Rabu, 22 Juni 2016

Kisahku Menjadi Muslimah


oleh Alexandra Chernov (Australia). Foto: Pemanah Iran, Shiva Mafakheri

Aku adalah anak perempuan ketiga dari empat bersaudara. Aku dilahirkan di Melbourne, Australia, pada tahun 1971. Ayahku seorang Kristen Ortodoks yang lahir di Polandia. Keluarganya campuran Rusia dan Jerman. Sementara ibuku lahir di Australia. Nenekku dari ibu berdarah Rusia dan Yahudi. Ibu dibesarkan dalam lingkungan Anglikan, tetapi tidak begitu rajin menjalankan agamanya.

Ketika aku kecil, seperti juga teman-teman kecilku, setiap minggu aku pergi ke gereja dan ikut sekolah minggu. Sejak kecil hingga dewasa aku selalu sekolah di sekolah Kristen. Namun ketika aku menjelang dewasa dan suka membaca Bibel, aku mulai suka bertanya-tanya dan ragu tentang banyak hal. Diantaranya adalah konsep trinitas, pengampunan dosa oleh pendeta dan lain-lain.

Meski aku sering bertanya namun jawabannya tak pernah memuaskanku. Aku amat percaya pada Tuhan karena banyak kenalanku mengatakan bila aku percaya pada Tuhan aku akan menjadi orang yang baik. Namun aku tidak pernah paham bahwa Yesus adalah anak Tuhan. Karenanya bila berdoa aku selalu meminta kepada Tuhan bapak bukan Tuhan anak.

Namun demikian aku tetap tidak puas. Akhirnya akupun melirik agama lain. Sayang ketika itu beberapa kenalan Islamku tidak menjalankan ajarannya dengan baik. Akibatnya aku baru mengenal ajaran ini setelah lama terombang-ambing mempelajari agama-agama lain.

Mulanya adalah ibuku yang telah bercerai dari ayah. Ketertarikannya dalam studi Perbandingan Agama telah membuatnya lebih dulu memeluk Islam daripada aku. Namun demikian ia tidak pernah membicarakan ajaran barunya itu kepadaku. Tapi aku pikir kalaupun ia mengajarkannya mungkin aku justru tidak tertarik.

Suatu hari aku menemukan Al-Quran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Marmaduke Pickthall. Aku segera membelinya dengan maksud akan kuberikan kepada ibu. Aku sempat membuka-buka sedikit. Akan tetapi baru beberapa bulan kemudian aku mulai serius mempelajarinya. Namun demikian aku jadi suka membela ajaran Islam ketika ada orang yang mengkritik ajaran ini. Aku begitu bergairah mempertahankan Islam seolah aku adalah seorang Muslim.

Akhirnya di pagi hari raya Idul Fitri di tahun 1992, setelah shalat Ied, aku mengikrarkan syahadat di Islamic Council of Victoria, Melbourne. Sulit aku mengatakan bagaimana perasaanku waktu itu. Yang jelas aku merasa terlahir kembali dan dalam keadaan bersih tanpa dosa sedikitpun pula. Ibuku tentu saja sangat bahagia mengetahui kabar tersebut.

Karena aku mempelajari Islam terlebih dahulu sebelum bersyahadat maka akupun langsung memahami apa yang menjadi kewajibanku. Aku segera meninggalkan pekerjaanku sebagai pelayan yang menghidangkan minuman keras dan mencari pekerjaan yang halal. Aku juga segera menutup auratku dengan berjilbab.

Sayang ayah menentang keislamanku. Padahal ketika ibu dulu masuk Islam ia tidak memprotes. Ia hanya menganggapnya gila dan hilang akal saja! Mungkin karena mereka sudah bercerai jadi ayah tidak peduli. Belakangan aku menyadari bahwa ayah menentangku bukan semata-mata karena ia membenci Islam. Karena ternyata selama ini ia berpikir bahwa perempuan Islam diperlakukan buruk dan tidak mempunyai hak apa-apa.

Di luar itu, aku bersyukur bahwa aku tidak mengalami hambatan yang berarti. Walaupun dengan berjilbab ternyata aku tetap dapat bekerja bahkan sebagai baby sitter di keluarga non muslim. ”Kamu orang yang sama dengan yang telah kami kenal selama ini. Anak-anak masih menyukaimu. Demikian juga kami”, begitu komentarnya. Alhamdulillah….Sebelumnya aku memang telah mengenal keluarga ini.

Aku juga aktif di berbagai kegiatan keislaman. Aku pernah bekerja sebagai tenaga sukarela di sebuah sekolah Islam, membantu ibu-ibu mengajar di sana. Aku ikut pengajian di beberapa kelompok pengajian yang berbeda dan shalat di masjid-masjid yang berbeda. Aku memang tidak ingin terikat pada satu kelompok pengajian saja.

Sebaliknya aku juga tidak mau hanya membangun kontak dengan sesama Muslim. Aku justru berpikir sebagai Muslimah aku harus berdakwah kepada teman-teman non muslimku. Teman-teman dekatku aku rasa tidak kaget dengan penampilan baruku. Karena mereka memang mengetahui prosesku berislam. Terkadang aku bahkan berdiskusi dengan mereka. Namun teman-temanku yang tidak begitu akrab tampaknya agak terkejut juga mengetahui kepindahanku. Tapi apa peduliku?

Sementara itu ayah dan keluarga besarnya tetap memandangku dengan perasaan aneh dan asing. Kadang-kadang mereka bahkan mengambil gambarku seolah aku ini mahluk ajaib. Tapi aku tidak tersinggung. Aku malah sengaja berpose secantik mungkin. ”Biarkan mereka tahu penampilan perempuan Islam”, pikirku senang.

Kini aku begitu optimis akan masa depanku. Aku berharap semoga aku dapat menjadi muslimah sekaligus ibu yang baik. Saat ini aku ingin menuntaskan studiku di Monash University untuk belajar ilmu lingkungan yang menurut pengamatanku belum banyak ditangani Muslim. Padahal bukankah kepedulian terhadap lingkungan adalah bagian dari Islam yang sangat penting?

Pendek kata, aku ingin berdakwah dengan caraku sendiri. Aku juga terobsesi suatu hari kelak akan memiliki ladang, tinggal di sana dan dapat mengendarai kuda kesayanganku sepanjang hari seperti juga Rasulullah saw dulu. Aku memang sangat menyukai kuda. Di tempat inilah secara berkala aku akan menyelenggarakan acara perkemahan khusus untuk anak-anak Muslim.

Pau-France, 24 Agustus 2009. 



Senin, 20 Juni 2016

Kupu-Kupu Senja Ibundaku


Dari mana aku harus mulai? Sungguh sulit sekali untukku menemukan simpul pertama dari ceceran dan serakan ingatan yang telah tercerai-berai –yang sebagian besar telah terlupakan. Meski demikian, rasanya aku akan merasa bersalah bila mencampakkan yang masih tersisa sebagai kenangan. Aku ingin memulainya dari kupu-kupu di pagihari dan senja yang sesekali kulihat di barisan pohon Rosella yang ditanam Ibuku, ketika hari bersimbah cuaca dingin atau di kala iklim berubah cerah selepas hujan menjelang siang.

Apakah kau akan membaca kisah pribadi yang kutulis ini? Aku berharap demikian. Keikhlasanmu untuk meluangkan waktu demi membaca kisahku ini akan menjadi penghargaan yang sangat berarti bagiku.

Kala itu adalah masa-masa di tahun 1980-an, ketika Ibuku memetik buah Rosella, sementara aku asik memperhatikan kupu-kupu yang hinggap di salah-satu pohon Rosella itu, yang warna sepasang sayapnya seperti susunan ragam tamsil karena cahaya matahari senja. Ia sesekali terbang, lalu hinggap lagi, kadangkala berpindah atau pindah kembali ke pohon Rosella yang sama, lalu terbang lagi, sebelum akhirnya pergi ke tempat yang ingin ia ziarahi.

Keesokan harinya Ibuku akan menjemur biji-biji Rosella itu dengan tikar yang ia sulam dari sejumlah karung bekas, dan akan mengangkatnya selepas asar, sebelum kami akan menggoreng dan menumbuknya bersama menjadi bubuk kopi yang akan kami bungkus dengan plastik-plastik kecil yang ia beli dari warung. Kakak perempuanku yang akan memasukkan bubuk kopi Rosella itu, sedangkan aku yang menjahit ujung plastik itu dengan cara mendekatkannya ke semungil nyala lampu minyak.

Aku membeli buku-buku tulis sekolahku dari menjual bubuk kopi Rosella yang ditanam Ibuku itu, pohon-pohon Rosella yang acapkali disinggahi sejumlah kupu-kupu, selain dihinggapi dan diziarahi para kumbang.

Kami terbiasa hidup bersahaja dan memperoleh rizki kami dari Tuhan dengan perantaraan pohon-pohon ciptaan Tuhan yang ditanam Ibundaku: Rosella, kacang panjang, tomat, labuh, dan lain-lain yang kemudian dijual Ibuku setelah ia mengunduh dan memanennya. Aku hanya bisa membantu Ibuku sepulang sekolah atau ketika hari libur sekolah, meski kadangkala aku absen untuk membantunya dan lebih memilih untuk bermain dan menerbangkan layang-layang, berburu jangkerik, atau berburu para belalang yang kesulitan untuk terbang karena air yang melekat di sayap-sayap mereka dan yang tergenang di hamparan sawah-sawah di kala hujan atau selepas hujan bersama teman-temanku.

Hidup kami memang seperti kupu-kupu di senjakala yang mengimani kesabaran dan ketabahan sebagai keharusan yang tak terelakkan. Tahukah kau kenapa aku mengumpamakannya dengan kupu-kupu? Aku akan menjawabnya. Kupu-kupu, juga para kumbang, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang ikhlas bekerja dan dengan takdir mereka sebagai para pengurai dan penyerbuk kembang dan bunga.

Kehadiran mereka merupakan berkah bagi kami yang mengais rizki dari hidup bertani dan menanam sejumlah tanaman yang buah-buahnya dapat dijual Ibuku. Keberadaan mereka adalah siklus alam dan kelahiran bagi kami, para petani.

Mereka, para kupu-kupu dengan sayap-sayap ragam warna di kedua sisi lengan mereka itu, akan datang tanpa kami undang bila tanaman-tanaman yang kami tanam telah berbunga, entah mereka datang di pagihari atau di senjahari. Memang aku baru menyadarinya di saat aku tak lagi hidup seperti di masa-masa itu –sebuah pemahaman yang memang terlambat. Tetapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak menyadarinya sama-sekali? [Sulaiman Djaya


Jumat, 17 Juni 2016

Cinta dan Sophia


Plato bertanya kepada Sokrates: “Apa itu cinta? Bagaimana aku bisa menemukannya?” Sokrates menjawab: “Ada ladang gandum yang luas di depan sana. Berjalanlah kamu dan tidak boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta.”

Plato pun berjalan, dan tidak berapa lama kemudian, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apa pun. Sokrates bertanya: “Mengapa kamu tidak membawa satu pun ranting?” Plato menjawab: “Bukankah aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut.

Saat aku melanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatang pun pada akhirnya”. Mendengar jawaban Plato, Sokrates pun berujar: “Itulah cinta. Cinta adalah pemahaman yang terus-menerus harus dibangun dan diperjuangkan. Cinta harus dibuktikan, bukan dinyatakan”. 


HARAPAN
Pada tanggal 7 Desember 1998 di bagian utara Armenia, terjadi gempa dengan kekuatan 6,9 skala richter yang menghancurkan sebuah gedung sekolah diantara bangunan-bangunan lainnya. Di tengah keramaian dan suasana panik, seorang bapak berlari menuju ke sekolah tersebut, dimana anaknya bersekolah. Sambil berlari, ia terus teringat pada kata-kata yang sering ia ucapkan kepada anaknya itu, “Hai anakku, apapun yang terjadi, bapak akan selalu bersamamu!”

Sesampainya di tempat di mana sekolah itu dulunya berdiri, yang ia dapati hanyalah sebuah bukit tumpukan batu, kayu dan semen sisa dari gedung yang hancur total! Pertama-tama ia hanya berdiri saja di sana sambil menahan tangis. Namun kemudian, ia pergi ke bagian sekolah yang ia yakini adalah tempat ruang kelas anaknya. Dengan hanya menggunakan tangannya sendiri ia mulai menggali dan mengangkat batu-batu yang bertumpuk di sana. Ada seseorang yang sempat menegurnya, “Pak, itu tak ada gunanya lagi. Mereka semua pasti sudah mati.”

Bapak itu menjawab, “Kamu bisa berdiri saja di sana, atau kamu bisa membantu mengangkat batu-batu ini!” Maka orang itu dan beberapa orang lain ikut menolong, namun setelah beberapa jam mereka capek dan menyerah. Sebaliknya, si bapak tidak bisa berhenti memikirkan anaknya, maka ia menggali terus.

Dua jam telah berlalu, lalu lima jam, sepuluh jam, tigabelas jam, delapan belas jam. Saat itulah ia mendengar suatu suara dari bawah papan yang rubuh. Dia mengangkat sebagian dari papan itu, dan berteriak, “Armando!”, dan dari kegelapan di bawah itu terdengarlah suara kecil, “Papa!”. Kemudian terdengarlah suara anak-anak yang lain yang ternyata selamat, dan ikut berteriak saat itu.

Semua orang yang ada di sekitar reruntuhan itu, kebanyakan para orang tua dari murid-murid, terkejut sekaligus bersyukur saat menyaksikan dan mendengar teriakan mereka. Mereka menemukan 14 anak yang masih hidup itu! Pada saat Armando sudah selamat, dia membantu untuk menggali dan mengangkat batu-batu sampai teman-temannya sudah diselamatkan semua. Semua orang mendengarnya ketika ia berkata kepada teman-temannya itu, “Lihat, aku sudah bilang kan, bahwa Papaku pasti akan datang untuk menyelamatkan kita!” 


JODOH
Plato bertanya kepada Sokrates: “Bagaimanakah aku nanti akan menemukan jodohku?” Mendengar pertanyaan Plato tersebut, Sokrates malah meminta Plato untuk mencari sebuah pohon yang bagus untuk ditebang. Plato pun pergi ke sebuah hutan yang terdekat, sesuai permintaan Sokrates. Dia pun berjalan menyusuri hutan tersebut. Saat itu dia menemukan sebuah pohon yang sangat bagus menurutnya untuk ditebang sesuai saran Sokrates. Namun tiba-tiba dia mengurungkan niatnya.

Ia kembali menyusuri jalan setapak di tengah hutan, berharap menemukan kembali pohon yang lebih baik dari yang ia lihat sebelumnya. Namun setelah lama dia berjalan dan hampir keluar dari hutan, dia belum menemukan lagi pohon yang menurutnya lebih baik dari yang pertama. Tetapi ada sebuah pohon yang tidak jauh dari tempatnya berdiri saat itu yang tidak lebih baik dari yang pertama, tetapi menurutnya masih lebih baik untuk menebangnya saja daripada dia pulang tidak membawa apa-apa sesuai saran Sokrates. Kala itu ia berpikir bahwa dia tetap membutuhkan sebuah pohon yang harus ditebang untuk dibawanya pulang.

Setelah itu ia langsung pulang menemui Sokrates dengan membawa sebuah pohon yang telah ditebangnya. Melihat kedatangan Plato itu, Sokrates bertanya keheranan: “Apakah ini menurutmu pohon yang baik?” Plato menjawab: “Sebetulnya pada awalnya ada yang lebih baik tetapi saya lewatkan karena berharap menemukan yang lebih baik. Setelah saya jauh berjalan, saya menemukan pohon ini yang tidak lebih baik dari yang pertama.” Dengan tersenyum, Sokrates pun berkata: “Itulah jodoh. Bahwa jodoh akan kaudapatkan berdasarkan keputusanmu.”