatiannya ialah untuk mengembalikan para remaja terpelajar modern kepada Iman dan Islam, menyelamatkan mereka dari materialisme, pemujaan terhadap Barat dan permusuhan rerhadap agama.

“Ide yang berkembang dalam beberapa tahun belakangan untuk mempergunakan Al-Quran sebagai sarana sentral dalam mengajarkan, mempelajari serta menyiarkan Islam dan Syi’ah, begitupun ide untuk mendirikan suatu sekolah khusus tafsir al-Quran terutama berasal dari dia” (Syari’ati, Menjawab Beberapa Soal, hal. 162). 

Kami menggarisbawahi pengaruh ayahnya atas diri Syari’ati, karena sebagaimana setiap orang yang mengenal cendekiawan yang berhati mulia ini kiranya bisa menyetujui ini akan membantu kita memahami berbagai dimensi kehidupan Syari’ati. Sekaligus itupun merupakan bukti, bahwa jika seorang genius dan cerdas ditempatkan di bawah asuhan seorang guru yang cakap, bila dia menerima pendidikan dalam kondisi yang memadai, maka dia akan mampu mematahkan batas-batas keawaman, menelanjangi zamannya sendiri. Dia tidak akan sekadar menjadi penerima, melainkan akan tumbuh menjadi sumber yang berwibawa; dia tidak akan pernah bersikap pasif, melainkan akan aktif senantiasa.

Mereka yang mengenal Syari’ati tua dan mengamati aneka dimensi kehidupannya, yaitu dimensi-dimensi kearifan, religius, sosial, politik serta manusiawinya, tahu betul akan pengabdiannya, ketekunannya, daya tahannya, kedalaman pengetahuannya. Mereka pun mengenal tulisan-tulisannya di bidang agama maupun di bidang filsafat, seperti: Khilafah dan Wilayah dalam al-Quran dan Sunnah; Wahyu dan Kenabian; ‘Ali, Saksi Risalah; Janji Agama-Agama; Guna dan Keperluan Agama; Ilmu Ekonomi Islam, dan terutama Tafsir Modern (Tafsir-i Nuvin)-nya. 

Akhirnya mereka tahu betul akan keberaniannya menentang semua anasir yang membekukan dan membunuh bakat, yang bahkan terdapat di universitas-universitas serta lingkungan Islam. Mereka menyadari peranannya yang penting dalam mengubah metode pendekatan terhadap masalah-masalah Islam dan dalam memilih metode penelitiannya yang tepat di zaman edan ini. Tidak banyak, dewasa ini, bapak dan anak semacam mereka.

“Ayahku membentuk dimensi-dimensi pertama batinku. Dialah yang mula-mula mengajarku seni berpikir dan seni menjadi manusia. Begitu ibu menyapihku, ayah memberikan kepadaku cita kemerdekaan, mobilitas, kesucian, ketekunan, keikhlasan serta kebebasan batin. Dia-lah yang memperkenalkan aku kepada sahabat-sahabatnya ― ialah buku-bukunya; mereka menjadi sahabat-sahabatku yang tetap dan karib sejak tahun-tahun permulaan sekolahku. Aku tumbuh dan dewasa dalam perpustakannya, yang merupakan keseluruhan hidupnya dan keluarganya. Banyak hal yang sebetulnya baru akan kupelajari kelak bila aku telah dewasa, melalui rangkaian pengalaman yang panjang serta harus kubayar dengan usaha dan perjuangan yang lama, tetapi ayahku telah menurunkannya kepadaku sejak masa kanak-kanak dan remajaku secara mudah dan spontan. Aku dapat mengingat kembali setiap bukunya, bahkan bentuk sampulnya. Teramatlah cintaku akan ruang yang baik dan suci itu; bagiku ia merupakan sari masa lampauku yang manis, indah, tetapi jauh” (Ali Syari’ati, Menjawab Beberapa Soal, hal. 89). 

Tetapi mereka yang genius dan berbakat selalu mematah batas lingkungan dan menelanjangi zamannya. Seorang genius selalu menganggap kaidah-kaidah yang ada sekadar sebagai titik-tolak untuk lompatan kreatif ke depan. Tidak pernah ia membiarkan diri dikungkung dan dikekang oleh lingkungannya. Syari’ati menyadari benar akan batasan lingkungannya maupun tentang bentuk-bentuk tradisional di sekitarnya. Namun ia tidak akan menyerah. Bahkan ia telah bertekad untuk mengatasi semua itu, mengarahkannya sesuai dengan keyakinannya. Dan ia berhasil. Ia mengajar sambil belajar, dan berkembang secara intelektual dalam berbagai hal sehingga setiap orang tahu bahwa ia telah melangkah melampaui batas lingkungan dan zamannya. 

Bakat, lingkungan yang sesuai dan terutama keyakinan akan kebenaran Islam, bergabung dengan keikhlasan pemikiran dan sikap intelektual dan personal, semua itu telah dimanfaatkan Syari’ati sebaik-baiknya demi cita-citanya yang luhur. Berikut adalah catatannya tentang lingkungan dan pendidikannya. 

“Alangkah besar berkas yang dikurniakan dalam hidupku. Tidak mungkin aku menilainya. Tidak seorang pun yang seberuntungku dalam hidup ini. Nasib telah mempertemukan aku dengan pribadi, pribadi yang luar-biasa, besar, indah, bersemangat serta kreatif, rasanya mereka berada dalam diriku. Bahkan sekarang pun bisa kuhayati kehadiran mereka di dalam diriku, dan aku hidup melalui mereka dan dalam mereka...(Kavir, hal. 88)

Sebagaimana halnya dengan pribadi-pribadi besar yang pernah menjadi gurunya, maupun orang lain yang telah menggairahkan zikir dan jihad kepadanya, begitu juga berbagai aspek ajaran Islam yang menjadi sumber inspirasi dan cita-citanya, hidupnya selalu dalam keadaan tafakkur, bergerak dan tanggung-jawab, berjuang demi kesempurnaan dan keabadian. Namun hidupnya tidak pernah merusak hubungannya dengan lingkungannya semula maupun keluarganya dan tidak pernah ia melupakan gurun Kavir. Setiap kali orang menyebut Mazinan memancarkan senyum bahagia pada wajahnya. 

Masa kanak-kanak dan remajanya biasa saja, tidak berbeda dengan siswa lainnya. Ia sekolah, turut ujian, setiap tahun naik kelas, mula-mula di sekolah dasar lalu di sekolah lanjutan. Sementara itu ia pun sibuk belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama. Setamat sekolah lanjutan atas, karena senang akan profesi guru, ia masuk ke sekolah keguruan yang waktu itu merupakan lembaga yang harum dan penting, mempersiapkan mereka, yang karena suatu dan lain hal tidak bisa masuk ke universitas, untuk menjadi guru. Waktu itulah ia memulai kariernya sebagai penulis dengan karya-karyanya antara lain Pendidikan Tengah (Maktab-e Wasita), mengenai filsafat sejarah. Ia pun menyampaikan ceramah-ceramah di hadapan para mahasiswa dan intelektual di Pusat Dakwah Islam di Masyhad. 

Yang terutama membentuk dan mempengaruhi jalan pikirannya bukanlah program studinya yang konvensional. Juga bukan pendidikan tingginya di luar negeri. Melainkan kegemarannya untuk belajar dan berpikir, serta kreativitas dan tanggung-jawab yang berasal dari keyakinan Islamnya yang teguh. Begitu pun dari lingkungan pertamanya, yang senantiasa menjadi sumber petunjuk baginya. Pusat Dakwah Islam di Masyhad, yang selama tigapuluh tahun menjadi pusat kegiatan intelektual Muslim di kota itu, banyak berjasa kepadanya. Sebaliknya ia pun berperanan besar dalam kegiatan-kegiatan pusat dakwah itu dengan memberikan ceramah-ceramah, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan memimpin pertemuan-pertemuan.

Sejak dari mula, ia sangat gemar menulis dan memberi ceramah sebagai sarana pengembangan intelektual dan pendalaman iman. Apalagi ia memang memiliki kelancaran lisan dan ketajaman tulisan. Dengan bahasa-bahasa Prancis dan Arabnya, bahkan sejak sebelum ia masuk universitas, ia telah mampu menerjemahkan buku-buku dari bahasa-bahasa itu. Buku terjemahannya tentang Abu Dzarr al-Ghaffari dari bahasa Arab, dan sebuah buku tentang doa dari bahasa Prancis ― keduanya merupakan kenang-kenangan masa pra-universitasnya ― membuktikan keluasan pikiran dan ruang lingkup usahanya di masa itu. Lagi pula, kata pengantarnya yang jelas, lancar pada kedua terjemahan itu, menunjukkan arah dan kejernihan pemikiran ilmiahnya.

Dalam pandangannya, Islam bisa dianggap sebagai aliran tengah di antara berbagai aliran filsafat, sebagai jembatan antara sosialisme dan kapitalisme. Islam mencakup kebaikan dan segi-segi positif aliran-aliran pikiran lain dan sebaliknya menghindarkan segi-segi negatifnya.

Namun, ia sangat menaruh perhatian pada gerakan-gerakan ideologis dan anti imperialis yang ketika itu sedang melanda dunia Islam, dari Afrika Utara hingga Indonesia, serta mengisyaratkan aksi yang Luas menyeluruh. Terjemahannya tentang Abu Dzarr maupun tentang doa yang kecil tetapi bernas itu, keduanya merupakan hasil karya remajanya, telah menariknya kepada sumber-sumber Islam yang murni lagi suci serta merupakan tafsir sosialnya yang pertama tentang kehidupan Rasul maupun tokoh-tokoh Islam lainnya. Jelas sekali pengaruh Rasul serta tokoh-tokoh tersebut atas pribadi Syari’ati. 

Pada tahun 1956, Fakultas Sastra didirikan di Masyhad, dan Syari’ati bisa meneruskan studinya sambil bekerja sebagai guru, ia termasuk mahasiswa pertama yang terdaftar di fakultas itu. Di sini benturan-benturan pendapat dengan guru-gurunya semakin mendorongnya untuk lebih memperkembangkan jalan pikiran pilihannya sendiri. Di kelas maupun dalam kuliah yang dihadirinya ia selalu berperan aktif, tidak pernah tinggal pasif sebagaimana kebanyakan mahasiswa. Kesempatannya yang baru ini, untuk belajar, merenung, meneliti dan diskusi, ternyata telah menumbuhkan minatnya dalam sejarah agama, sejarah Islam dan filsafat sejarah. Ia mempertanyakan pelbagai hal, terutama tentang filsafat sejarah Toynbee, yang banyak ditentangnya. 

Kebebasan pikir dan keyakinannya terbukti dari tekadnya membela kebenaran dan keadilan serta perhatiannya yang khusus atas peristiwa-peristiwa keagamaan, sosial maupun politik yang menyangkut nasib rakyat. Meskipun di kala itu suasana bisu mencekam di mana-mana, namun tanpa gentar ia melibatkan diri dalam pertarungan dan pertentangan sosial, dalam perjuangan antara hak dan batal. Karena pidato-pidato, tulisan-tulisan serta kegiatan-kegiatan perlawanannya, maka pemerintah mengawasinya.

Tidak pernah ia bisa tinggal diam serta menerima keseimbangan negatif yang sudah mapan dalam masyarakat. Secara serentak ia berjuang menghadapi dua front. Ia menentang kelompok tradisionalis ekstrem yang telah membungkus diri mereka sendiri, memisahkan Islam dari masyarakat, mengucilkan diri di sudut-sudut masjid dan madrasah serta melancarkan reaksi negatif terhadap gerakan intelektual dalam masyarakat. Mereka telah menyelubungi cahaya Islam dengan tabir gelap dan berkurung diri di dalamnya. Ia pun menentang kelompok intelektual tanpa akar dan prakarsa yang berlindung di belakang skolastisisme baru. Kedua kelompok itu telah memutuskan hubungan mereka dengan masyarakat dan massa rakyat. Kepala mereka tunduk pada korupsi dan dekadensi zaman modern.


Sumber Bahasa Indonesia: Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda Muharram 1422/April 2001.

Kamis, 12 November 2015

Tragedi Ibrahim & Muhammad



“Para pembunuh Imam Husain as, demikian dinyatakan Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, itu ada tiga macam –yaitu: 

Pertama, yang membunuh jasadnya seperti pasukan Yazid dan Ibnu Ziyad. 

Kedua, yang membunuh kehormatan dan nama baiknya, yaitu kelompok yang menafikan perjuangannya dan menyebut beliau pemberontak yang memang layak dibunuh dan tidak usah diingat-ingat lagi. Juga kelompok yang meyakini beliau benar dan gugur sebagai syuhada tapi tetap membela yang membunuhnya dan menuntut ummat untuk melupakan saja peristiwa tersebut, bahkan memusuhi mereka yang mengadakan majelis-majelis duka untuk mengenang tragedi Karbala. 

Ketiga, yang membunuh semangat perjuangannya, yaitu kelompok yang mengaku mencintai Imam Husain as, mengadakan majelis duka tapi perilaku kesehariannya bertentangan dengan apa yang dibela oleh Imam Husain as di Karbala, seperti melalaikan shalat, zalim kepada orang lain, koruptif, meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar”.

Dan tulisan ini adalah sisi lain Tragedi Karbala, tragedi yang menimpa cucu Rasulullah dan keluarganya yang memilukan itu. Ketika itu, setelah Muslim bin Aqil, sang utusan Imam Husain as dibunuh dengan cara ditusuk dan disabet dengan pedang-pedang pasukan Ubaydillah Ibn Ziyad atas perintah Yazid bin Muawwiyah, dan lalu tubuhnya dilempar dari atas menara, dua anak-nya, yaitu Muhammad dan Ibrahim juga ditahan dan dibawa ke sel bawah tanah.

Diriwayatkan bahwa Muhammad waktu itu masih berumur sepuluh tahun dan Ibrahim delapan tahun.

Pada tanggal 20 Zulhijah tahun 60 Hijriah, ketika sipir penjara datang membawa makan untuk anak-anak itu, ia melihat mereka sedang salat. Sipir pun kemudian menunggu. Ketika anak-anak itu selesai salat, ia menanyakan siapa mereka sesungguhnya. Ketika sipir tahu bahwa mereka adalah anak-anak Muslim bin Aqil, ia melepaskannya. Anak-anak pun keluar dari penjara.

Di malam hari, yang pertama ada di pikiran mereka adalah menemui Imam Husain as dan mengingatkannya untuk tidak pergi ke Kufah. Tapi ke manapun mereka pergi, mereka melihat jalanan diblokade oleh pasukan Ibnu Ziyad. Tidak mungkin untuk keluar dari Kufah. Kondisi pun semakin larut. Ke mana anak-anak ini akan pergi?

Mereka sadar berada di sisi sungai Eufrat. Mereka meminum air sungai dan menaiki pohon untuk bersembunyi pada hari itu. Sampai akhirnya seorang wanita datang ke sungai untuk mencari air. Ia melihat dua anak kecil dan bertanya siapa mereka. Ibrahim menjawab, “Kami adalah dua anak yatim, maukah engkau meninggalkan kami dan jangan beri tahu kalau engkau melihat kami?” Wanita itu meminta mereka untuk ikut bersama menemui majikannya yang mungkin bisa membantu.

Majikan wanita itu adalah perempuan yang baik. Setelah berbicara kepada anak-anak itu, ia sadar siapa mereka. Ia pun memberi mereka makan dan berkata, “Kalian bisa menghabiskan waktu di sini dan saya akan coba membantu kalian. Sayangnya, suamiku Harits bekerja untuk Ibnu Ziyad. Kalian dapat beristirahat di ruang penyimpan makanan tapi jangan membuat suara karena ia akan segera pulang dan menemukan kalian.” 

Anak-anak itu kemudian berdoa dan pergi tidur.

Malam harinya Muhammad bangun dan mulai menangis. Ibrahim bertanya mengapa ia menangis, Muhammad menjawab, “Aku melihat ayah dalam mimpi. Ia memanggil kita…” Ibrahim berkata, “Saudaraku, sabarlah. Aku juga melihat ayah dalam mimpi dan memberi isyarat kepada kita.”

Kemudian mereka mulai menangis. Harits yang sudah pulang mendengar suara. Ia membuka pintu dan bertanya siapa kalian. Setelah mengetahui bahwa mereka adalah anak-anak Muslim bin Aqil, ia mengikat anak-anak itu ke tiang. Istri Harits berusaha menghentikannya tapi ia dipukul.

Harits ingin mendapatkan hadiah yang Ibnu Ziyad tawarkan kepada siapa saja yang bisa menangkap anak-anak itu. Anak-anak Muslim bin Aqil itu pun menghabiskan malam mereka dalam ikatan.

Pagi harinya, Harits menyeret mereka ke tepi sungai. Ia mengambil pedangnya. Ibrahim bertanya, “Harits, apakah engkau akan membunuh kami?” Harits menjawab, “Ya!” Ibrahim bertanya, “Kalau begitu, izinkan kami untuk menyelesaikan salat subuh kami.” 

Mereka berdua pun melakukan shalat dan mengangkat tangan ke atas dan menangis, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un! Ya Allah, kami datang kepadamu. Berikan kepada ibu kami kekuatan ketika ia mendengar kematian kami dan adililah antara kami dan pembunuh kami!”Pedang itu pun melayang. Mereka dilemparkan ke sungai. Dua tubuh anak-anak Muslim bin Aqil itu pun hanyut di sungai Furat (Eufrat). 


Selasa, 03 November 2015

Einstein & Eddington VS Hukum Newton



Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2015)

Tulisan singkat ini merupakan riwayat dan ilustrasi korespondensi saintifik antara Sir Arthur Eddington, yang adalah ilmuwan dari Cambridge, dengan Albert Einstein, yang kelak masyhur karena Teori Relativitas-nya. Ilustrasi ini, salah-satunya, hendak menyiratkan bahwa kerja saintifik, sesungguhnya, tidak murni kerja individual, akan tetapi “dimungkinkan” oleh tradisi dan kontribusi orang lain juga, yang lazim dikenal sebagai “komunitas ilmuwan”.

Korespondensi dan hubungan Sir Arthur Eddington dan Albert Einstein tersebut kebetulan juga telah di-film-kan, dengan judul Einstein and Eddington, di mana dalam film tersebut “kebenaran” Teori Relativitas Einstein dibuktikan secara observatoris alias secara empiris oleh Eddington. Pertanyaannya adalah: “Lalu apa hubungannya dengan Hukum Newton?”. Dan memang inilah yang hendak di-ilustrasikan tulisan singkat ini, dan marilah kita mulai saja.

Di kalangan ilmuwan (khususnya) di kalangan para fisikawan, telah jamak diketahui bahwa salah satu permasalahan klasik dari Hukum Gravitasi Newton adalah ketidaksesuaian prediksinya terhadap presisi Orbit Merkurius. Dan hal ini bermula ketika seorang astronom Prancis, Le Verriere, di tahun 1846 mencoba melakukan kalkulasi dan observasi mengenai presisi orbit planet berdasarkan hukum Newton.

Singkat cerita, sang astronom Prancis tersebut mendapati bahwa orbit dari sebuah planet yang mengelilingi Matahari memang tunduk pada Hukum Gravitasi Newton, hanya saja (dan inilah inti soalnya), saat ia melakukan pengamatan pada Planet Merkurius, ada sesuatu hal yang berbeda dan janggal alias tidak sesuai dengan Hukum Newton, di mana berdasarkan pengamatan yang didasarkan kalkulasi dari Teori Newton, ia menemukan fakta janggal, yaitu sisa 38 detik busur yang tak dapat ia jelaskan dengan dasar Teori atau Hukum Newton. 

Dan kemudian, di tahun 1890, yang berarti cukup lama juga sejak observasi yang dilakukan Le Verriere, seorang obseravtor lain, yaitu Newcomb, melakukan pengamatan secara seksama terhadap apa yang dilakukan oleh Le Verriere bertahun-tahun sebelumnya itu. Dan ia mendapati bahwa presisi tersebut harusnya 43 derajat detik busur. Nah, berdasarkan temuan ini, timbullah pertanyaan saintifik yang cukup mengusik “benak seorang ilmuwan yang tengah melakukan observasi”: “Efek apakah yang menyebabkan munculnya angka ini? Padahal efek gangguan gravitasi yang dihitung oleh teori gangguan Newtonian dari gerakan planet lain, seperti Venus,  Bumi dan Jupiter telah diperhitungkan? 

Dan memang tidak banyak orang yang memperhatikan keganjilan saintifik yang mengusik ini, hingga lebih dianggap sebagai “kebenaran” dengan adanya prinsip aproksimasi dan kompleksitas. Tapi justru fakta saintifik-observatoris inilah yang disadari oleh Eddington dan mengusik benaknya sebagai seorang ilmuwan dan pakar. Begitulah Sir Arthur Eddington pun menulis sepucuk surat kepada Albert Einstein demi meminta penjelasan terkait prediksi Teori Relativitasnya bagi Orbit Merkurius.

Pertanyaannya adalah kenapa harus menulis surat kepada Einstein? Jawabnya tak lain karena kalangan ilmuwan dan fisikawan tahu bahwa Einstein pernah menulis sebuah makalah yang membahas mengenai “Orbital Merkurius” yang cenderung berbeda dengan planet-planet lainnya di tata-surya.

Dan hasilnya cukup mengejutkan, di mana Teori Relativitas Eintein berhasil memberikan prediksi yang sempurna bagi presisi Orbit Merkurius, hingga memberikan “rasa lega” bagi Sir Arthur Eddington, yang mana presisi sebesar 43 detik busur per abad yang tak terpecahkan itu ternyata murni berasal dari akibat digunakannya Relativitas Umum. Sir Arthur Eddington segera menyadari bahwa Albert Einstein yang telah ia kirimi surat dan diajak berkorespondensi itu telah mendekatkan teorinya pada masalah gravitasi.

Kita pun tak boleh mengabaikan atau melewatkan "The Collected Papers of Albert Einstein", di mana dalam paper itu hasil perhitungan yang ia berikan kepada Sir Arthur Eddington, ia sampaikan juga dalam kuliahnya di Prussian Academy of Sciences (di mana Max Planck bekerja), Berlin pada 18 Nopember 1918.

Kuliah yang ia presentasikan itu berjudul: "Erkl¨arung der Perihelbewegung des Merkur aus der allgemeinen Realtivit¨atstheorie" [yang dalam bahasa Ingrisnya: Explanation of the Perihelion Motion of Mercury from General Relativity Theory]. Dalam penjelasan yang ia sampaikan dalam kuliah tersebut, ia mengawalinya dari medan gravitasi dan dengan sejumlah aproksimasi, yang, sungguh sebuah perumusan yang amat kompleks, terutama bagi kita sebagai bukan ilmuwan.

Demikianlah nilai penting “komunitas” dan “tradisi” dalam ranah sains dan intelektual, di mana kerja-kerja saintifik dan “individual” sesungguhnya tidak pernah murni individual. Sebab kerja saintifik dan intelektual mengandaikan adanya dan hadirnya interaksi dan “intersubjektivitas” antara satu ilmuwan (intelektual) dengan intelektual lainnya, meski “autentisitas” memang tergantung pada kegigihan dan “kecerdasan” individual, yang dalam kasus ini contohnya, adalah “kecerdasan” Einstein. 


Teringat Sonia Marmeladov



Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2002)

Rumah mungil beratap seng itu terasa gerah sekali ketika kami akhirnya berbincang, meski saat itu hujan baru saja reda. Bahkan, di hari ketika aku mendatangi lingkungan kumuh itu, gelap langit mendung masih terus meneteskan butiran-butiran air, dan angin dari sudut-sudut gang becek sesekali mengirimkan bau tak sedap.

Di hari itu, meski jam di tanganku menunjukkan pukul lima kurang beberapa menit, cuaca bulan Desember telah merubah senja menjadi malam yang datang lebih awal. Orang-orang pun menyalakan bohlam-bohlam dan neon-neon lampu listrik mereka.

Kedatanganku ke lingkungan yang telah akrab dengan aroma anyir dan asam itu karena memang ditugaskan oleh sebuah lembaga survey di Jakarta untuk melakukan wawancara lapangan. Di senja yang terus menitik dan menjelma malam lebih awal itu, aku melakukan wawancara dengan seorang bapak, yang menurut pengakuannya sendiri, telah berusia empat puluh tahun lebih, dan bekerja sebagai kuli bangunan. Ketika wawancara dimulai, aku bersandar pada pintu agar dapat merasakan hembusan angin dari luar dan tak terlalu merasa gerah, meski harus menghirup aroma-aroma tak sedap yang dikirim angin yang melintas.

Di sebuah sudut tikungan yang tak terlalu jauh dari tempat kami berbincang, beberapa orang tampak asik bergoyang dangdut di depan sebuah warung kopi. “Mereka adalah orang-orang kampung sini, teman-teman saya juga sesama kuli bangunan dan para pekerja dadakan,” kata si bapak yang kuwawancara sambil sedikit tertawa tanda keramahan ketika aku menengok ke arah orang-orang yang tengah asik berjoget dangdut yang suaranya sampai juga ke tempat kami.

Itulah kali pertama aku benar-benar merasa kagum, akrab, juga heran dengan orang-orang yang hidup di sebuah tempat yang terbiasa dengan bau anyir dan aroma-aroma tak sedap seusai hujan. Si bapak yang kuwawancarai itu memiliki seorang anak gadis belia berusia belasan tahun, yang kebetulan duduk di samping bapaknya ketika kami berbincang seputar kehidupan sehari-hari mereka. Sebutlah gadis belia itu bernama Santi, seorang gadis belia yang masih bersekolah di sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari lingkungan kumuh itu, yang seperti dikatakan bapaknya, kadang-kadang membantu ibunya yang bekerja sebagai tukang cuci.

Saat mendengar si bapak tentang anak gadis satu-satunya itu, aku jadi teringat tokoh Sonia Marmeladov dalam novel Crime and Punishment-nya Fyodor Dostoyevksy itu. Meski tentu saja perihal keseharian Santi dan Sonia tidak sama. Namun, setidak-tidaknya, dunia Santi dan Sonia-nya Dostoyevsky itu menggambarkan situasi yang sama.

Meski pekerjaan mewawancara orang-orang di sejumlah tempat telah beberapa kali kulakukan sebelum-sebelumnya, rasa-rasanya di tempat itulah aku merasa yang paling cukup melelahkan. Mungkin karena harus berjuang dengan cuaca yang telah bercampur dengan bangkai-bangkai sampah dan gang-gang becek yang bila tak kutahan-tahan, niscaya aku telah beberapa kali muntah. Rasa pening pun menyerang kepalaku saat aku berjalan menyusuri gang-gang yang dirundung gerimis itu. Rasa jenuh dan lelah itu pun harus ditambah dengan lalulintas Koja yang padat, sementara kali-nya yang berwarna hitam itu tak kalah asamnya menyebarkan bau tak sedap seperti lingkungan kumuh di mana aku melakukan wawancara itu.

Kutinggalkan rumah sederhana beratap seng yang hanya memiliki tiga ruangan itu meski langit masih saja meneteskan butiran-butiran air yang membuat kepalaku merasa berat, juga dingin angin yang membuat tubuhku terus menggigil di saat aku terus melangkah dengan sepasang sepatu yang terasa lembab dan basah.