Minggu, 26 Juli 2015

Ketika Seorang Pendeta Menyelamatkan Kepala Imam Hussain (as)





Dalam kitabnya, as Sirah an Nabawiyyah wa Akhbar al Khulafa halaman 560, Al-Hafiz Ibnu Hibban menulis (berdasarkan riwayat yang tsiqah), ‘Di hari itu, yang mengambil tugas memotong kepala al Hussain bin Ali bin Abi Thalib adalah Syimir bin Dzil Jausyan. Kemudian Ubaidillah bin Ziyad mengirim kepala Al-Hussain bin Ali ke Syam (Damaskus, Suriah) bersama para tawanan wanita dan anak-anak dari Ahlulbait Rasulullah saaw.

Mereka ditempatkan di atas pelana-pelana, dengan wajah dan rambut mereka terdedah.  Setiap kali berhenti di suatu tempat untuk beristirahat, para pengawal mengeluarkan kepala Al-Hussain dari peti dan menancapkan kepala itu pada ujung tombak.

Mereka mengawalnya sehingga tiba waktu berangkat. Kemudian, kepala itu dikembalikan lagi ke dalam peti. Lalu mereka berangkat pergi. Mereka singgah di sebuah tempat yang di sana ada sebuah biara milik seorang pendeta.

Seperti biasa, mereka mengeluarkan kepala al Hussain itu, lalu menancapkannya ke ujung tombak.

Tombak itu disandarkan ke biara. Pendeta Nashrani (Kristiani) itu menyaksikan cahaya terang di malam hari memancar ke langit dari biaranya. Ia lalu mendekati para pengawal seraya bertanya: “Siapakah kalian?” Para pengawal pun menjawab: “Kami penduduk Syam (Suriah)”. “Kepala ini, siapakah dia?” Tanya sang pendeta. “Kepala Hussain bin Ali” jawab mereka. “Seburuk-buruk bangsa adalah kalian”, kata sang pendeta. “Demi Allah, andai Isa mempunyai putera pasti kami masukkan ke laman-laman kami”.

Kemudian sang pendeta berkata, “Wahai sekalian orang. Aku mempunyai 10.000 dinar yang aku warisi dari ayahku. Ayahku mewarisinya dari ayahnya. Maukah kalian berikan kepala ini kepadaku, untuk satu malam ia bersamaku, dan untuk itu aku berikan pada kalian 10.000 dinar itu?" “Ya” jawab mereka.


Lalu sang pendeta membawa turun dari biara dan memberikan mereka dinar-dinar itu. Mereka menyewa tukang emas, maka dinar-dinar itu ditimbang dan diperiksa kadar keasliannya. Kemudian dimasukkan ke dalam kantong dan dimasukkan ke dalam peti. Kemudian mereka menyerahkan kepala Al-Hussain bin Ali itu kepada sang pendeta. Pendeta itu membersihkan kepala itu dan kemudian meletakkannya di atas haribaannya. Ia hanyut dalam tangisan sepanjang malam.



Alqur'an dan Teori Relativitas





(Foto: Milad Tower, Tehran, Iran)

Oleh Sulaiman Djaya (Sumber: Radar Banten, 24 Juli 2015)

Bahwa Al-Qur’an mengandung ayat-ayat sains itu sudah dibuktikan oleh banyak ilmuwan, baik di Barat maupun di kalangan kaum muslimin sendiri, seperti telah dibuktikan oleh Profesor Abdus Salam, yang hingga saat ini merupakan satu-satunya ilmuwan muslim yang mendapat hadiah Nobel berkat teori electroweak-nya itu. Namun, dengan tulisan ini, adalah cukup menarik untuk memberi informasi singkat mengenai relevansi sejumlah ayat Al-Qur’an dengan teori relativitas ruang-waktu, yang mulanya sudah dicetuskan oleh Al-Kindi, ketika filsuf muslim itu dalam Al-Falsafa Al-Ula (Filsafat Pertama)-nya, menyatakan: “Waktu, ruang, gerakan, dan benda, semuanya relatif dan tak absolut. Waktu hanya eksis dengan gerakan; benda dengan gerakan; gerakan dengan benda. Jika ada gerakan, di sana perlu benda; jika ada sebuah benda, di sana perlu gerakan”.

Kita tahu bahwa Teori Relativitas Einstein ada dua macam, yaitu teori relativitas khusus dan teori relativitas umum. Berdasarkan teori relativitas khusus menunjukan bahwa kecepatan membuat waktu bersifat relatif. Namun, barangkali Anda bertanya: ‘Bagaimana penjelasannya secara ringkas dan tepat? Jawabannya adalah bahwa bila suatu benda bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, maka waktu akan mengalami pemoloran atau melambatnya waktu, fenomena ini disebut dengan delatasi waktu, sedangkan teori relativitas umum mempostulatkan bahwa gravitasi membuat waktu menjadi relatif. Singkatnya, waktu akan berjalan lebih lambat di daerah yang gravitasinya lebih besar, dan inti dari kedua teori ini adalah waktu yang bersifat relatif.

Dalam hal yang demikian itu, sebagai contohnya, apabila ada manusia yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya atau berjalan di daerah yang gravitasinya lebih besar dari gravitasi bumi, misalnya matahari (dan ini sekedar pengandaian saja), maka waktu akan berjalan lambat, dan begitu pula fungsi biologi dan anatomi tubuhnya serta semua pergerakan yang terkait dengan atom-atom penyusun tubuhnya. Percobaan yang dilakukan di British Nasional Institute of Physics telah menguatkan fakta tersebut, penelitinya John Laverty, mencocokkan dua jam yang menunjukan waktu yang sama (dua jam tersebut memiliki tingkat ketelitian yang optimal, perkiraan kesalahan kira-kira tidak lebih dari 1 detik dalam 300.000 tahun). Salah satu jam ini disimpan dalam Laboratorium di London, dan jam yang lainnya dibawa dalam penerbangan pulang pergi antara London dan Cina.

Demikian pula, kita tahu juga bahwa semakin tinggi suatu pesawat maka pengaruh gravitasi bumi semakin kecil, sehingga berdasarkan teori relativitas umum waktu akan berjalan lebih cepat di atas pesawat. Tepat dalam hal inilah, perbedaan gravitasi antara orang yang terbang di udara dengan orang yang berada di atas permukaan bumi tidaklah begitu mencolok walaupun tetap ada perbedaan itu sangat kecil sekali sehingga perbedaan ini hanya dapat dilihat dengan alat yang memiliki tingkat ketelitian yang sangat tinggi.

Ternyata dari penelitian sejumlah ilmuwan dan komunitas para fisikawan, didapatkan bahwa jam yang berada di atas pesawat berjalan lebih cepat satu per lima puluh lima miliar detik, yang mana biarpun hasilnya sangat kecil tetap saja ada perbedaan kecepatan jam. Ini menunjukan bahwa waktu memang bersifat relatif. Cobalah sekarang kita menengok kitab suci kita Al-Qur’an: “Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun” (QS. Al-Ma’arij 70:4).

Karena itulah, jika bumi kita jadikan sebagai acuan, relativitas terjadi barangkali karena tempat yang tinggi karena ada istilah naik pada ayat di atas, juga bisa terjadi karena kecepatan para malaikat dan Jibril yang mendekati kecepatan cahaya, karena malaikat dan jibril bahan dasarnya atau diciptakan dari cahaya. Sehingga waktu mengalami pemoloran (pelambatan atau delatasi), dimana satu hari molor menjadi lima puluh ribu tahun di bumi. Atau ayat berikut ini: “Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu” (QS. Al-Sajdah 32:5).

Ayat tersebut juga menunjukan pemoloran (pelambatan) waktu, yang disebabkan perbedaan ketinggian karena ada istilah naik, sehingga waktu langit berbeda dengan waktu bumi. Dalam Al-Qur’an disebutkan juga bahwa orang yang telah meninggal jika dibangkitkan kembali akan berpikir bahwa waktu mereka di dunia sangatlah singkat. Nah, persis dengan memahami teori relativitas, pertanyaan yang membingungkan tentang waktu yang satu hari setara dengan seribu tahun atau bahkan lima puluh ribu tahun dapat diterima akal dengan sebaik-baiknya.

“Dan ingatlah pada hari (ketika) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa) seakan-akan tidak pernah berdiam (di dunia) kecuali sesaat saja pada siang hari, (pada waktu) mereka saling berkenalan, sesungguhnya orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah, dan mereka tidak mendapat petunjuk” (QS. Yunus 10:5). Dan Allah berfirman, ”berapakah tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? Mereka menjawab “kami tinggal di bumi sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung” (QS. Al-Mu’minun 23:113).

Akan tetapi, barangkali perlu juga merenungkan waktu secara puitis dan spekulatif. Sebagaimana dapat kita bisa bayangkan, berdasarkan penegasan al-Qur’an yang suci yang sebelumnya telah disebutkan itu, satu hari di suatu kawasan di angkasa sana, yang kita belum tahu di mana itu, sama dengan lima-puluh ribu tahun di bumi, di planet biru-hijau di mana kita hidup, berada, mengalami rasa-senang, kesedihan, jatuh cinta, putus-asa, atau marah. Sementara itu, di bumi sendiri, pengalaman dan pemahaman kita akan waktu tergantung pada aspek fisik dan psikis (bathin) kita. Misalnya, waktu terasa berjalan lambat (lama) ketika kita menderita dan terasa berjalan cepat ketika kita sedang mengalami kesenangan.

Penerimaan dan pengalaman kita tentang waktu, contohnya, tidak sama ketika kita sedang sakit dan ketika sedang bersama kekasih yang dirindu dan dicinta. Ada waktu mekanis yang sifatnya birokratis dan tak lebih sebuah alat ukur yang terbuat dari mesin, dan ada waktu psikis (bathin) yang dialami secara unik dan berbeda oleh masing-masing kita sesuai konteks dan pengalaman kita sendiri yang sifatnya subjektif dan individual. 

Kota Teheran dan Gunung Alborz, Iran.

Jumat, 24 Juli 2015

Iman Maleki's Paintings

A girl by the window, Oil on canvas, 75x55 Cm. 

Memory of that house, Oil on canvas, 83x58 Cm. 

Untitled, Brown pencil on paper, 49,5x37,5 Cm. 

All alone, Oil on Canvas, 70x50 Cm. 

Studying, Oil on canvas, 91x50 Cm. 


Iman was born on 1976 in Tehran, Islamic Republic of Iran. He has been fascinated by the art of Painting since he was a child. At the age of 15, he started to learn painting under the mastery of his first and only teacher - Morteza Katouzian - who is the greatest realist painter of Iran. Meanwhile, he began to paint professionally. In 1999 he graduated in Graphic Design from the Art University of Tehran. Since 1998, he has participated in several exhibitions. In the year 2000, he got married and in the following year he established ARA Painting Studio and started to teach painting, considering classical and traditional values.






The most important exhibitions he has participated in, are: The Exhibition of Realist painters of Iran at Tehran Contemporary Museum of Art(1999) and The Group Exhibition of KARA Studio Painters at SABZ Gallery(1998) and at SA'AD ABAD Palace(2003). In 2005, Iman received the William Bouguereau award and the Chairman's Choice award in the second international ARC salon competition. 

A sunset in Tehran, Oil on canvas, 60x40 Cm.
The Window, Oil on canvas, 80x60 Cm.

Mengapa Makam Fatimah Azzahra Dirahasiakan?



Tarikh ini dicatat dalam catatan-catatan lintas mazhab, utamanya dalam Syi’ah dan Sunni, baik dari kalangan muhaddits hingga para sejarawan yang semasa atau yang hidup di jaman berikutnya. Memang, ada satu kejanggalan, ketika mayoritas ummat Islam barangkali tidak pernah bertanya ‘di mana gerangan makam Fatimah Azzahra as?’ Tetapi, marilah kita mulai saja bahasan ini.

Sebuah rombongan (kafilah) kecil yang terdiri dari orang-orang yang setia dan patuh pada Rasulullah tampak berjalan gontai. Segukan tangis lirih yang terasa mengiris-iris hati yang pilu terdengar dari mereka. Wajah-wajah mereka lusuh tertunduk tersembunyi dalam tutup-tutup kepala yang jatuh menaungi kepala-kepala mereka.  

Rombongan (kafilah takziah) itu berjalan tanpa mengeluarkan bunyi berarti ke sebuah tempat sunyi yang khusus untuk menguburkan salah seorang manusia suci yang mereka cintai. Mereka berjalan dalam kegelapan malam pada bulan Jumadil Tsani, hari ketiga di tahun 11 Hijriah. Rombongan itu menyusuri jalan-jalan kota Madinah. Terasa segar dalam ingatan, baru beberapa lama lewat mereka melakukan hal yang sama untuk manusia suci lainnya, Muhammad Al-Mustafa. Sekarang giliran puterinya yang tercinta, Fatimah Az-Zahra (as).

Dalam rombongan itu ada anak-anak dengan ayah mereka beserta teman-teman dekat dari sang ayah. Mereka semua berjalan dalam kebisuan dan kesabaran. Pada wajah-wajah mereka tampak kepasrahan dan keridhoan akan apa yang telah menimpa mereka selama beberapa hari ini. Akan tetapi meskipun begitu, sesekali masih terdengar tangis yang tertahan di tenggorokan, meski air mata yang mengucur deras dengan tangisan yang lirih sekali hampir tak terdengar, seakan ingin menyembunyikan kepedihan yang telah menimpa mereka agar tidak ada orang yang mendengar mereka di kegelapan malam, karena memang mereka tidak ingin seorangpun tahu di kota Madinah itu bahwa mereka sedang melakukan sebuah perbuatan yang akan direkam baik oleh sejarah.

Seorang ayah yang tadi disebutkan di atas ialah Imam Ali (as), sementara anak-anak yang turut bersamanya ialah putera-puterinya. Ada Imam Hasan (as) di sana, ada Imam Husain (as), ada Zainab, dan ada Umm Kultsum yang berjalan gontai dalam kebisuan di belakang ayahnya. Bersama mereka ada para sahabat pilihan yang sangat setia kepada Nabi saw, baik ketika Nabi masih hidup atau ketika sudah wafat. Mereka adalah Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad al-Aswad, dan Salman Al-Farisi.

Ketika setiap mata dari penduduk Madinah tertutup, ketika tak ada suara sedikitpun dari mereka, rombongan surga itu meninggalkan rumah Imam Ali (as) membawa usungan tandu berisi jenazah suci dari puteri sang Nabi, Fatimah Az-Zahra (sa). Anak-anaknya sekarang mengantar jenazah ibunya itu ke sebuah pemakaman yang sunyi yang sudah ditentukan. Akan tetapi di manakah ribuan penduduk kota Madinah yang seharusnya ada di tempat?

Ketika iringan pengantar jenazah puteri Nabi itu lewat, mengapa tak seorangpun dari mereka datang melawat? Mengapa pemakamannya dilangsungkan pada saat dianggap sangat tidak tepat? Mengapa pemakaman itu harus dilangsungkan di kegelapan malam yang pekat?

Sayyidah Fatimah Az-Zahra (sa) memang merencanakan itu semua sebelum wafatnya, dan telah memberi wasiat kepada Imam Ali bin Abi Thalib as agar para penduduk kota Madinah itu tidak datang ke pemakamannya. Ia ingin dikuburkan pada malam hari dan ingin agar kuburannya disembunyikan dari pengetahuan penduduk kota Madinah.

Ada kesunyian dan keheningan yang mencekam di sana, namun tiba-tiba terdengar tangisan agak keras dan parau memecah kesunyian tersebut. Tangisan itu datang dari pahlawan padang pasir yang musuh manapun pasti akan ngeri dan menyingkir saat berhadapan dengannya. Tapi tangisan itu tiba-tiba terdengar lebih keras seakan ingin menuntaskan rasa penasaran, setelah sebelumnya berusaha ditahan sekuat tenaga dan perasaan.

Sang pahlawan itu berkata dalam tangisannya:  “Ya, Rasulullah! Salam bagimu, wahai kekasihku. Salam dariku dan dari puterimu yang sekarang ini akan datang kepadamu dan ia sangat bergegas meninggalkanku untuk sampai kepadamu. Ya, Rasulullah, rasa luluh lantak terasa pada diriku dan rasa lemah tak berdaya telah menggerogoti diriku. Itu tak lain karena engkau dan puterimu telah meninggalkanku. Tapi aku sadar semua ini milik Allah dan kepadaNyalah segala sesuatu itu kembali (Al-Qur’an Surah Albaqarah [2] Ayat 156).

Semua yang telah dititipkan itu akan diambil kembali. Semua yang pernah kita miliki itu akan diambil lagi oleh pemiliknya yang sejati. Sementara itu, kepedihan dan kesedihan Imam Ali sang washinya Muhammad saw itu, tetap bersemayam dalam dirinya, baik siang maupun malam.

Tak ada batasan yang jelas bagi Imam Ali kapan ia bersedih dan kapan ia terbebas dari kesedihannya itu. Kepergian dua orang yang dicintainya sangat mengguncang dirinya. Perasaan itu akan tetap pada dirinya hingga dirinya nanti bertemu lagi dengan yang dicintainya, yaitu pada hari dimana ia dipanggil oleh Allah untuk menghadapNya.

Imam Ali kembali mengadu kepada Rasulullah dalam rintihan yang lirih: ”Ya, Rasulullah, puterimu pastilah akan mengadukan kejadian yang sedang menimpa umat ini. Puterimu ingin umat ini bersatu kembali. Puterimu ingin agar engkau datang kembali agar bisa mempersatukan umat yang sudah bercerai berai ini. Dan engkau nanti akan bertanya padanya secara rinci. Engkau akan bertanya mengapa umat ini menentang keluarga Nabi. Mengapa mereka mengkhianati apa-apa yang telah ditentukan oleh Nabi. Dan mengapa mereka melakukan hal ini, padahal kematianmu itu baru saja terjadi dan umat masih merasakan kejadian ini! Salam untuk kalian berdua! Salam perpisahan dariku yang sedang berduka bukan dariku yang telah tak suka kepada kalian berdua. Kalau aku pergi dari pusara kalian, itu bukan karena aku merasa bosan kepada kalian. Dan kalau aku berlama-lama di pusara kalian, itu bukan karena aku tak lagi percaya dengan kuasa Tuhan dan apa yang telah Tuhan janjikan kepada orang-orang yang tengah ditimpa kepedihan.”

Setelah menguburkan Fatimah Az-Zahra (as), rombongan berisi keluaga dekat Nabi dan para sahabat pilihannya itu pun segera bergegas kembali ke rumahnya masing- masing, sehingga tidak ada satu orangpun di kota Madinah yang tahu di mana Fatimah Azzahra as dikuburkan (dimakamkan).

Sesampainya mereka di rumah, anak-anak dengan segera sadar bahwa mereka telah ditinggalkan oleh ibunya. Mereka merasakan kesepian yang mencekik. Imam Ali segera menghibur mereka supaya kesedihan tak terlalu larut membawa pikiran mereka. Akan tetapi memang pada kenyataannya hal itu tidak mudah dilakukan. Imam Ali mencoba menenangkan diri mereka dan kemudian ia sendiri masuk ke dalam kamar dan kemudian larut dalam tangisan yang sendu. Sang pahlawan Badar, Uhud, Khaybar, Khandaq dan beberapa perang lainnya itu merasakan kelelahan yang luar biasa dalam menahan kepedihan dan akhirnya ia lampiaskan dalam tangisan. Tangisan karena rasa cinta dan kehilangan, bukan tangisan manja dan penuh keputus-asaan.

Mereka semua telah melalui serangkaian kejadian yang menyesakkan sepeninggal Rasulullah. Pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah yang hak dan yang sesungguhnya, pemimpin dalam agama dan masyarakat atau pemimpin ummat sebagai Imam sekaligus pemegang hak kekhalifahan yang dicuri saat beliau dan keluarganya sedang memakamkan Rasulullah, dan washi (sebagai pengemban wasiatnya) Muhammad saw di Ghadir Khum telah dilupakan secara sengaja oleh banyak orang, ketika sebagian sahabat tergiur kekuasaan untuk menjadi khalifah.

Tanah Fadak warisan Rasulullah pun sudah dirampas semasa Abu Bakar berkuasa. Rumah mereka telah diserang oleh para utusan khalifah pertama demi memaksakan bai’at bagi ke-Khalifahan Abu Bakar. Pintu rumah keluarga Nabi yang dibakar itu pun menimpa Fatimah Az-Zahra as —pintu itu mematahkan beberapa tulang iganya dan menggugurkan kandungannya. Isteri sang Imam harus terbaring sakit di ranjangnya selama beberapa hari setelah itu, terbaring sendirian dan terisolasi dari dunia luar dan kemudian meninggal dalam kepedihan yang menyesakkan!

Malam hari itu, setiap anak terpaksa saling menghibur untuk meredakan kesedihan mereka. Mereka berkumpul dalam satu kamar dan tidur kelelahan, sungguh memang hari-hari yang berat akan masih menyambangi mereka satu demi satu. Sementara itu Bunda Fatimah Az-Zahra as menyaksikan mereka dengan wajah sendu.

MENGAPA MAKAM FATIMAH AZZAHRA DIRAHASIAKAN?
Hingga detik ini, tidak ada seorang pun yang tahu persis di manakah makam (kuburan) Sayyidah Fatimah Azzahra (as), yang kepadanya Rasulullah selalu memberikan pernghormatan yang penuh takzim. Rasulullah selalu senantiasa berdiri menyambut apabila Fatimah Az-Zahra as datang menjenguk. Rasulullah seringkali berkata (yang acapkali didengar langsung oleh sejumlah para sahabat dan kaum muslim): “Fatimah itu adalah bagian dari diriku. Siapapun yang menyakiti diri Fatimah akan berarti menyakiti diriku.”

Sejarah telah mencatat bahwa Fatimah dikuburkan di sekitar Jannat al-Baqi di Madinah, akan tetapi tidak ada seorangpun yang tahu tempat persisnya. Tak ada seorangpun yang bisa menunjukkan dengan pasti di mana makam dari puteri Nabi yang suci itu.

SEJARAH PERSELISIHAN ANTARA FATIMAH AZ ZAHRA DAN ABU BAKAR
Masalah ini juga telah disepakati kebenarannya oleh dua mazhab, Sunni dan Syi'ah. Orang yang insaf dan berakal tidak akan dapat lari kecuali harus mengatakan bahwa Abu Bakar berada pada posisi yang keliru dalam perselisihannya dengan Fatimah Az-Zahra as, dan ia tidak bisa menolak fakta bahwa Abu Bakar pernah menzalimi Penghulu Wanita Alam semesta ini.

Mereka yang menelaah sejarah ini dan mengetahui seluk-beluknya secara rinci akan tahu pasti bahwa Abu Bakar pernah mengganggu Fatimah Az-Zahra as dan mendustakannya secara sengaja, agar Fatimah Az-Zahra as tidak mempunyai alasan untuk berhujjah dengan nash-nash Al-Ghadir dan nash-nash lainnya akan keabsahan hak khilafah suaminya dan putra-pamannya, yakni Imam Ali bin Abi Thalib as.

Diantaranya adalah, seperti dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Fatimah Az-Zahra (semoga Allah melimpahkan padanya kesejahteraan) pernah keluar mendatangi tempat-tempat pertemuan kaum Anshar dan minta mereka membantu dan membai'at Imam Ali. Mereka menjawab: "Wahai putri Rasulullah, kami telah berikan bai'at kami pada orang ini (Abu Bakar). Seandainya suamimu dan putra pamanmu mendahului Abu Bakar, niscaya kami tidak akan berpaling darinya."

Kala itu Imam Ali berkata: "Apakah aku harus tinggalkan Nabi di rumahnya dan tidak kuurus jenazahnya, lalu keluar berdebat tentang kepemimpinan ini?" Fatimah Az-Zahra as pun menyahut, "Abul Hasan telah melakukan apa yang sepatutnya beliau lakukan, sementara mereka telah melakukan sesuatu yang hanya Allah sajalah akan menjadi Penghisab dan Penuntutnya."[1]
  
Seandainya Abu Bakar memang berniat baik dan keliru, maka kata-kata Fatimah Az-Zahra as telah cukup untuk menyadarkannya. Tetapi Fatimah az-Zahra as masih tetap marah padanya dan tidak berbicara dengannya sampai beliau wafat.

Karena Abu Bakar telah menolak setiap tuntutan Fatimah Az-Zahra as dan tidak menerima kesaksiannya, bahkan kesaksian suaminya sekalipun, akhirnya Fatimah Az-Zahra as pun murka pada Abu Bakar, sampai beliau tidak mengizinkannya hadir dalam pemakaman jenazahnya, seperti yang beliau wasiatkan pada suaminya, Imam Ali. Fatimah Az-Zahra as juga berwasiat agar jasadnya dikuburkan secara rahasia di malam hari tanpa boleh diketahui oleh mereka yang menentangnya.[2

Alhasil, Fatimah Az-Zahra as sebenarnya ingin melaporkan kepada generasi muslimin berikutnya tentang tragedi yang disaksikannya pada zamannya, agar mereka bertanya-tanya kenapa Fatimah Az-Zahra as sampai memohon pada suaminya agar dikebumikan di malam hari secara sembunyi dan tidak dihadiri oleh siapa pun. Hal ini juga memungkinkan seorang muslim untuk sampai pada sebuah kebenaran lewat telaah-telaahnya yang intensif dalam bidang sejarah .

Dalam konteks ini Ibnu Abbas mendendangkan syairnya kepada Aisyah: Kau tunggangi onta[3] Kau tunggangi baghal[4] Kalau kau terus hidup, kau akan tunggangi gajah. Sahammu kesembilan dari seperdelapan, tapi telah kau ambil semuanya. Ini adalah contoh dari rangkaian fakta yang sungguh mengherankan. Bagaimana Aisyah mewarisi semua rumah Nabi saw sementara istri-istri beliau berjumlah sembilan, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas di atas?

Apabila Nabi tidak meninggalkan harta waris seperti yang disaksikan oleh Abu Bakar (yang memang keliru) dan karenanya dia melarangnya dari Fatimah Az-Zahra as, lalu bagaimana Aisyah dapat mewarisi pusaka Nabi? Apakah ada dalam Al-Quran suatu ayat yang memberikan hak waris pada isteri tapi melarangnya dari anak perempuan? Ataukah politik yang telah merubah segala sesuatu sehingga anak perempuan diharamkan dari menerima segala sesuatu dan si isteri diberi segala sesuatu?

Catatan: 
[1] Tarikh al-Khulafa jil. 1 hal.19; Syarh Nahjul Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid al Mu’tazili.
[2] Shahih Bukhori jil.3 hal. 36; Shahih Muslim jil. 2 hal. 72.
[3] Mengimbas peperangan Jamal ketika beliau menunggangi onta.
[4] Mengimbas ketika beliau menunggangi baghal dalam usaha menghalangi Imam Hasan as dari dikuburkan dekat pusara datuknya.