Senin, 28 September 2015

Tiga Syubhat Kaum Khawarij



(Sumber: Delusions of the Devil by Abu’l Faraj Ibn Jauzi, transl. D.S. Margoliouth, Ed. N.K. Singh, Kitab Bhavan, India).

Ibnu Abbas berkata: “Orang-orang Khawarij memisahkan diri dari Ali, berkumpul di satu daerah untuk keluar dari ketaatan (memberontak). Mereka ketika itu berjumlah enam ribu orang. Semenjak Khawarij berkumpul, tidaklah ada seorang yang mengunjungi Ali melainkan dia berkata –mengingatkan beliau–: “Wahai Amirul Mukminin, mereka kaum Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.” Beliau menjawab: “Biarkan mereka, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan sungguh mereka akan melakukannya.”

Hingga di suatu hari yang terik, saat masuk waktu dhuhur aku menjumpai Ali. Aku berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat dhuhur, sepertinya aku akan mendatangi mereka (Khawarij) berdialog.” Ali bin Abi Thalib berkata: “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!” “Wahai Amirul Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali pun mengizinkanku.

“Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka, di tengah siang. Sungguh aku dapati diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pucat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah. Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku: “Marhaban, wahai Ibnu ‘Abbas. Apa gerangan yang membawamu kemari?”

Aku berkata: “Sungguh aku datang pada kalian dari sisi sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, juga dari sisi menantu Rasulullah (maksudnya Imam Ali) yang kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Al-Qur’an daripada kalian.”

Begitu mendengar ucapan Ibnu Abbas yang penuh makna dan merupakan prinsip hidup –yang tentunya tidak mereka sukai karena menyelisihi prinsip sesat mereka–, berkatalah sebagian Khawarij memberi peringatan: “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang Quraisy (yakni Ibnu ‘Abbas). Sesungguhnya Allah berfirman, “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar” (QS. Az-Zukhruf: 58).

Betapa bodohnya mereka gunakan ayat ini untuk mencela Ibnu Abbas, padahal beliau lebih mengerti Al-Qur’an, sebagaimana Rasulullah berdoa untuknya: “Ya Allah, faqihkan ia dalam agama dan ajarkanlah ia tafsir.”

Ibnul Jauzi kembali melanjutkan riwayat kisah ini, Berkata dua atau tiga orang dari mereka: “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”.

Aku (Ibn Abbas) berkata: “Wahai kaum, datangkan untukku alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah beserta sahabat Muhajirin dan Anshar, padahal kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan. Tidak ada pula seorang pun dari sahabat yang bersama kalian, dan ia (Ali adalah orang) yang paling mengerti dengan tafsir Al-Qur’an!” Mereka berkata: “Kami punya tiga alasan.” Aku (Ibn Abbas) berkata: “Sebutkan (tiga alasan kalian).”

Mereka berkata, “Pertama: Sungguh dia telah jadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman: “…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah…” (QS. Yusuf: 40). Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah. Aku (Ibn Abbas) berkata: “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?” Mereka berkata: “Adapun yang kedua, sesungguhnya dia telah berperang tapi kenapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (Aisyah dan barisannya) itu mukmin tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh mereka. Tidak halal pula tawanan-tawanannya.”

Ibnu Abbas berkata: “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?” Mereka berkata, “Ketiga: Dia telah hapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya (dalam perjanjian). Kalau dia bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).” Ibnu ‘Abbas berkata: “Adakah pada kalian alasan selain ini?” Mereka berkata: “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”

Selanjutnya, mari kita simak bagaimana Ibnu Abbas mendudukkan syubhat-syubhat tersebut.

Ibnu ‘Abbas berkata: “Ucapan kalian bahwa Ali telah menggunakan manusia dalam memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan syubhat kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?” Mereka berkata: “Ya, tentu kami akan kembali.”

Ibnu ‘Abbas berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah menyerahkan di antara hukum-Nya kepada hukum (keputusan) manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram). Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa” (QS. Al-Maidah: 95).

Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah berfirman:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal” (QS. An-Nisa: 35).

Maka demi Allah, jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?” Mereka katakan: “Bahkan inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”

Ibnu ‘Abbas berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah pertama?” Mereka berkata: “Ya.” Ibnu Abbas melanjutkan: “Adapun ucapan kalian bahwa Ali telah berperang tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah). Demi Allah! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita (yakni kafir), kalian sungguh telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalianpun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah berfirman: “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka” (Al-Ahzab: 6).

Ibnu Abbas berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?” Mereka menjawab: “Ya.” Ibnu Abbas berkata lagi: “Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya (pada saat perjanjian perdamaian), maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (6 H) melakukan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi? Ketika itu Rasulullah bersabda kepada Ali: “Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.” Ali menulis: “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…” Segera orang-orang musyrik berkata: “Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau Rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau sebagai rasul Allah tentu kami tidak akan memerangimu.”

Rasulullah bersabda: “Ya Allah, sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali tulislah: Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah…’.” (Rasulullah memerintahkan Ali untuk menghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian). Ibnu Abbas berkata: “Demi Allah, sungguh Rasulullah lebih mulia dari Ali. Meskipun demikian, beliau menghapuskan sebutan Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah…” (Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata Rasulullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau? Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul Mukminin?)

Ibnu Abbas berkata: “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan).”


Demikian tiga syubhat Khawarij yang mereka jadikan sebagai alasan memberontak dan memerangi Ali. Semua syubhat tersebut terbantah dalam dialog mereka dengan Ibnu Abbas. Maka selamatlah mereka yang mau mendengar sahabat dan menjadikan mereka sebagai rujukan dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah. Sedangkan mereka yang tidak mau kembali pada sahabat Rasulullah tetap dalam kebinasaan. Hingga terjadilah pertempuran Nahrawan. Fitnah pun berlanjut dan terjadilah pembunuhan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah di Mesjid Kufah ketika ia tengah sujud di mihrab sholatnya di malam Lailatul Qadr. 


Jumat, 25 September 2015

Vladimir Putin dalam Percaturan Politik Global



Vladimir Putin mulai bertugas sebagai pejabat presiden sementara pada tanggal 1 Januari 2000. Kemudian pada tanggal 26 Maret 2000 diadakan pemilihan presiden. Pada pemilihan presiden tersebut, Vladimir Putin mendapatkan 52,94 persen suara.

Ia kemudian dinobatkan sebagai Presiden Rusia secara resmi pada tanggal 7 Mei 2000. Presiden Rusia yang kedua ini memiliki keinginan untuk mengembalikan kejayaan Rusia seperti pada zaman Uni Soviet.

Ia mengganti lagu kebangsaan Rusia yang berjudul "Patriotiskaya Pesn" dengan lagu kebangsaan Uni Soviet "Gimn Sovetskogo Soyuza" yang diganti liriknya menjadi "Gimn Rossiyskaya Federatsiya".

Putin juga menahan pengusaha minyak Yukos Mikahil Khodorovsky dan menjual sahamnya, serta menasionalisasikan beberapa perusahaan asing.

Pada tahun 2004, ia terpilih kembali untuk masa jabatan yang kedua kali. Selain sibuk berbenah di dalam negeri, Rusia pun mulai memperhatikan masalah-masalah luar negeri. Seperti di Palestina, saat wilayah itu diisolasi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya akibat kemenangan Hamas, Rusia justru mendekati dan merangkul Hamas.

Rusia juga menjalin hubungan erat dengan Iran yang merupakan rival Amerika sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang digerakkan Muslim Syi’ah sukses dengan gemilang.

Di negara (Iran) tersebut, Rusia membangun pusat tenaga nuklir pertama di Bushehr. Selain itu, pemerintah Rusia juga mulai mendekati negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam untuk bekerja sama di berbagai bidang.

Walaupun Uni Soviet sudah runtuh, Rusia di bawah pimpinan Putin (yang merupakan negara pecahan terbesar Uni Soviet) memang tidak bisa dianggap remeh oleh Blok Barat (yang terdiri dari Israel, Amerika, Uni Eropa, dan NATO).


Singkatnya, Putin adalah kebalikan 180 derajat dari Gorbachev yang mesra dengan Barat, dan karena itulah, Vladimir Putin kurang disukai Barat, terutama sekali saat ini, peran Rusia di Timur Tengah yang pro Negara-negara Muslim (Syi’ah) yang tidak mau tunduk dengan Barat (Amerika). 


Minggu, 20 September 2015

Abul Fadhl Abbas di Sungai Eufrat


Di sebuah tenda seorang memuji dan menyeru Tuhannya, seorang anak kecil dengan bibir kehausan menyeru Tuhannya. Oh tangan! Mengapa? Mengapa engkau jatuh dari tuanmu, serombongan kafilah kehausan hanya menginginkanmu.

Ia yang kehilangan tangannya (karena tebasan pedang musuh) yang diseru dalam sajak itu adalah Abul Fadhl Abbas (as). Dalam ragam riwayat disebutkan bahwa Abul Fadhl Abbas as[1] adalah pria yang berperawakan tinggi, tegap, dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya fisik Abul Fadhl Abbas, hingga adik Imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan ‘Purnama Bani Hasyim’ (Qamar Bani Hasyim).

Dalam sejarah dan ragam nukilan riwayat, Abul Fadhl Abbas juga dikenal sebagai pemegang panji Karbala. Keberanian, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. Sebagai manusia yang tumbuh besar di tengah binaan keluarga suci dan mulia, dia memiliki keteguhan dan kesetiaan yang luar biasa kepada kepemimpinan dalam untaian figur-figur utama Ahlul Bait as.

Perjuangan di Karbala telah menyematkan namanya dalam sejarah keislaman dan Ahlul Bait Rasul sebagai salah satu pahlawan yang sangat legendaris. Tentang ini Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as berkata: “Sesungguhnya di sisi Allah Abbas memiliki kedudukan (sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada cemburu menyaksikannya pada hari kiamat.”[2]

Imam Assajad as dalam doanya untuk Abbas as juga berucap: “Ya Allah, rahmatilah pamanku, Abbas. Sesungguhnya dia telah mengorbankan jiwanya untuk saudaranya.”

Dalam peperangan dan perjuangan yang menyakitkan di Karbala itu, kedua tangannya telah dipotong oleh musuh sehingga Allah menggantinya dengan sepasang sayap untuk terbang dengan para malaikat di alam surga. Di sisi Allah dia memiliki kedudukan yang sangat agung sehingga membuat para sahabat cemburu melihatnya.[3]

Sang Purnama Bani Hasyim adalah pria dewasa yang perasaannya dikenal sangat peka. Perasaannya sangat tersayat menakala dia mendengar ratapan kehausan dan tumpahnya darah para pahlawan Karbala. Saat itulah dia semakin merasakan tidak ada gunanya hidup bila tidak dia gunakan untuk berjihad membela junjungan dan pemimpinnya, Imam Husain as.

Namun, selama terjadi peperangan yang menggugurkan satu persatu dari sahabat dan kerabatnya, yang bisa dia nantikan hanyalah menanti instruksi Sang Imam. Dan saat dia mendapat instruksi itu, banyak diantara pasukan musuh yang harus bergelimpangan di tangannya.

Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada beliau adalah: “Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan aku?” Pernyataan Sang Purnama ini membuat hati Imam Husain as luluh sehingga menangis tersedu dan berkata: “Adikku, engkau adalah pengibar panjiku dan lambang pasukanku.”[4]

Beliau juga mengatakan: “Engkaulah pemegang panjiku, namun cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak itu.”[5]

Abul Fadhl Abbas as lantas mendatangi kelompok Bani Umayyah dan mencoba menasihati mereka kendati Abul Fadhl Abbas tahu bahwa itu tidak akan mereka dengar. Setelah terbukti nasihat itu sia-sia, dia kembali menghadap Imam Husain as dan mendengar jerit tangis anak-anak kecil yang kehausan meminta dibawakan air. Hati Abbas merintih. Sambil menatap langit, bibirnya berucap: “Tuhanku, Junjunganku, aku berharap dapat memenuhi janjiku, aku akan membawakan satu qirbah (wadah) air untuk anak-anak itu.”[6]

Abul Fadhl Abbas kemudian meraih tombak dan memacu kudanya sambil membawa qirbah (kantung air dari kulit) menuju sungai Eufrat yang seluruh tepinya dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu Abbas tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh itu segera mengepungnya sambil memasang anak panah ke busurnya ke arah adik Imam Husain as tersebut.

Pemandangan seperti itu tak membuatnya gentar. Begitu beberapa anak panah melesat, Abul Fadhl Abbas segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh. Sekali terjang, pedang Abul Fadhl Abbas berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemana pun kuda Abul Fadhl Abbas bergerak, gerombolan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya, penjagaan sungai Eufrat yang berlapis-lapis pun jebol diterjang sang pendekar yang teguh itu.

Sambil menahan letih dan rasa haus yang mencekiknya, Abul Fadhl Abbas turun ke sungai dengan kudanya. Mula-mula ia berusaha cepat-cepat mengisi qirbahnya dengan air. Setelah itu ia meraih air dengan telapak tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air itu menyentuh bibirnya, Abbas teringat kepada Imam Husain as dan kerabatnya yang sedang kehausan menantikan kedatangannya.

Air di telapak tangannya langsung dia tumpahkan lagi sambil berucap: “Demi Allah aku tidak akan meneguk air sementara junjunganku Husain sedang kehausan.”[7]

Abul Fadhl Abbas as kemudian berusaha kembali dengan menempuh jalur lain melalui tanah yang ditumbuhi pohon-pohon kurma agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam Husain as. Namun, perjalanan Abul Fadhl Abbas tetap dihadang musuh. Ia tidak diperkenankan membawa air itu kepada Ahlul Bait Nabi tersebut.

Kali ini pasukan Umar bin Sa’ad semakin garang. Abul Fadhl Abbas dikepung lagi. Pasukan yang menghadang di depannya adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan sekian banyak anak panah untuk mencabik-cabik tubuhnya. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam beracun itu, dengan tangkasnya pedang Abul Fadhl Abbas menyambar musuh yang ada di depannya. Sejurus kemudian kepungan musuh kembali porak-poranda diobrak-abrik sang pendekar yang perkasa itu.

Menyaksikan kehebatan dan ketangguhan Abul Fadhl Abbas yang tidak bisa dipatahkan dengan berhadapan langsung itu, beberapa pasukan penunggang kuda ahli diperintahkan untuk bekerjasama menghabisinya dengan cara menyelinap dan bersembunyi di balik pepohonan kurma.

Saat Abul Fadhl Abbas lewat, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon segera muncul sambil menghantamkan pedangnya ke tangannya. Tanpa ampun lagi, tangan kanan Abul Fadhl Abbas pun putus dan terpisah dari tubuhnya. Tangan kirinya segera menyambar qirbah air dan pedangnya.

Dengan satu tangan dan sisa-sisa tenaga itu, ia masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga tewas. Saat itu ia sempat berucap: “Demi Allah, walaupun tangan kananku telah kalian potong aku tetap akan membela agamaku, membela Imam yang jujur, penuh keyakinan, dan cucu Nabi yang suci dan terpercaya.”[8]

Abul Fadhl Abbas as tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya sudah lemah akibat pendarahan. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul bak siluman dari balik pohon sambil mengayunkan pedangnya ke arah bahunya. Abul Fadhl Abbas pun tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anak keturunan Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus.

Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain ini mencoba meraih kantung (qirbah) air-nya dengan menggigitnya. Tapi kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapan Abul Fadhl Abbas.

Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satu lagi anak panah ke dadanya. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan batangan besi ke ubun-ubunnya. Abul Fadhl Abbas pun terjungkal dari atas kuda sambil mengerang kesakitan dan berteriak : “Hai kakakku, temuilah aku!” Dengan sengalan nafas yang masih tersisa, Abul Fadhl Abbas as berucap lagi untuk Imam Husain as: “Salam atasmu dariku, wahai Abu Abdillah.”[9]

Suara dan ratapan Abul Fadhl Abbas ini secara ajaib terdengar oleh Imam Husain as sehingga beliau pun beranjak ke arahnya sambil berteriak-teriak: “Di manakah kamu?” Imam Husain as tiba-tiba dikejutkan oleh kuda Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. Secara ajaib kuda itu dapat berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?”[10]

Imam Husain as lantas melihat ke tanah dan tampaklah di depan mata beliau dua pasang tangan tergeletak di atas tanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ pula, Imam Husain as melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam Husain pun tak kuasa menahan duka. Beliau menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hamba sejati Allah di langit dan bumi. “Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.” Demikian ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abul Fadhl Abbas, adiknya dari lain ibu. 

Di tengah isak tangisnya, Imam Husain juga berucap kepada Abul Fadhl Abbas: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”[11]

Jasad Abul Fadhl Abbas yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar dan kemudian bersuara lirih: “Kakakku, tolong jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi janjiku untuk membawakan air kepada anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”

Imam Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersimbah darah itu. Air mata Abul Fadhl Abbas yang mengalir beliau usap. “Mengapa engkau menangis?” Tanya Imam. “Wahai kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan menangis saat aku melihatmu mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak akan ada seorang pun yang akan meraih dan mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akan membersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu.” 

Kata-kata Abul Fadhl Abbas itu semakin meluluhkan hati Imam Husain as sehingga beliau semakin terbawa derai isak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari yang membakar. Dengan hati yang pilu Sang Imam mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggung pasukannya yang sudah tak berdaya itu lalu beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat.

Abul Fadhl Abbas pun gugur tergeletak bermandi darah, debu, dan air mata di bawah guyuran cahaya panas mentari sahara. Begitu tiba di tenda tempat beliau tinggal, Imam yang masih tak kuasa membendung derai air mata duka segera disambut dengan pertanyaan dari puterinya, Sukainah. “Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku? Bukankah dia telah berjanji kepadaku untuk membawakan air, dan bukankah dia tidak mungkin ingkar janji?”

Pertanyaan Sukainah nampak sulit untuk dijawab ayahnya. Hanya isak tangis yang segera menjawabnya, sebelum kemudian beliau berkata dengan suara meratap pilu: “Puteriku, sesungguhnya paman sudah terbunuh, tetapi ketahuilah bahwa arwahnya sudah bersemayam di dalam surga.”[12]

Berita pilu ini tak urung segera disusul dengan gemuruh tangis dan ratapan pedih Sukainah, Zainab Al-Kubra, dan wanita-wanita lain di sekitarnya. “Oh Abbas!” “Oh, saudaraku!” “Habislah sudah sang penolong!” “Betapa pedihnya nanti bencana sesudah kepergianmu!”[13] Sang Imam sendiri tetap tak kuasa menahan duka lara kepergian Abbas yang telah menjadi perisai tangguh kelompoknya. “Oh Abbas, oh adikku, oh buah hatiku, kini kami benar-benar telah kehilangan dirimu. Patah sudah tulang punggungku. Lemah sudah strategiku. Punah sudah harapanku.”[14]

Di sebuah tenda seorang memuji dan menyeru Tuhannya, seorang anak kecil dengan bibir kehausan menyeru Tuhannya. Oh tangan! Mengapa? Mengapa engkau jatuh dari tuanmu, serombongan kafilah kehausan hanya menginginkanmu.

CATATAN:
[1] Ayah Abu Fadhl Abbas adalah Ali bin Abi Thalib as. Ibunya adalah Fatimah Al-Kilabi, wanita yang lebih dikenal dengan sebutan Ummul Banin. Isterinya adalah Lababah binti Ubaidillah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Lababah mempunyai empat orang putera bernama Ubaidillah, Fadhl, Hasan, dan Qasim, serta seorang puteri. Abu Fadhl Abbas gugur di Karbala saat masih berusia 34 tahun. (Sardar Karbala hal.341).
[2] Sardar Karbala hal.240
[3] Muntaha Al-Amaal hal.279
[4] Anwar Assyahadah hal.76
[5] Sardar Karbala hal.287
[6] Anwar Assyahadah hal.78
[7] Bihar Al-Anwar juz 45 hal.41
[8] Ramz Al-Mushibah hal.307
[9] Nadhm Azzahra hal.120
[10] Anwar Assyahadah hal.99
[11] Nasikh Attawarikh juz 2 hal.346
[12] Sugand Nameh Ali Muhammad hal.310
[13] Kibrit Al-Ahmar hal.162
[14] Muhayyij Al-Ahzan, Muthabiq Al-Waqayi’ wa Al-hawadits juz 3 hal.19 




Minggu, 06 September 2015

Albert Einstein, Syi’ah, dan Misteri Jagat Raya (Bag. 2)




Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2014-2015)

Dalam sejarah Islam, Islam Syi’ah maju pesat dan pernah mengukir kegemilangan peradaban dan sains karena doktrinnya relevan dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan. Dalam hal ini, sains, kekuasaan dan moralitas dalam ajaran Syi’ah merupakan satu kesatuan. Dalam sejarah peradaban Islam, banyak ilmuwan, astronom, fisikawan, ahli kedokteran, ternyata penganut Syi’ah Islam, semisal al Biruni, Ibnu Sina, dan lain sebagainya. Bahkan, filsafat Islam berkembang dan bertahan berkat muslim Syi’ah. Sementara itu, di abad modern kita ini, Einstein dalam makalah terakhirnya bertajuk Die Erklärung (Deklarasi) yang ditulis pada tahun 1954 di Amerika Serikat dalam bahasa Jerman menelaah teori relativitas lewat ayat-ayat Alquran dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib (as) dalam kitab Nahjul Balaghah. Ia mengatakan, hadis-hadis dalam Nahjul Balaghah tersebut memiliki muatan yang tidak ada di mazhab Islam yang lain. Hanya mazhab Syi’ah yang memiliki hadis dari para Imam mereka yang memuat teori kompleks seperti Relativitas. Belakangan memang dikabarkan bahwa Albert Einstein adalah seorang penganut Islam Syi’ah. Sejumlah pihak pun mengutip sebuah surat rahasia Albert Einstein, ilmuan Jerman penemu teori relativitas itu, yang menunjukkan bahwa dirinya adalah penganut mazhab Islam tersebut.

Dalam reportase tersebut dinyatakan bahwa Einstein pada tahun 1954 dalam suratnya kepada Ayatullah Al-Uzma Sayid Hossein Boroujerdi, marji besar Syi’ah kala itu, menyatakan, “Setelah 40 kali menjalin kontak surat-menyurat dengan Anda (Ayatullah Boroujerdi), kini saya menerima agama Islam dan mazhab Syiah 12 Imam”. Einstein dalam suratnya itu menjelaskan bahwa Islam lebih utama ketimbang seluruh agama-agama lain dan menyebutnya sebagai agama yang paling sempurna dan rasional. Ditegaskannya, “Jika seluruh dunia berusaha membuat saya kecewa terhadap keyakinan suci ini, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walau hanya dengan membersitkan setitik keraguan kepada saya”.

Salah satu hadis yang menjadi sandaran Albert Einstein itu adalah hadis yang diriwayatkan oleh Allamah Majlisi tentang mikraj jasmani Rasulullah saw. Disebutkan, “Ketika terangkat dari tanah, pakaian atau kaki Nabi menyentuh sebuah bejana berisi air yang menyebabkan air tumpah. Setelah Nabi kembali dari mikraj jasmani, setelah melalui berbagai zaman, beliau melihat air masih dalam keadaan tumpah di atas tanah.” Einstein melihat hadis ini sebagai khazanah keilmuan yang mahal harganya, karena menjelaskan kemampuan keilmuan para Imam Syi’ah dalam relativitas waktu. Menurut Einstein, formula matematika kebangkitan jasmani berbanding terbalik dengan formula terkenal “relativitas materi dan energi”: E = M.C² >> M = E : C² yang artinya, sekalipun badan kita berubah menjadi energi, ia dapat kembali berujud semula, hidup kembali.

Dalam suratnya kepada Ayatullah al Uzhma Boroujerdi, sebagai penghormatan ia selalu menggunakan kata panggilan “Boroujerdi Senior”, dan untuk menggembirakan ruh Prof. Hesabi (fisikawan dan murid satu-satunya Einstein asal Iran), ia menggunakan kata “Hesabi yang mulia”. Naskah asli risalah ini masih tersimpan dalam safety box rahasia London (di bagian tempat penyimpanan Professor Ibrahim Mahdavi), dengan alasan keamanan. Risalah ini dibeli oleh Professor Ibrahim Mahdavi (tinggal di London) dengan bantuan salah satu anggota perusahaan pembuat mobil Benz seharga 3 juta dolar dari seorang penjual barang antik Yahudi. Tulisan tangan Einstein di semua halaman buku kecil itu telah dicek lewat komputer dan dibuktikan oleh para pakar manuskrip.

Sebagaimana kita tahu bersama, dunia sains modern di awal abad ke-20 M pernah dibuat takjub oleh penemuan seorang ilmuwan Jerman bernama Albert Einstein. Fisikawan ini pada 1905 memublikasikan teori relativitas khusus (special relativity theory). Satu dasawarsa kemudian, Einstein yang didaulat majalah Time sebagai tokoh abad XX itu mencetuskan teori relativitas umum (general relativity theory). Teori relativitas itu dirumuskannya sebagai E=MC2. Rumus teori relativitas yang begitu populer menyatakan bahwa kecepatan cahaya adalah konstan. Selain itu, teori relativitas khusus yang dilontarkan Einstein berkaitan dengan materi dan cahaya yang bergerak dengan kecepatan sangat tinggi.

Sedangkan, teori relativitas umum menyatakan, setiap benda bermassa menyebabkan ruang-waktu di sekitarnya melengkung (efek geodetic wrap). Melalui kedua teori relativitas itu, Einstein menjelaskan bahwa gelombang elektromagnetis tidak sesuai dengan teori gerakan Newton. Gelombang elektromagnetis dibuktikan bergerak pada kecepatan yang konstan, tanpa dipengaruhi gerakan sang pengamat. Singkatnya, inti pemikiran kedua teori tersebut menyatakan, dua pengamat yang bergerak relatif akan mendapatkan waktu dan interval ruang yang berbeda untuk kejadian yang sama. Meski begitu, isi hukum fisika akan terlihat sama oleh keduanya. Dengan ditemukannya teori relativitas, manusia bisa menjelaskan sifat-sifat materi dan struktur alam semesta.

“Pertama kali saya mendapatkan ide untuk membangun teori relativitas, yaitu sekitar tahun 1905. Saya tidak dapat mengatakan secara eksak dari mana ide semacam ini muncul. Namun, saya yakin, ide ini berasal dari masalah optik pada benda-benda yang bergerak,” ungkap Einstein saat menyampaikan kuliah umum di depan mahasiswa Kyoto Imperial University pada 4 Desember 1922. Pertanyaannya adalah: Benarkah Einstein pencetus teori relativitas pertama? Di Barat sendiri, ada yang meragukan teori relativitas itu pertama kali ditemukan Einstein. Sebab, ada yang berpendapat bahwa teori relativitas pertama kali diungkapkan oleh Galileo Galilei dalam karyanya bertajuk Dialogue Concerning the World’s Two Chief Systems pada 1632.

Dalam hal ini perlu diketahui bahwa Teori relativitas merupakan revolusi dari ilmu matematika dan fisika. Sejatinya, 1.100 tahun sebelum Einstein mencetuskan teori relativitas, ilmuwan Muslim di abad ke-9 M telah meletakkan dasar-dasar teori relativitas, yaitu saintis dan filosof legendaris bernama Al Kindi yang mencetuskan teori itu. Dan tentu saja, tak mengejutkan jika ilmuwan besar sekaliber Al Kindi telah mencetuskan teori itu pada abad ke-9 M. Apalagi, ilmuwan kelahiran Kufah tahun 801 M itu pasti sangat menguasai kitab suci Al Quran. Sebab, tak diragukan lagi bahwa ayat-ayat Al Quran mengandung pengetahuan yang absolut dan selalu menjadi kunci tabir misteri yang meliputi alam semesta raya ini.

Ayat-ayat Al Quran yang begitu menakjubkan inilah yang mendorong para saintis Muslim di era keemasan mampu meletakkan dasar-dasar sains modern. Sayangnya, karya-karya serta pemikiran para saintis Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah ditutup-tutupi. Dalam Al Falsafa al Ula, misalnya, ilmuwan bernama lengkap Yusuf Ibnu Ishaq Al Kindi itu telah mengungkapkan dasar-dasar teori relativitas. Sayangnya, sangat sedikit umat Islam yang mengetahuinya. Sehingga, hasil pemikiran yang brilian dari era Islam itu seperti tenggelam ditelan zaman.

Menurut Al-Kindi, fisik bumi dan seluruh fenomena fisik adalah relatif. Relativitas, kata dia, adalah esensi dari hukum eksistensi. “Waktu, ruang, gerakan, dan benda, semuanya relatif dan tak absolut,” cetus Al Kindi. Namun, ilmuwan Barat, seperti Galileo, Descartes, dan Newton, menganggap semua fenomena itu sebagai sesuatu yang absolut. Hanya Einstein yang sepaham dengan Al Kindi. “Waktu hanya eksis dengan gerakan; benda dengan gerakan; gerakan dengan benda,” papar Al Kindi. Selanjutnya, Al-Kindi berkata, “… jika ada gerakan, di sana perlu benda; jika ada sebuah benda, di sana perlu gerakan.” Pernyataan Al Kindi itu menegaskan bahwa seluruh fenomena fisik adalah relatif satu sama lain. Mereka tak independen dan tak juga absolut.

Gagasan yang dilontarkan Al Kindi itu sama dengan apa yang diungkapkan Einstein dalam teori relativitas umum. “Sebelum teori relativitas dicetuskan, fisika klasik selalu menganggap bahwa waktu adalah absolut,” papar Einstein dalam La Relativite. Menurut Einstein, pendapat yang dilontarkan oleh Galileo, Descartes, dan Newton itu tak sesuai dengan definisi waktu yang sebenarnya. Dan menurut Al-Kindi, benda, waktu, gerakan, dan ruang tak hanya relatif terhadap satu sama lain, namun juga ke objek lainnya dan pengamat yang memantau mereka. Pendapat Al-Kindi itu sama dengan apa yang diungkapkan Einstein. Dalam Al Falsafa al Ula, Al Kindi mencontohkan, seseorang melihat sebuah objek yang ukurannya lebih kecil atau lebih besar menurut pergerakan vertikal antara bumi dan langit. Jika orang itu naik ke atas langit, dia melihat pohon-pohon lebih kecil. Jika dia bergerak ke bumi, dia melihat pohon-pohon itu jadi lebih besar. “Kita tak dapat mengatakan bahwa sesuatu itu kecil atau besar secara absolut. Tetapi, kita dapat mengatakan bahwa itu lebih kecil atau lebih besar dalam hubungan kepada objek yang lain,” tutur Al Kindi. Kesimpulan yang sama diungkapkan Einsten sekitar 11 abad setelah Al-Kindi wafat.

Menurut Einstein, tak ada hukum yang absolut dalam pengertian hukum tak terikat pada pengamat. Sebuah hukum, papar dia, harus dibuktikan melalui pengukuran. Al Kindi menyatakan, seluruh fenomena fisik, seperti manusia menjadi dirinya, adalah relatif dan terbatas. Meski setiap manusia tak terbatas dalam jumlah dan keberlangsungan, mereka terbatas; waktu, gerakan, benda, dan ruang yang juga terbatas. Einstein lagi-lagi mengamini pernyataan Al-Kindi yang dilontarkannya pada abad ke-9 M. “Eksistensi dunia ini terbatas meskipun eksistensi tak terbatas,” papar Einstein.

Dengan teori itu, Al Kindi tak hanya mencoba menjelaskan seluruh fenomena fisik. Namun, juga dia membuktikan eksistensi Tuhan. Karena, itu adalah konsekuensi logis dari teorinya. Di akhir hayatnya, Einsten pun mengakui eksistensi Tuhan. Teori relativitas yang diungkapkan kedua ilmuwan berbeda zaman itu pada dasarnya sama. Namun, penjelasan Einstein telah dibuktikan dengan sangat teliti. Bahkan, teori relativitasnya telah digunakan untuk pengembangan energi, bom atom, dan senjata nuklir pemusnah massal. Sedangkan, Al Kindi mengungkapkan teorinya untuk membuktikan eksistensi Tuhan dan keesaan-Nya. Sayangnya, pemikiran cemerlang sang saintis Muslim tentang teori relativitas itu itu tak banyak diketahui. Sungguh sangat ironis, memang

Alam semesta raya ini selalu diselimuti misteri. Kitab suci Al Qur’an yang diturunkan kepada umat manusia merupakan kuncinya. Allah SWT telah menjanjikan bahwa Al Quran merupakan petunjuk hidup bagi orang-orang yang bertakwa. Untuk membuka selimut misteri alam semesta itu, Sang Khalik memerintahkan manusia agar berpikir. Bukankah banyak seruan dalam al Qur’an agar yang membacanya berpikir, mengambil ibrah dan hikmah, menjadi seorang peneliti dan pembelajar?

Dan berikut ini adalah beberapa ayat Al Quran yang membuktikan teori relativitas itu: “Sesungguhnya, sehari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung.” (QS Alhajj: 47). “Dia mengatur urusan langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS Assajdah: 5). “Yang datang dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS 70: 3-4). “Dan, kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya. Padahal, ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Annaml: 88). “Allah bertanya, ‘Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari. Maka, tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.’ Allah berfirman, ‘Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui’.” (QS 23: 122-114).

Karena kebenaran Al Quran itu, konon di akhir hayatnya, Albert Einsten secara diam-diam juga telah memeluk agama Islam dan menjatuhkan pilihan intelektual dan khazanahnya pada Syi’ah Islam (Syi’ah Imamiah Itsna Asyariyah). Dalam sebuah tulisan, Albert Einstein mengakui kebenaran Al Quran. “Alquran bukanlah buku seperti aljabar atau geometri. Namun, Al Quran adalah kumpulan aturan yang menuntun umat manusia ke jalan yang benar. Jalan yang tak dapat ditolak para filosof besar”.

Sementara itu, jauh sebelum Albert Einstein, Al Kindi atau Al-Kindus adalah ilmuwan jenius yang hidup di era kejayaan Islam Baghdad, merupakan pioneer dalam bidang teori dan filsafat relativitas waktu ini. Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan. Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al Ma’mun tutup usia dan digantikan putranya, Al-Mu’tasim, posisi Al Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi putranya. Al Kindi mampu menghidupkan paham Mu’tazilah yang rasional. Berkat peran Al Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan.

Menurut Al Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitul Hikmah, Al Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya itu telah dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam. Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik, dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul. Dikabarkan pula bahwa Albert Einstein pun membaca karya-karya Geometri Al Kindi, sang filsuf dan ilmuwan mu’tazili awal tersebut. (Bersambung)

(Bagian Kedua tulisan ini pernah dipublikasi harian Radar Banten dengan judul Islam, Sains, Al-Kindi, dan Albert Einstein pada 26 Desember 2014)